tirto.id - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyegel sekitar 42 perusahaan di 43 lokasi yang diduga menjadi otak di balik aksi pembakaran hutan. Hal tersebut disampaikan oleh Dirjen Penegakkan Hukum KLHK, Rasio Ridho Sani saat ditemui di kantor BNPB, Jakarta, Sabtu (14/9/2019).
"Kami sudah melakukan proses penyegelan dalam rangka membuktikan untuk dilakukannya penegakan hukum. [...]Sampai hari ini, ada 42 lokasi perusahaan yang kami segel, dan 1 milik masyarakat. Jadi total ada 43 lokasi yang disegel oleh KLHK," kata Ridho, Sabtu.
Ridho mengatakan, mayoritas penyegelan di-43 lokasi dilakukan di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Sementara itu, di daerah Jambi terdapat 2 perusahaan yang disegel, yakni PT NAS dan PT BTB. Kemudian di Riau adalah 5 lokasi yang disegel.
"Di antara perusahaan-perusahaan yang kami segel, ada beberapa perusahaan yang memiliki modal dari luar, satu dari Singapura, dia dari malaysia," ujar Ridho.
Ridho pun menegaskan, KLHK tidak akan pandang bulu dalam penegakan hukum masalah kebakaran hutan. Perusahaan asing yang terlibat pembakaran akan ditindak dengan aturan dalam negeri. Mereka pun sudah menjerat setidaknya 4 koruporasi ke proses hukum. "Ada 42 lokasi yang kami segel, 1 milik perorangan. Kemudian kami lakukan proses penyidikan, sudah ada 4 korporasi yg kami tetapkan sebagai tersangka," ungkap Ridho.
Empat perusahaan yang kini berstatus tersangka adalah PT ABP yang merupakan sawit di Kalimantan Barat, PT AEL sebagai perusahaan sawit di Kalimantan Barat, PT SKN sebagai perusahaan sawit di Kalimantan Barat, serta PT KS, di Kalimantan Tengah.
Secara administratif, KLKH pun meminta bupati atau walikota setempat untuk memberikan sanksi administratif, berupa pencabutan izin. Kemudian, secara hukum, saat ini terdapat 5 pihak yang diproses dalam pengadilan, serta 17 gugatan perdata yang dilayangkan oleh KLHK kepada sejumlah pihak yang diduga terlibat dalam pembakaran hutan.
"Dalam penegakan hukum pidana itu, ada sanksi perorangan dan juga sanksi korporasi, dan bisa dua-duanya. Di beberapa kasus kan ada juga direktur yang dipidana. Contohnya, di Surya Panen Subur, di samping harus bayar denda Rp 490 miliar, kan direktur dipidana penjara badan juga," jelas Ridho.
Namun, di sisi lain, Kepala Departemen Advokasi Walhi Zenzi Suhadi justru melihat regulasi yang ada di Indonesia sebenarnya sudah cukup baik untuk memayungi masalah kebakaran hutan atau lahan gambut yang dipicu oleh korporasi, khususnya sawit.
"Instansi penegak hukum itu yang masih lemah untuk menjalankannya," ujar Zenzi kepada reporter Tirto pada Jumat (13/9/2019) malam.
Dalam konteks kebakaran hutan dan lahan gambut yang tengah berlangsung saat ini, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo memaparkan bahwa keadaannya terus memburuk.
"Kenapa semakin hari semakin meningkat? Dan tingkat ketebalan asap dan polutan yang ada semakin tinggi? Pertama disampaikan, curah hujan nyaris tak ada. Kemudian, jumlah lahan gambut yg terbakar sangat besar," ungkap Doni dalam konferensi pers di BNPB, Jakarta Timur, pada Sabtu (14/9/2019).
Dalam data BNPB, pada 14 September 2019, kebakaran hutan tersebar di tujuh provinsi, yakni Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, serta Papua.
Total titik panas adalah 4012. Total lahan yang terbakar sejak Januari hingga Agustus 2019 seluas 328.724 hektare. Dari luas tersebut, 27 persen di antaranya adalah lahan gambut. Selebihnya, lahan mineral.
Dampak dari kebakaran hutan, dari data BNPB, antara lain adalah gangguan terhadap penerbangan, sehingga penerbangan ditunda atau dihentikan. Kemudian juga dampak kesehatan, terutama ISPA.
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Andrian Pratama Taher