tirto.id - Direktur Materi dan Debat Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi yang juga mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Sudirman Said, blak-blakan soal surat 7 Oktober 2015.
Surat yang disebut-sebut sebagai cikal bakal perpanjangan izin PT Freeport Indonesia (PT FI) di Papua.
“Surat 7 Oktober 2015. Jadi surat itu seolah-olah saya yang memberikan perpanjangan izin [kontrak karya], itu persepsi publik,” kata Sudirman dalam diskusi yang diselenggarakan Institut Harkat Negeri, melalui keterangan tertulis kepada Tirto, di Jakarta, Rabu (20/2/2019).
Sudirman membantah, surat tersebut atas inisiatifnya. Dia mengungkapkan, surat bisa keluar karena diperintahkan oleh Joko Widodo selaku Presiden Indonesia yang juga atasannya sewaktu menjadi menteri.
“Saya ceritakan kronologi tanggal 6 Oktober 2015 jam 08.00 WIB, saya ditelepon ajudan presiden untuk datang ke istana. Saya tanya soal apa pak, dijawab tidak tahu. Kira-kira 08.30 WIB saya datang ke istana. Kemudian duduk 5-10 menit, langsung masuk ke ruangan kerja Pak Presiden,” ungkap Sudirman.
Namun, lanjut dia, pertemuan yang cukup penting presiden melalui asisten pribadi mengatakan bila pertemuan itu seolah-olah tidak pernah ada.
“Sebelum masuk ke ruangan kerja, saya dibisikin oleh asisten pribadi [presiden], Pak Menteri pertemuan ini tidak ada. Saya lakukan [mengungkapkan] ini semata-mata agar publik tahu,” ujar dia.
Bahkan, imbuh dia, demi merahasiakan pertemuan itu, sekretaris kabinet dan sekretaris negara yang mencatat setiap jadwal presiden pun tidak tahu. “Kan ada setneg, sekab tapi dibilang pertemuan ini tidak ada,” kata dia.
Ia pun menuruti pesan yang disampaikan asisten pribadi presiden. Kemudian Sudirman masuk ke dalam ruang rapat di Istana Negara.
Sesampainya di ruangan rapat, Sudirman terkejut di dalam sudah ada James R. Moffet yang saat itu adalah bos Freeport McMoran Inc, induk PT Freeport Indonesia.
“Tidak panjang lebar presiden [Jokowi] mengatakan 'tolong disiapkan surat seperti apa yang diperlukan. Kira-kira kita ini menjaga kelangsungan investasi nanti dibicarakan setelah pertemuan ini'. Baik,” kata Sudirman menceritakan apa yang disampaikan Jokowi.
Di pertemuan itu, Moffet menyampaikan draf tentang kelangsungan investasi PT FI. Namun, Sudirman tidak mau, dia pun memilih membuat draft yang posisinya lebih menguntungkan Indonesia.
“Saya bilang ke Moffet bukan begini cara saya kerja. Kalau saya ikuti drafmu, maka akan ada preseden negara didikte oleh korporasi. Dan saya akan buat draf yang melindungi kepentingan republik," kata dia.
Setelah draf selesai, dia pun menemui Presiden Jokowi untuk menunjukannya.
“Saya katakan [ke presiden] drafnya seperti ini dan saya belum tanda tangan. Bapak dan ibu tahu komentar presiden apa? Presiden mengatakan, lho begini saja sudah mau. Kalau mau lebih kuat yang diberi [perpanjangan izin] saja,” kata dia.
Dengan demikian, lajut dia, surat tanggal 7 Oktober 2015 itu bukan inisiatif dirinya. Melainkan atas perintah Presiden Joko Widodo. “Jadi draft yang saya punya ini aman, tidak merusak,” tegas Sudirman.
Klaim Sudirman ini dibantah Jokowi. Dia membantah melakukan pertemuan secara diam-diam atau rahasia. Selama ini, pertemuan dengan pihak PT FI sudah dilakukan berkali-kali.
"Nggak sekali dua kali ketemu, gimana si kok diam-diam. Ya ketemu bolak balik, nggak ketemu sekali dua kali [...] kalau pertemuan pasti ngomong, nggak diam-diaman. Ada ada saja. Ya biasa lah," tegas Jokowi usai membuka pertemuan pembekalan saksi tempat pemungutan suara Tim Kampanye Nasional (TKN) di Hotel el-Royale, Kelapa Gading, Jakarta Utara, Rabu (20/2/2019).
Menurut Jokowi pertemuan mereka memang seringkali bicara masalah perpanjangan kontrak karya. Namun Jokowi mengaku selalu menolak tegas dan ingin saham dikembalikan pada negara.
"Ya perpanjangan, dia kan minta perpanjangan [kontrak karya]. Pertemuan bolak-balik memang yang diminta perpanjangan, terus apa?," ucap Jokowi lagi.
"Ya kita ini kan diminta untuk perpanjangan, diminta untuk [perpanjangan], tapi sejak awal saya sampaikan, bahwa kita memiliki keinginan itu [untuk menguasai 51 persen saham], masa gak boleh?," imbuh Jokowi.
Editor: Zakki Amali