tirto.id - Yogyakarta dikenal sebagai kota pelajar bukan karena jumlah mahasiswanya yang terbesar di Indonesia. Pada 2016, misalnya, jumlah mahasiswa yang belajar di provinsi DI Yogyakarta hanya sekitar sepertiga jumlah mahasiswa DKI Jakarta. Perbandingan antara jumlah mahasiswa dan penduduk Yogyakarta pun tak luar biasa: sekitar 10%. Namun, menurut Sudomo Sunaryo dalam artikelnya “Di Tahun 60-an Yogyakarta menjadi Kota Pendidikan Paling Terkenal” yang diterbitkan majalah berbahasa Jawa Djaka Lodang, predikat itu muncul lantaran Yogyakarta berhasil menjadi ekosistem ideal bagi pendidikan dari generasi ke generasi.
Sudomo mengisahkan bagaimana masyarakat setempat menyediakan diri sebagai keluarga kedua: merangkul dan “ikut mendidik” para pelajar, yang berasal dari banyak tempat, dengan nilai-nilai kultural mereka. Yogyakarta juga memelihara kehidupan intelektual. Itu tampak pada luasnya akses terhadap buku-buku murah serta ruang-ruang di mana keterampilan dan wawasan dapat dipertukarkan secara bebas. Bila dirangkum, dapatlah dikatakan bahwa ekosistem pendidikan yang istimewa di Yogyakarta tercipta berkat pembauran dan kolaborasi.
Kebaikan kolaborasi tak berhenti di ruang-ruang kelas. Ia juga memengaruhi dunia kerja. Sejumlah riset memaparkan bahwa hal itu merupakan salah satu faktor penentu kesuksesan perusahaan, sebab ia meningkatkan produktivitas para pekerja sekaligus mutu hasil pekerjaan mereka. Konsultan manajemen kerja dan otomatisasi Smartsheet menyatakan kolaborasi memudahkan para pekerja dalam mengembangkan diri, membuat mereka merasa lebih dihargai, dan membantu mereka memahami tujuan besar pekerjaan masing-masing.
Pengaruh kultur kolaborasi terhadap dunia kerja di Yogyakarta tampak jelas pada perkembangan perusahaan-perusahaan rintisan atau startup. Ketika Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) menyelenggarakan Bekraf Developer Day (BDD) pada November 2018, sebanyak 1.200 peserta antusias untuk menghadiri gelar wicara dan bincang-bincang yang menjembatani para pengembang dengan pelantar teknologi mutakhir untuk mengembangkan produk-produk digital, khususnya di bidang subsektor aplikasi, game, dan web, serta Internet of Things (IoT). Bahkan sebelumnya, berbagai komunitas pengembang dan pelaku bisnis digital di Yogyakarta sudah lahir dan berkembang pesat, antara lain GameLan, Creacle Studio, Qajoo Studio, Hicca Studio, dan Niji.
Deputi Infrastruktur Bekraf, Hari Santosa Sungkari, dalam penyelenggaraan BDD saat itu menyatakan bahwa Kota Yogyakarta adalah tempat yang ideal untuk mendirikan startup. Selain karena banyaknya bakat di bidang kreatif digital, tersedia pula berbagai instrumen pendukung pertumbuhan startup digital seperti pusat kreatif, coworking space, inkubator, dan akselerator.
Perkembangan terus-menerus fasilitas penunjang kolaborasi seperti coworking space menjadi bukti lain pesatnya pertumbuhan startup di Yogyakarta.
CoHive, yang merupakan perusahaan penyedia ekosistem terintegrasi berupa coworking, coliving, dan coretail space, melakukan ekspansi ke Yogyakarta pada awal 2019. Tidak hanya menghadirkan coworking space atau ruang kerja bersama, CoHive juga selalu menekankan pentingnya membangun komunitas dan kolaborasi untuk mengembangkan bisnis para anggotanya. Berbagai cara dilakukan, mulai dari menggelar acara bincang-bincang sesama pelaku startup hingga mempertemukan mereka dengan para investor. Acara-acara ini dinilai dapat memicu kreativitas dan produktivitas para pekerja.
Menurut data World Economic Forum 2017, dalam waktu dekat, sebagian besar pekerjaan di seluruh dunia akan ditangani oleh generasi milenial. Sebanyak 63% anggota generasi ini yang sudah bekerja mengandalkan teknologi untuk keperluan profesional mereka. Kenyataan itu menciptakan pergeseran budaya kerja. Berbeda dari generasi-generasi sebelumnya, pekerja milenial lebih mementingkan fleksibilitas dan mobilitas. Cara berpikir mereka: kalau urusan bisa diselesaikan dengan baik dan lebih cepat tanpa ke kantor, kenapa harus ke kantor?
Digital Nomads
Istilah digital nomad kini semakin marak digunakan untuk menyebut para pekerja muda di dunia startup dan industri digital. Banyak di antara mereka memenuhi tanggung jawab profesional sembari melancong ke berbagai tempat dan menjadikan seluruh dunia sebagai "kantor."
Di Indonesia, kawasan Ubud, Bali, dikenal sebagai salah satu tujuan unggulan para digital nomads. Situs Nomad List memberinya nilai 4,12 dari 5. Kehadiran kelompok ini, ditambah perkembangan berbagai perusahaan rintisan yang juga mengusung prinsip fleksibilitas, memperkaya ragam dunia kerja Bali sekaligus memanfaatkan kelengkapan infrastrukturnya sebagai kawasan tujuan wisata.
Pieter Levels, seorang programmer asal Belanda, dalam blognya Levels.io, memprediksi bakal ada 1 miliar digital nomads di berbagai penjuru dunia pada 2035. Tak hanya mengacu perkembangan profesi pekerja lepas yang semakin diminati para milenial, pandangan itu juga ditentukan oleh perkembangan kecepatan internet. Menurut prediksi Alcatel-Lucent, pada 2035 kecepatan internet akan mencapai 12,5 gigabita per detik.
Dengan bekerja di luar kantor ala freelancer atau bahkan di tempat-tempat terpencil sebagai digital nomad, tak berarti seseorang harus melakukan segalanya sendirian atau “mampus dikoyak-koyak sepi”, seperti kata Chairil Anwar dalam sebuah puisinya. Untuk berkolaborasi secara efektif, mereka hanya memerlukan ruang yang tepat, dan salah satu pilihan ruang terbaik adalah coworking space.
49,3% ekspor Bali berasal dari sektor ekonomi kreatif. Hal ini, secara tak langsung, menengarai potensi besar sekaligus kesiapan Bali menyambut budaya kerja baru.
Ruang untuk Tumbuh Bersama
Pada 2015, tiga peneliti asal University of Michigan’s Ross School of Business (Spreitzer, Bacevice, dan Garret) menyatakan ‘nilai rata-rata perkembangan’ orang yang bekerja di coworking space adalah 6 dalam skala 7. “Capaian itu 1 poin lebih tinggi ketimbang rata-rata karyawan yang bekerja di kantor-kantor konvensional,” tulis mereka di Harvard Business Review.
Melampaui kepuasan atau contentment, para pekerja yang berkembang tak sekadar produktif dan penuh semangat, tapi juga ikut membentuk masa depan karier dan perusahaan. Salah satu penyebabnya: mereka bisa berinteraksi dengan banyak orang dari berbagai latar belakang di coworking space, sehingga mereka merasa menjadi bagian dari sebuah komunitas.
Berbagai perusahaan coworking space berupaya mengusung misi tersebut. CoHive, yang telah melakukan ekspansi ke hampir 30 lokasi di Jakarta, Medan, Bali, dan Yogyakarta, terus berupaya menghadirkan fasilitas komunitas dan kolaborasi bagi sekitar 8.000 anggotanya. Tidak hanya berbagai event, CoHive juga menyediakan arena biliar, mini golf, mini bar, dan common room yang memudahkan anggotanya berinteraksi dan membangun jaringan.
CoHive, yang berdiri sejak Juni 2015, akan segera melebarkan jangkauan ke bisnis coliving space dan coretail space. Artinya, suasana komunal tidak hanya dirasakan saat bekerja, tetapi juga saat bersantai dan makan. Produk-produk terbaru CoHive ini akan diluncurkan pada April 2019. Tentunya, dengan semakin banyak fasilitas penunjang, kolaborasi menjadi harapan baru bagi para pekerja startup untuk semakin kreatif dan produktif.
Editor: Advertorial