Menuju konten utama

Kisruh Transportasi Bukan Sepenuhnya Salah Pemerintah

Permenhub No. 32 Tahun 2016 dinilai bisa menyelesaikan masalah sengketa jasa layanan transportasi online dengan konvensional.

Kisruh Transportasi Bukan Sepenuhnya Salah Pemerintah
Sopir angkutan melakukan mogok massal untuk menolak keberadaan taksi dan ojek berbasis aplikasi online di depan Balai Kota Malang, Jawa Timur, Senin (20/1/2017). ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto/foc/17.

tirto.id - Pengamat Kebijakan Publik Universitas Indonesia (UI) Harryadin Mahardika menilai pemerintah terlambat dalam bertindak sehingga kisruh transportasi online dengan konvensional terlanjur terjadi di berbagai tempat. Namun, hal ini bukan menjadi kesalahan pemerintah sepenuhnya.

Harryadin melihat pemerintah lambat dalam menangani kasus perdebatan transportasi online. Sikap tegas pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perhubungan, tidak sigap dalam mengatur regulasi angkutan umum berbasis aplikasi. Padahal, pemerintah seharusnya cepat tanggap dengan apapun yang terjadi di masyarakat.

"Pemerintah hadir belakangan. Meski begitu, kita tak bisa sepenuhnya menyalahkan pemerintah," kata Harryadin Mahardika di Cikini, Jakarta, Sabtu (25/3/2017).

Menurutnya, Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) No. 32 Tahun 2016 dinilai bisa menyelesaikan masalah sengketa jasa layanan transportasi online dengan transportasi konvensional. Akan tetapi, sejumlah pertimbangan perlu dilakukan sebelum pemerintah menegakkan secara resmi aturan tersebut.

Harryadin melihat dua poin penting yang perlu diperhatikan dalam menerapkan Permenhub tersebut. Pertama, pemerintah tidak boleh menerapkan Permenhub 32 Tahun 2016 secara berlebihan dan kaku. Ia menegaskan, pemerintah harus membuat suatu ketentuan agar tidak terjadi bentrok.

Kedua, perusahaan pemilik aplikasi harus transparan kepada Kemenhub mengenai data para armadanya, sehingga pemerintah bisa memonitor dan jalannya roda perusahaan bisa teratur. Sebagai contoh adalah mengenai jumlah moda transportasi dan tarifnya.

"Ini bukan cuma untuk konsumen, kompetitor, dan pemerintah, tapi juga bagi drivernya. Misal, saat dia dijanjikan (gaji) sekian, lalu ada pesaing makin banyak, sehingga penting bagi mereka dalam melakukan (peningkatan) pekerjaannya itu," tutur Harryadin.

Harryadin menambahkan, pemerintah bisa mencontoh negara lain seperti Amerika Serikat dalam menangani masalah kehadiran transportasi online. Setidaknya pemerintah bisa menarik para pelaku transportasi online untuk hadir dan menanyakan komitmen apakah para pengusaha mau diatur dalam berusaha di Indonesia sebelum melakukan penindakan.

Baca juga artikel terkait TRANSPORTASI ONLINE atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Iswara N Raditya