tirto.id - Mantan Perdana Menteri Inggris, Tony Blair, menjadi dewan pengarah pembangunan ibukota baru Indonesia. Kabar ini keluar dari mulut Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan.
Selain Blair, Putra Mahkota United Emirat Arab (UEA), Sheikh Mohammed bin Zayed (MBZ) dan pendiri Softbank, Masayoshi Son juga tergabung dalam tim. MBZ sebagai ketua dan Son sebagai anggota lainnya.
Meski Indonesia merekrut ketiga orang tersebut, Presiden Joko Widodo mengaku tak memberi bayaran sama sekali. Dengan menjadi dewan pengarah, menurut Jokowi, ketiga orang itu justru punya keuntungan karena mendapat tawaran investasi.
“Kita ini bukan menawarkan pulau, kita menawarkan investasi,” kata Jokowi seperti dikutip JPNN hari Jumat (17/1/2020).
UEA bisa disebut rising star dalam hal investasi di Indonesia belakangan ini. Dari kawasan Timur Tengah, UEA adalah yang paling besar berinvestasi di Indonesia dengan nilai 68,2 juta dolar AS. Ke depan, UEA bahkan menjanjikan investasi senilai Rp300 triliun.
Kehadiran Softbank juga tak mengherankan. Dana dari Jepang selama ini menjadi investasi kedua terbesar di Indonesia. Kendati Softbank sering batal menaruh investasi di pelbagai perusahaan belakangan, tapi Son sebagai pria terkaya di Jepang cukup menjadi harapan Indonesia untuk investasi.
Sosok Blair mungkin tak segemerlap MBZ dan Son. Blair bukan keturunan keluarga kerajaan pun orang terkaya di Inggris. Ia pernah menjadi politisi terpopuler Inggris pada 1997 sekaligus paling tidak populer sepuluh tahun kemudian. Perang Irak hanyalah satu penyebab anjloknya popularitas Blair.
Invasi Irak
Pria bernama lengkap Anthony Charles Lynton Blair ini tercatat sebagai salah satu perdana menteri Inggris yang paling lama menjabat. Dia menduduki kursi orang nomor satu di Britania Raya sejak 1997-2007, tepatnya selama 10 tahun 57 hari.
Dengan kemampuan komunikasi yang baik, Financial Times menyebut Blair menguasai kancah perpolitikan di Inggris. Dalam Politicans and Rhetoric (2005) dosen Universitas West of England, Jonathan Charteris-Black menulis, retorika Blair tampil dalam kalimat pendek yang menarik untuk diingat. Gaya itu berhasil membawanya ke puncak karier.
“Komponen vital kesuksesan Blair sebagai politikus adalah gaya komunikasinya: ini berdasarkan pemahaman mendasar bahwa penting untuk membangun pesan yang persuasif di zaman komunikasi modern,” tulis Black.
Tak hanya itu, Blair menjadi pimpinan partai buruh selama tiga periode berturut-turut.
Kepiawaian negosiasi Blair terlihat jelas ketika ia sukses membawa perdamaian ke Irlandia Utara. Hampir 30 tahun, kelompok-kelompok politik di Irlandia Utara saling bertikai, utamanya antara Republikan dan kelompok Unionis. Republikan ingin Irlandia Utara bergabung dengan Republik Irlandia, sedangkan Unionis tak ingin Irlandia Utara merdeka dari Inggris.
Namun Blair berhasil membawa kubu-kubu yang berkonflik untuk duduk dan bersepakat berdamai pada 10 April 1998. Perjanjian itu kemudian dikenal sebagai Good Friday Agreement. Kelompok yang bertikai sepakat untuk membubarkan paramiliternya dan membentuk pemerintahan bersama.
Hasilnya, dalam tahun-tahun ke depan, Ian Paisley, mantan pemimpin Democratic Unionist Party (DUP) duduk di pemerintahan bersama pemimpin partai Republikan Sinn Fein, Martin McGuinness. Independent mencatatnya sebagai tanda “Irlandia Utara sudah benar-benar berubah”.
Dalam The Blair Legacy: Politics, Policy, Governance, and Foreign Affairs (2009), peneliti dari Universitas Liverpool Jonathan Tonge mencatat konflik di Irlandia Utara kala itu sebagai yang “terparah dan terpanjang dalam sejarah Eropa bagian Barat setelah Perang Dunia II”. Bagaimanapun, kedamaian di Irlandia Utara adalah salah satu warisan besar Tony Blair.
Pada tahun 2007, Blair tiba-tiba mundur dari jabatan PM Inggris dan pemimpin Partai Buruh, partai yang sudah dia nakhodai selama 13 tahun lamanya. Setahun sebelumnya, lembaga survei di Inggris Ipsos MORI menemukan 67 persen dari respondennya mengaku tak puas dengan kinerja Blair. Untuk pertama kalinya, popularitas Blair anjlok.
Dukungan Blair kepada Amerika Serikat untuk invasi ke Irak.
Blair membina hubungan baik dengan Presiden Amerika Serikat George W. Bush. AS dan Inggris bekerjasama menginvasi Irak pada 2003 dengan dalih melucuti senjata pemusnah massal (Weapon of Mass Destruction) milik Baghdad.
Inggris mengirimkan 45 ribu pasukan dari tiga matranya. Sebanyak 179 personel tewas. Dalam pernyataannya, Blair menyebut Saddam sebagai tokoh yang harus dihabisi karena mengancam keamanan, termasuk Inggris.
“Rezim Saddam Hussein hina. Dia mengembangkan senjata pemusnah massal dan kita tidak bisa membiarkannya begitu saja. Dia adalah ancaman bagi rakyat dan wilayahnya sendiri, termasuk bagi kita,” kata Blair seperti dikutip France24.
Blair sempat beberapa kali memaparkan sebagian hasil temuan gabungan dinas intelijen asal Inggris Joint Intelligence Committee (JIC). Pada September 2002, Blair menyatakan JIC telah menyimpulkan Irak menyimpan senjata kimia dan biologi. Produksinya terus dilanjutkan oleh Saddam. Militer disebut-sebut akan menggunakannya. Senjata itu, menurut Blair, bisa aktif dalam 45 menit dan Saddam bermaksud mengembangkan senjatanya itu sampai setingkat senjata nuklir.
Sebulan sebelum serangan, Blair kembali meyakinkan publik dengan hasil temuan JIC.
Kendati demikian, penyelidikan yang dilakukan setelah serangan menunjukan fakta sebaliknya. Laporan berjudul Review of Intelligence on Weapons of Mass Destruction (2004) yang dirilis House of Commons Inggris menyatakan Secret Intelligence Service (SIS) atau lebih dikenal dengan MI6 Inggris memakai sumber “yang tak bisa dipercaya” terkait keberadaan WMD.
Laporan itu membalikkan pernyataan Blair 180 derajat. Tidak ada penyangkalan Blair terkait laporan yang dikenal dengan Butler Review itu. Kendati demikian, Blair berdalih kesalahan penilaian adalah hal yang manusiawi. Setelah serangan, Blair baru mengakui bahwa “bukti soal adanya senjata pemusnah massal, termasuk kapabilitas Saddam membuat senjata itu ternyata keliru.”
Kesalahan Blair kian tersingkap ketika kepala penyelidikan invasi Inggris di Iraq, Sir John Chilcot, mengeluarkan laporan 12 jilid pada 2016. Chilcot menduga MI6 telah memalsukan sumber informasi dengan mengacu pada film Michael Bay berjudul The Rock (1996) yang dibintangi oleh Nicholas Cage.
Menurut laporan Chilcot, MI6 tidak melaporkan pemalsuan itu kepada Blair. Hanya saja, Blair seharusnya punya cara lain menyelesaikan perkara dengan Irak, misalnya dengan jalur diplomasi. Laporan Chilcot menyebut keputusan invasi itu bukanlah “upaya terakhir” yang dimiliki Blair.
Sampai sekarang, Blair tak menyesali keputusannya mengirim ribuan orang ke Irak dengan risiko kematian. Membalas laporan Chilcot, Blair menampik ada usaha intelijen untuk memalsukan sumber. Blair juga mengatasnamakan kepentingan warga Inggris untuk invasi yang ia perintahkan.
“Aku percaya tindakanku demi yang terbaik untuk negeri ini,” kata Blair seperti dilansir Metro.
Martin McGuinness yang terbantu perundingan damai yang disponsori Blairmenemukan sosok pahlawannya dalam situasi yang sangat berbeda. Baginya “[Peristiwa] Tony Blair dan Iraq hampir berkebalikan dari situasi Tony Blair di Irlandia.”
Pensiun? Belum
Turun dari jabatan PM Inggris, Blair mendirikan Windrush Ventures Limited and Windrush Ventures No.1 Limited pada tahun yang sama. Dia juga bergabung dengan Quartet on the Middle East yang tak lain beranggotakan PBB, Eropa, Amerika, dan Rusia. The Quartet bertujuan melakukan mediasi antara Israel dan Palestina.
Dari sini terbukalah jalan Blair menjadi rekanan negara lain. Dia menjadi penasihat berbagai pemerintahan. Mulai dari Rwanda, Liberia, Kuwait, Guinea, Malawi, Vietnam, Peru, Albania, Myanmar, Kolombia, Mesir, Azerbaijan, Kenya, Serbia, dan terakhir Indonesia.
Kedekatan Blair yang paling banyak dibicararakan adalah hubungannya dengan Uni Emirat Arab (UEA). Telegraph mendapat salinan dokumen yang menunjukkan UEA membayar biaya konsultasi kepada Blair saat dia duduk di The Quartet. Tindakan Blair menuai kontroversi mengingat posisinya tersebut. UEA sendiri tidak mempunyai hubungan baik dengan Israel. UEA yang tergabung dalam Liga Arab sudah memboikot Israel lebih dari 30 tahun yang lalu.
Bukan sekali itu saja UEA kedapatan mengalirkan dana untuk Blair. Pada 2009, Tony Blair Associates (TBA) yang didirikan Blair meneken kesepakatan dengan Mubadala, perusahaan asal Abu Dhabi, Uni Emirat Arab (UEA). Belum ada catatan resmi berapa yang didapat oleh Blair, tetapi jumlahnya mencapai jutaan dolar Amerika. Peran Blair berikutnya adalah membantu kerjasama antara perusahaan minyak Korea Selatan dengan pengusaha asal Abu Dhabi.
Pada 2013, Blair menjadi konsultan pembangunan pemerintah Kolombia. Uniknya bayaran untuk Blair datang dari kantong UEA. Setahun berselang, Mesir di bawah kepemimpinan Abdel Fattah el-Sisi mengangkat Blair sebagai penasihat reformasi ekonomi. Tujuannya juga untuk mengundang UEA berinvestasi di Mesir. Masih di tahun yang sama, Blair menjadi penasihat proyek ekspor gas alam dari Azerbaijan ke Eropa. Proyek itu memakan biaya hingga 45 miliar dolar Amerika.
Blair juga membantu terjalinnya investasi antara Abu Dhabi dengan Cina di tahun 2015.
Tak ada sumber resmi yang menegaskan penyebab UEA terus menggelontorkan uang ke kantong Blair. Hanya saja, kepiawaian Blair dalam diplomasi-investasi menjadi salah satu dugaan, apalagi kala itu dia masuk dalam The Quartet yang memegang peranan penting di Timur Tengah.
Dekat dengan UEA, bukan berarti hubungan Blair dengan Palestina baik. Sebaliknya, tugas utama Blair di The Quartet terbengkalai. Warga Palestina tidak senang dengan kehadiran Blair karena mereka merasa ia tak membawa dampak apa-apa. Blair dianggap tidak melakukan apa pun untuk kepentingan Palestina dan hanya fokus pada urusan bisnis dengan rekan-rekannya, yang tak lain adalah pihak yang terlibat dalam konflik Israel-Palestina.
“Tony Blair tak melakukan apa pun untuk kami,” kata warga negara Palestina, Michael Musleh seperti dilansir Telegraph.
Blair juga dianggap punya kedekatan dengan Israel karena bergabung dengan Labour Friends of Israel. Kekesalan Palestina bertambah ketika Blair tidak langsung setuju dengan kemerdekaan Palestina dalam pertemuan di PBB. Blair justru menganggap tindakan Palestina dapat memicu perang.
“Kalian bisa menawarkan resolusi apapun kepada PBB atau Dewan Keamanan, itu tidak akan menjadikan Tepi Barat dan Gaza sebagai bagian negara kalian. Dan kalau kalian tidak bernegosiasi, apa pun yang kalian lakukan di PBB akan memicu konfrontasi,” kata Blair seperti dikutip Independent.
Blair memang tidak menyukai kelompok Hamas yang memerintah di Palestina pada 2006. Alih-alih mengakui Hamas, Blair berpihak pada Israel dengan memboikot pembicaraan dengan Hamas sebelum mereka mengakui keberadaan Israel.
Pada 2017, Blair tiba-tiba berubah pikiran dan mengakui kekeliruan telah memboikot Hamas. Pengakuan itu terjadi setelah British Gas, perusahaan energi asal Inggris tidak lagi bercokol di Gaza.
Berdasar catatan Francis Beckett dkk dalam Blair Inc–The Power, The Money, The Scandals (2016) orang Palestina menganggap Blair mengakomodasi British Gas mengeksploitasi gas alam di Gaza sejak 1999. Bagi warga Palestina, tindakan itu adalah pencurian.
Ketika Hamas berkuasa, aktivitas British Gas di lokasi yang dikenal dengan Gaza Marine menjadi masalah dan harus dihentikan. Negosiasi buntu kendati British Gas Group (BG Group) telah meminta bantuan Israel. Hanya saja BG Group memilih terus bertahan. Tahun 2015, BG Group diakuisisi oleh Royal Dutch Shell (RDS) dengan nilai 70 juta dolar Amerika. Baru pada 2018 RDS memutuskan hengkang dari Gaza.
“British Gas Group sudah mempermalukan warga Palestina,” kata Ziad Thatha, menteri ekonomi Hamas di pemerintahan Palestina.
Padahal dalam sidang Dewan Keamanan PBB 2020, Indonesia mengecam Israel tak mempunyai itikad baik dan menghambat perdamaian di Timur Tengah. Namun Indonesia justru menjalin kerjasama dengan salah satu tokoh yang paling bermasalah di Palestina, Tony Blair.
“Ya itu bukan urusan kita itu,” tukas Luhut.
Editor: Windu Jusuf