tirto.id - Tasripin adalah legenda Semarang. Ia saudagar yang pernah tinggal di Kampung Kulitan. Dalam Sang Pemula (2003: 73), Tirto Adhi Surjo pernah menyebut Tasripin sebagai pengusaha kulit yang sukses.
Menurut laporan koran De Locomotief (10/05/1902), Tasripin mengantongi izin untuk menyembelih ternak di tempat penjagalannya di Kampung Beduk. Salah satu pemanfaatan kulit hewan ternak ini adalah dalam pengembangan wayang kulit. S. Haryanto dalam Pratiwimba Adhiluhung: Sejarah dan Perkembangan Wayang (1988:66) mencatat bahwa Tasripin membuat wayang gaya Yogyakarta dicampur dengan gaya pesisiran.
Selain bisnis yang terkait dengan kulit, Tasripin juga mempunyai pabrik es. Menurut koran Bataviasch Nieuwsblad (30/08/1910), Amat Tasan bin Tasripin membuka pabrik es batu di Karreweg (kini Jalan Cipto Mangunkusumo), Semarang. Pabrik tersebut menghasilkan 800 pon es sehari. Tiap pon dijual 2 sen.
Tanah Tasripin tak hanya di Kampung Kulitan. Menurut Hersri Setiawan dalam Memoar Pulau Buru (2004:168), tanah Tasripan juga terdapat di daerah Semarang timur. Sementara berdasarkan cerita yang dihimpun Ratih Dian Saraswati dan Riandy Tarigan dalam penelitiannya (PDF), pada abad XIX Tasripin membeli sejumlah tanah dari orang-orang Belanda untuk mengembangkan bisnisnya. Maka tak heran jika ia mempunyai rumah di daerah Jeruk Kingkit, Kampung Kulitan, Pederesan, Wot Prau, Gendingan, dan lainnya. Sebagian tanahnya juga digunakan untuk tempat tinggal para pekerjanya yang berasal dari pinggiran Semarang.
Menurut laporan koran Algemeen Handelsblad (26/10/1919), kekayaan Tasripin mencapai 45 juta Gulden. Pemasukan rata-rata perbulannya diperkirakan antara 35 hingga 40 ribu gulden.
Sebagai orang Jawa yang hidup di pesisir, sejak awal Tasripin sudah terbiasa dengan kultur berdagang, bukan sebagai amtenar. Pada awal abad XX, golongan pedagang Jawa mulai muncul. Namun, jumlah mereka belum terlalu banyak.
Koran Bataviaasch Nieuwsblad (11/08/1919) melaporkan bahwa Tasripin wafat pada pukul 10 pagi tanggal 9 Agustus 1919, pada usia 85 tahun. Artinya ia lahir pada 1834, empat tahun setelah Perang Jawa berakhir. Masa hidupnya sezaman dengan raja gula Semarang, Oei Tiang Hiem.
Semasa hidupnya, Tasripin memiliki beberapa istri. Salah satu putranya yang bernama Amat Tasan, adalah yang paling terkenal dan dianggap sebagai pengganti Tasripin. Ia mengalami masa-masa munculnya Sarekat Dagang Islam (SDI) yang kemudian menjadi Sarekat Islam (SI). Meski semula keluarga Tasripin penganut Kejawen, tetapi kemudian dekat ke Islam. Sebuah gedung bersejarah milik Sarekat Islam di Semarang, bahkan sempat dikaitkan dengan keluarga besar Tasripin.
Menurut pemberitaan koran Soerabaijasch Handelsblad (27/08/1937), Amat Tasan tutup usia pada tahun 1937 di usia 72 tahun. Setelah kematian Amat Tasan, bisnis keturunan Tasripin masih berjalan, meski popularitasnya tak seperti saat dikelola oleh Tasripin. Sekitar 1950-an, sebuah badan usaha bernama Tasriepien Concern masih eksis di Semarang.
Keturunan-keturunan Tasripin kerap memakai suku kata “tas” pada nama mereka. Tas Sekti misalnya, yang merupakan mertua dari Menteri Agama Republik Indonesia era Orde Baru, Munawir Sjadzali.
Di zaman pendudukan Jepang, di Semarang terdapat seorang pedagang yang memakai suku kata “tas” pada namanya, yakni Amat Tassedjatie. Dalam Orang-orang Indonesia Jang Terkemoeka di Djawa (1944:208), Amat Tassedjatie disebutkan kelahiran Semarang 11 Oktober 1902 dan pendidikannya HIS. Dia memiliki sejumlah perusahaan dan kantor dagang yang bernama Tasco. Dia juga barangkali masih berkaitan dengan Tasripin, si juragan kulit.
Editor: Irfan Teguh