tirto.id - Sidi Tando adalah seorang pengusaha yang terkenal di zaman Sukarno. Ia disejajarkan dengan Rahman Tamin, Omar Tusin, dan Soedarpo. Menurut Ali Akbar Navis dalam Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau (1984:133) "Sidi" adalah gelar pada awal nama depan, seperti juga "Bagindo" dan "Sutan" di Pariaman.
“Bagindo Sulaiman bagi yang bernama Sulaiman, dan Sidi Tando bagi yang bernama Tando. Gelar ini merupakan warisan ayahnya. Kalau ayahnya bergelar Sutan, maka anaknya Sutan. Demikian pula gelar Bagindo dan Sidi,” tulisnya.
Seperti dicatat Mestika Zed dalam Saudagar Pariaman: Menerjang Ombak Membangun Maskapai (2017:326), Sidi Tando dan Hasanah, istrinya, mempunyai beberapa anak, salah satunya bernama Hansra Tando yang lahir di Jakarta pada 6 Januari 1936. Anak lainnya adalah Syarif Tando yang juga lahir Jakarta pada 20 Oktober 1942, ia pernah jadi Ketua HIPMI (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia).
Selain dengan Hasanah, seperti dimuat Tempo (27/09/1975), Sidi Tando juga pernah menikah dengan Farida—ibunda roker Ahmad Albar. Dari perkawinan itu, lahirlah Duma Tando. Mereka bercerai dan kemudian Farida menikah lagi dengan Djamaludin Malik, lalu lahirlah Camelia Malik.
Hasanah adalah salah seorang cucu Muhammad Saleh Datuk Urang Kayo Basa dengan istri keduanya, Banu Idah. Muhammad Saleh dikenal sebagai pedagang besar Pariaman sejak abad ke-19.
Sidi Tando kelahiran 30 Mei 1908, di Kampung Dalam, Pariaman. Nenek Sidi Tando yang bernama Lumut, adalah adik perempuan seayah dengan Muhammad Saleh. Pendidikan Sidi Tando lumayan tinggi di zamannya. Antara 1926 hingga 1931, seperti dicatat Mestika Zed, ia belajar dagang di Handelschool (Sekolah Dagang) Deventer, Belanda. Tidak semua pemuda bumiputra bisa pergi belajar ke Belanda. Butuh beasiswa atau orang tua kaya untuk bisa ke sana.
Sidi Tando, seperti disebut Bisuk Siahaan dalam Industrialisasi di Indonesia: Sejak Hutang Kehormatan sampai Banting Stir (1996:267), terkenal dalam bisnis ekspor impor barang-barang industri. Ia juga mempunyai NV Handel Maatschappij.
Di Jakarta, Sidi Tando terkenal karena mendirikan pabrik cat. Seperti dicatat dalam Republik Indonesia: Kotapradja Djakarta Raya (1953:568), pabrik cat itu dibuka pada 31 Juli 1952 dan dianggap sebagai pabrik cat nasional pertama di Indonesia.
Koran Belanda De Nieuwsgier (02/08/1952) melaporkan, pembukaan pabrik dihadiri oleh sejumlah pejabat sipil dan militer. Menteri Pertanian Sardjan, ayah dari seniman Titi Qadarsih, hadir dalam peresmian itu. Dua orang kepercayaan Sidi Tando, yakni Direktur Pelaksana AC de Sturier dan J Bollegraf, juga hadir dalam peresmian tersebut.
Pabrik ini setiap bulannya memproduksi 60 ribu kg, baik berupa cat Sidolin, duco Sidoloid, ataupun tinta cetak. Sidi Tando berusaha memasarkan catnya dengan harga murah. Untuk operasional, pabriknya yang meliputi produksi cat dan pengemasanya itu memiliki 80 tenaga ahli.
Pabrik di Jakarta adalah penerus dari pabrik Sidi Tando di Solo ketika revolusi kemerdekaan, yang kata koran De Nieuwsgier dibangun dengan “cara-cara primitive” alias apa adanya dengan nama NV Pabrik Tjat, Tinta, dan Pernis Indonesia. Waktu masih di Solo pada 1947, perusahaan ini dipimpin oleh Zainuddin bin Haji Sidi Tando. Sementara di Jakarta, pabriknya dibuat lebih modern dan diberi nama PT Perseroan Dagang dan Industri Sidi Tando yang beralamat di Jalan Abdul Muis nomor 92.
Dalam sebuah iklan di majalah Legislatif Jaya No. 26, Thn. 1971-1972, disebutkan pabrik yang dipimpin Sidi Tando itu menghasilkan cat rumah luar dalam dengan merek Sidolin, cat kayu besi tahan panas dengan merek Sidolux, cat tembok akrilik dengan merek Sidotex, dan cat untuk mobil dengan merek Sidoloid. Di kemasan cat Sidolin terdapat tulisan: "Buatan kita sendiri".
Setelah terkenal dengan cat bermerek Sidolin, bisnis Sidi Tando kemudian diperluas, termasuk di bidang perkapalan. Sidi Tando punya armada kapal antarpulau. Menurut Richard Robison dalam Indonesia: The Rise of Capital (2009:53), Sidi Tando mulai bergerak di perkapalan pada awal 1960-an. Kapalnya dipergunakan untuk mengangkut barang antara Jawa dengan Sumatra Barat.
Setelah masa-masa keemasan itu, bisnis Sidi Tando berangsur menurun, terutama setelah ia meninggal dunia.
“Sayangnya nama besar Sidi Tando tidak berlanjut pada generasi penerusnya.” Mestika Zed.
Editor: Irfan Teguh