Menuju konten utama
Perempuan Iran

Kisah Protes Perempuan Iran di Masa Lalu: Karena Roti & Tembakau

Perempuan Iran punya sejarah panjang protes. Di masa lalu mereka pernah melawan pemerintah karena roti dan tembakau, misalnya.

Perempuan Berdemo. foto/IStockphoto

tirto.id - Baca bagian I

Perempuan Iran: Warga Kelas Dua, Direpresi, tapi Terus Melawan

Perempuan Iran pada dasarnya adalah agen perubahan yang berdaya. Protes yang meledak akhir-akhir ini, yang disebabkan oleh kematian Mahsa Amini setelah menjalani proses “pendidikan ulang” gara-gara caranya berpakaian dianggap tidak sesuai aturan, memiliki akar yang panjang. Sejak nyaris dua abad silam, merekalah mesin penggerak dalam berbagai aksi dan protes di kota-kota besar negara tersebut.

Arsip tentang demo yang dimotori perempuan Iran sedininya bisa ditelusur sampai era Dinasti Qajar (1794-1925), demikian dipaparkan dalam buku The Qajar Pact: Bargaining, Protest and the State in Nineteenth-Century Persia (2005) karya Vanessa Martin. Martin menuturkan, karena perempuan mengelola urusan perut di rumah, mereka jadi militan sewaktu terjadi krisis bahan pangan. “Protes roti” pun jadi peristiwa yang kerap diasosiasikan dengan gerakan kaum ibu dan perempuan.

Salah satu demo perempuan paling awal berlangsung di Tehran pada 1849. Sekelompok perempuan dari Isfahan, sekitar 400 km dari Tehran, beramai-ramai mendatangi masjid. Rombongan mereka diikuti oleh para laki-laki yang totalnya mencapai dua ribu orang. Semuanya menyuruh imam masjid agar menemui shah (raja) untuk memintanya membereskan karut-marut yang berlangsung di Isfahan, termasuk perkara roti tadi.

Demonstrasi besar juga meletus di Shiraz pada 1865. Rombongan perempuan dari perkotaan sampai perempuan suku memprotes Gubernur Qavam al-Daula yang dianggap tidak peduli pada rakyat, membiarkan situasi kota tidak aman, dan harga roti mahal. Demonstrasi ini didukung laki-laki, bahkan komunitas pedagang pasar yang lantas menutup lapak. Staf senior yang dikirim gubernur untuk mengusir mereka malah dilempari batu. Keributan baru usai setelah gubernur dipecat.

Ketika bencana kelaparan melanda dan harga roti serta komoditas meroket di Tehran pada 1871, rombongan perempuan kembali melakukan protes dengan garang sampai-sampai tentara kerajaan perlu berjaga dengan senjata. Demonstran perempuan juga dilaporkan agresif saat memprotes harga roti di Shiraz pada 1878, sampai seorang beglerbegi—pejabat setingkat gubernur—dijatuhkan dari kudanya.

Pada 1885, wali kota Shiraz bernama Qavam al-Mulk bahkan pernah diadang dan dihina oleh dua perempuan yang memprotes tingginya harga komoditas. Kedua perempuan tersebut kelak dipenjara, dan pedagang pasar serta warga lain—dari ibu-ibu, bapak-bapak sampai anak-anak—melanjutkan protes.

Pada dekade berikutnya, kenaikan harga komoditas masih jadi faktor pendorong perempuan untuk berdemo di Isfahan (1893-94) dan di Shiraz (1895).

Pemicu demonstrasi pernah juga berkaitan dengan pihak asing atau luar negeri. Misalnya saat wabah kolera melanda Astarabad pada 1895. Saat itu kaum perempuan memprotes konsulat Rusia dan merusak toko-toko milik pedagang negara yang sama karena mereka dianggap sudah mengacaukan penjualan anggur. Menariknya, gerakan tersebut disinyalir sudah diinisiasi oleh kalangan ulama alih-alih perempuan sendiri.

Pada era kepemimpinan Shah Naser al-Din (berkuasa 1848 sampai 1896), ada kisah tentang protes dan boikot tembakau. Cerita dimulai ketika Shah Naser berpikir keras bagaimana cara mencari sumber pemasukan lain untuk membiayai kehidupan mewah keluarga kerajaan. Ia lantas memberikan konsesi tembakau kepada perusahaan Inggris selama 50 tahun. Ini adalah konsesi monopoli, yang berarti dari proses produksi sampai penjualan. Sebagai imbalannya, kerajaan rutin menerima keuntungan termasuk dividen dari Inggris.

Masalahnya, tembakau merupakan komoditas vital untuk menggerakkan ekonomi masyarakat. Memberi konsesi ke asing dikhawatirkan tak hanya merugikan penguasa lahan atau pengusaha tembakau, melainkan juga pedagang kecil dan tentu saja petani. Pada 1891, meletuslah protes di berbagai kota besar seperti Shiraz, Tehran, dan Tabriz. Aksi ini digerakkan oleh pedagang dan didukung pemuka agama.

Pihak kerajaan menanggapi aksi dengan kekerasan. Imam dan ustaz yang dituding mengompori protes bahkan dibuang ke perbatasan Irak.

Infografik Demonstrasi Sepanjang Sejarah

Infografik Demonstrasi Mencengangkan Sepanjang Sejarah. tirto.id/Fuad

Akhirnya, imam Syiah yang paling dihormati kala itu, Hajj Mirza Hasan Shirazi, mengeluarkan fatwa larangan terhadap tembakau. Isinya menyerukan agar warga melakukan boikot terhadap panen, penjualan, sampai konsumsi tembakau.

Menurut artikel yang disusun oleh Muhammad Sahimi di Frontline, terdapat tokoh perempuan yang berperan besar dalam gerakan boikot tersebut, yaitu Zainab Pasha. Perempuan kelahiran Tabriz ini diketahui pernah mengajak—sekaligus mengejek—para laki-laki yang dianggap takut melawan pemerintah.

“Apabila kalian, para laki-laki, tidak punya keberanian untuk menghukum para penindas... pakai saja kerudung kami dan pulanglah. Jangan mengaku sebagai laki-laki, kamilah yang akan berjuang alih-alih kalian,” demikian Zainab dilaporkan pernah bicara di depan kerumunan laki-laki, kemudian melepas kerudung, dan melemparnya ke arah mereka.

Saat boikot tembakau berlangsung dan pedagang menutup jualannya di pasar, pasukan pemerintah datang memaksa mereka untuk membuka kembali aktivitas pasar. Zainab-lah yang memimpin sekelompok perempuan bersenjata untuk melawan intimidasi tersebut.

Semua ingar bingar itu akhirnya sukses memaksa Shah Naser untuk membatalkan konsesi tembakau pada 1892. Mengutip Britannica, meskipun bukan demonstrasi mencengangkan yang banyak dicatat dalam buku sejarah, dampaknya, yaitu pembatalan konsesi, dianggap sebagai asal mula nasionalisme Iran modern.

(bersambung)

Baca juga artikel terkait IRAN atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Politik
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Rio Apinino