tirto.id - “Kenapa perempuan tidak direkrut [sebagai tentara di medan perang]?”
“Karena mereka lebih efektif jadi pendukung sipil di belakang.”
“Apa maksudmu? Kita punya perempuan yang seperti singa, mereka bertarung lebih baik daripada kamu dan aku.”
Percakapan di atas adalah obrolan dua tokoh laki-laki dalam novel realisme sosial Zamin-e Sukhteh 'Bumi Terbakar' (1982) karya penulis kenamaan Iran, Ahmad Mahmoud. Dalam karya ini pengarang melukiskan perubahan drastis Khorramshahr, kota pelabuhan di barat daya Iran yang berbatasan dengan Irak. Tempat tersebut awalnya damai, tapi berubah kacau balau akibat bombardir serangan udara. Nyawa warga setempat pun dengan mudahnya melayang.
Fiksi berlatar Perang Iran-Irak (1980-88) tersebut pada dasarnya adalah kritik dan realisasi dari sikap antiperang penulis. Pihak yang dikritik tidak lain adalah pemerintah baru Iran yang berdiri setelah Revolusi 1979. Pemerintah membingkai konflik politik dan teritorial dengan Irak sebagai propaganda “pembelaan kudus” dan “pertahanan suci” alih-alih sekadar “perang”.
Selain antiperang, novel Mahmoud juga kental dengan kritik terhadap peran gender dalam dunia patriarkal yang berkembang di bawah rezim islamis para ulama Syiah konservatif, sikap yang tampak sekali dalam kutipan percakapan di awal. Seorang tokoh perempuan remaja ciptaannya, misalnya, dikisahkan membangkang dari aturan pemerintah tentang hijab dengan bepergian ke luar rumah tanpa kerudung dan kaki dibalut celana jin ketat.
Maskulinisasi Perang Iran-Iran juga ditentang oleh Mahmoud melalui karakter janda paruh baya perkasa. Perempuan tersebut dideskripsikan aktif berjaga di sekitar pemukiman, memakai seragam tentara dengan sabuk amunisi, sembari membopong senapan G3 yang biasa dibawa oleh pasukan reguler.
Novel Mahmoud terbit seiring pemerintahan di bawah naungan Pemimpin Tertinggi Ayatollah Khomeini gencar membatasi peran perempuan di ranah publik. Dalam konteks Perang Iran-Irak, dilansir dari RFE/RL, rezim Khomeini memproyeksikan perempuan sekadar pendukung alias di belakang layar: dari mulai memasak, menjahit pakaian tentara, sampai membantu persiapan keberangkatan kerabat lelaki ke medan perang. Kalaupun perempuan diizinkan tampil, agendanya pasti propemerintah: bercerita di stasiun televisi milik negara tentang “kematian syahid” anak laki-laki atau suami mereka dalam perang.
Pembingkaian ini tidak sesuai fakta. Selama perang berlangsung, diperkirakan sampai 500 perempuan terjun langsung di garis depan. Namun memang jumlahnya tak seberapa dibanding mereka yang dimobilisasi sebagai dokter, perawat, dan tenaga bantuan umum—jumlahnya 25 ribu. Bahkan menurut laporan berbagai media, sedikitnya ada 170 perempuan Iran yang ditawan Irak.
Pemerintah acuh tak acuh dengan kenyataan tersebut. Tiga dekade setelah perang usai, persisnya pada 2019, mereka baru mau mengakui “pencapaian hebat” lima figur perempuan Iran tawanan Irak—tanpa mengungkap apakah mereka ikut bertempur langsung di medan perang atau tidak. Di sisi lain, tak terhingga banyaknya situs atau monumen—dari jalan sampai mural—yang didedikasikan untuk 200 ribuan tentara laki-laki yang gugur.
Pengakuan pemerintah yang terlambat ini mencerminkan betapa mudahnya Iran selama ini mengabaikan kiprah perempuan sekaligus memosisikan mereka sebagai warga kelas dua.
Gigih Melawan
Konstitusi 1979, yang disetujui lebih dari 99 persen penduduk, memang menyebut perempuan “dilindungi dengan setara.” Namun, dalam praktiknya, pemerintah justru mempersempit ruang gerak mereka, kondisi yang sebelumnya dijamin oleh Undang-undang Perlindungan Keluarga era kediktatoran Shah Pahlavi.
Di samping mengatur gaya berpakaian jadi serba tertutup, rezim islamis Iran juga kian menyudutkan perempuan ke situasi rentan: menurunkan batas usia menikah dari 18 menjadi 13 (sempat diturunkan jadi 9 namun dikembalikan ke usia 13 di era Ayatollah Ali Khamenei pada 2002), menggerus hak untuk menceraikan suami, pengasuhan anak setelah bercerai, sampai terkait pembagian warisan dan kebebasan untuk bepergian ke luar negeri (wajib atas izin suami).
Penerapan aturan tersebut diiringi dengan represi terhadap mereka yang berani melawan. Beberapa di antara yang terdampak adalah pengacara HAM pemrotes aturan hijab Nasrin Sotoudeh (pada 2019 dijatuhi hukuman penjara 38 tahun dan 148 cambukan dengan tuduhan menjadi mata-mata, menyebarkan propaganda, dan menghina Khamenei), jurnalis yang meliput demo buruh Sepideh Gholian (dihukum 18 tahun penjara, kelak diringankan jadi 5 tahun), sampai Zahra Hamadani dan Elham Chubdar (pada awal September dijatuhi hukuman mati karena membela hak-hak komunitas LGBT). Proses hukuman di atas bahkan dinodai dengan praktik kekerasan, seperti dialami aktivis Saba Kord Afshari di penjara tahun lalu.
Lalu apakah upaya menuntut kesetaraan dan penghapusan hukum-hukum diskriminatif berhenti? Tentu saja tidak.
Pada 2006 lalu, misalnya, muncul kampanye Satu Juta Tanda Tangan yang tujuan utamanya adalah mendesak kesetaraan gender. Kala itu, meskipun demonstran melakukan protes damai, respons polisi tetap saja brutal.
Perlawanan terhadap pemaksaan hijab juga dilakukan di media sosial. Kampanye My Stealthy Freedom yang diinisiasi oleh jurnalis eksil Masih Alinejad sejak 2014, misalnya, mengajak orang-orang mengunggah foto tanpa hijab.
Para perempuan Iran kembali membuat publik sedunia melirik mereka akhir-akhir ini karena alasan yang sama. Mereka berbondong-bondong turun ke jalanan di sedikitnya 46 kota sembari menyerukan slogan: “perempuan, kehidupan, kebebasan!”. Kali ini demonstrasi dipicu oleh kematian Mahsa Amini pada pertengahan September silam. Amini, baru berusia 22, diduga meninggal akibat sakit setelah dianiaya polisi moral selama menjalani proses “pendidikan ulang” gara-gara caranya berpakaian dianggap tidak sesuai aturan.
Protes kali ini, menurut New York Times, tergolong yang terbesar sejak 2009. Ketika itu demonstran perempuan ikut meramaikan jalanan Tehran untuk menolak kecurangan pemilu presiden yang memenangkan politikus konservatif Mahmoud Ahmadinejad.
Demonstran kali ini dilaporkan sampai memotong rambut dan bakar hijab. Aksi simbolis ini kemudian memunculkan kesan bahwa mereka sebenarnya hanya ingin menjelek-jelekkan atau memprotes Islam alih-alih pemerintah. Inilah yang juga digaungkan pemerintah. Namun narasi tersebut bisa ditepis sebagai akal-akalan elite politik. Mengutip penulis Iran-Amerika Alex Shams, yang diinginkan para demonstran sebenarnya tak lebih dari “diakhirinya eksploitasi agama sebagai alat untuk menjustifikasi penindasan [oleh pemerintah] terhadap rakyat.”
Sampai akhir September atau memasuki minggu ketiga sejak demonstrasi meletus, massa telah disambut dengan kekerasan oleh aparat dan pembatasan internet. Seiring itu, lembaga HAM berbasis di Eropa, Iran Human Rights, melaporkan korban jiwa sudah mencapai 83 orang termasuk anak-anak.
Meski sedemikian parah, pemerintah Iran menganggap karut-marut ini sepele. Setidaknya demikian yang bisa ditangkap dari pernyataan Menteri Luar Negeri Iran Hossein Amirabdollahian dalam wawancara dengan jaringan radio AS NPR, Senin (26/9/2022). “Saya yakinkan [kepada kalangan diplomat dari negara Barat] bahwa tidak ada masalah besar di Iran,” kata dia. “Tidak akan ada perubahan rezim di Iran,” tandasnya.
Mungkin Amirabdollahian lupa, atau sengaja tidak mau mengingat, bahwa empat dekade silam, Pemimpin Tertinggi Ayatollah Khomeini pernah memuja-muji kaum perempuan atas kontribusinya melengserkan kediktatoran Shah Pahlavi dan mewujudkan revolusi.
Pada 6 April 1979, sekitar dua bulan setelah penggulingan rezim lama, Khomeini berujar: “Kalian para perempuan telah membuktikan bahwa kalian berada di garda terdepan gerakan. Kalian punya peran besar dalam gerakan islamis kita. Masa depan negara kita bergantung pada sokongan kalian.” Beberapa hari kemudian, ia menekankan lagi: “Yang pertama-tama dan terpenting, kemenangan ini tercapai berkat jasa kaum perempuan daripada laki-laki.”
Meskipun akhirnya Khomeini sendiri melucuti aturan perlindungan perempuan dan kebebasan mereka untuk mengekspresikan diri, ada satu kebenaran yang mustahil diabaikan dari ucapan di atas: bahwa perempuan Iran pada dasarnya adalah agen perubahan yang berdaya. Sejak nyaris dua abad silam, perempuanlah mesin penggerak dalam berbagai aksi protes di kota-kota besar negara tersebut.
(Bersambung)
Editor: Rio Apinino