tirto.id - Selain Abul Wafa Ibnu Aqil, tidak ada manusia yang lebih sedih pada hari meninggalnya Qadli Abu Ya’la, seorang fakih dari Mazhab Hambali. Ibnu Aqil berguru langsung kepada Abu Ya’la selama tidak kurang dari tujuh tahun. Kecemerlangan dan kecerdasannya membuat sang guru jatuh hati. Ia menjadi murid kesayangan. Hubungan keilmuan menjadi sedemikian karib dan intim antar keduanya.
Mengenang gurunya berpulang, sama artinya dengan mengenang hari-hari panjang yang menyedihkan dan memilukan. Luka hati dan kecewa karena pengkhianatan adalah racikan terperih yang pernah dilalui oleh Ibnu Aqil dalam salah satu episode hidupnya. Ia harus bergulat dengan pedihnya fitnah dan kejamnya kebencian yang dihunjamkan kepada dirinya oleh orang-orang dekat.
Cerita kepedihan itu bermula beberapa hari setelah kematian Abu Ya’la. Kursi tertinggi mazhab Hambali di Baghdad kosong. Posisi bergengsi itu sudah sangat lama menjadi incaran kakak seperguruannya yang juga murid Abu Ya’la bernama Syarif Abu Ja’far. Ia murid senior. Jauh lebih senior dibandingkan Ibnu Aqil. Bahkan, Abu Ja’far tercatat tidak kurang dari dua puluh tahun menjadi asisten Abu Ja’far. Namun, urusan kecemerlangan dan keilmuan, Abu Ja’far jauh di bawah Ibnu Aqil.
Selain kedengkian terhadap kualitas keilmuan dan kepintaran Ibnu Aqil, pangkal kekecewaan Abu Ja’far bermula karena sang guru tidak mempromosikan dan menominasikannya untuk menempati posisi kursi tertinggi Mazhab Hambali yang ditinggalkan olehnya. Kenyataan itu membuatnya melakukan serangkaian rekayasa kedengkian guna menjegal Ibnu Aqil yang menduduki kursi tertinggi Mazhab Hambali di Bahgdad.
Berhasil lepas dari pelbagai hadangan, Ibnu Aqil akhirnya berhasil menduduki kursi bergengsi itu. Namun, petaka sebenarnya dimulai sesaat setelah kematian seseorang yang menjadi tulang punggung pembela Ibnu Aqil yang bernama Abu Manshur. Sejak kematian pria yang selalu setia menepis isu-isu miring tentang Ibnu Aqil itu, posisinya menjadi sangat rentan dan lemah. Separuh kekuatan Ibnu Aqil hilang bersama Abu Manshur.
Malang tak dapat ditolak, akibat gencarnya fitnah yang menyatakan bahwa Ibnu Aqil memuja rasionalitas, condong ke Mu’tazilah, dan kerap melakukan bidah, jabatan guru besar dan Imam Mazhab Hambali di Baghdad pun akhirnya dicopot secara paksa oleh otoritas yang berkuasa saat itu. Ibnu Aqil dicekal. Ia tidak boleh mengajar. Media-media dan penerbitan dilarang menerima tulisan-tulisannya. Ia hidup dalam kepedihan yang sangat.
Kebencian dan kedengkian merasuki hampir seluruh orang dekat Ibnu Aqil. Satu demi satu muridnya mulai menjauh. Mereka yang setia menjadi menutup diri. Cinta bersalin benci. Tidak ada rasa iba. Tidak ada belas kasih. Kebencian menjadi racun yang demikian mematikan, termasuk merusak hubungan guru dengan murid, juga kerabat.
Puncaknya adalah ketika Abu Ja’far menuduhnya sebagai Mu'tazilah. Seniornya itu juga memengaruhi khalifah Al-Qa’im untuk memberlakukan dekrit anti Mu’tazilah dan Syiah, yang menyatakan bahwa kedua kelompok tersebut harus dieksekusi kecuali yang bersangkutan mendeklarasikan diri keluar dari keyakinannya.
Akal licik Abu Ja’far tidak berhenti di sana. Ia tidak ingin menyaksikan Ibnu Aqil mati syahid, sehingga memaksa Ibnu Aqil untuk mendeklarasikan diri keluar dari Mu’tazilah yang ia tuduhkan. Usaha itu berhasil. Ibnu Aqil tidak jadi dieksekusi, hanya dipenjarakan dan dikucilkan. Ibnu Aqil hidup terasing dan hidup hanya dengan keluarganya selama bertahun-tahun.
Hidup seperti itu ia alami sampai tiga tahun setelah kematian Abu Ja’far. Setelah itu kepercayaan diri Ibnu Aqil mulai tumbuh. Semangat mengajar kembali bersemi. Ia memulai kembali mengajar kepada beberapa santri barunya. Ibnu Aqil wafat dengan mewariskan karya-karya yang monumental, salah satunya Kitabul Funun yang terdiri dari dua ratus jilid. Salah satu kitab yang bisa memotret pandangan-pandangan humanisme Islam.
Sebaliknya, karena sibuk mengurus kebencian demi kebencian yang menjalar di sekujur riwayat kehidupannya, Abu Ja’far meninggal dengan keadaan nihil tanpa karya. Tidak ada jejak pemikiran yang ia goreskan dalam bentuk kitab. Sementara fitnah dan riwayat kebenciannya seperti ditulis Khaled Abou El-Fadl dalam The Search of Beauty Islam (2001), populer dan dikenang sepanjang masa.
Kebencian terhadap Ibnu Rusyd dan Ulil
Sekitar seratus tahun setelah Ibnu Aqil meninggal, di belahan dunia yang lain, yakni di Andalusia, disebabkan oleh rasa benci yang dahsyat, tiga orang mati-matian memfitnah Ibnu Rusyd. Tiga orang itu adalah Al Hajjaj, Ibnu Jubair dan Ibnu Ayyasy. Mereka membuat propaganda dengan menyebarkan berita bohong kepada khalayak tentang Ibnu Rusyd yang dicitrakan sebagai sosok amoral yang gandrung bidah.
Kebencian itu juga menghinggapi Ibnu Zarqun, teman seperguruan Ibnu Rusyd, yang menyatakan di depan khalayak bahwa karya Ibu Rusyd yang bertajuk Bidāyatul Mujtahid tidak lebih sekadar sampah yang penuh dengan praktik plagiarisme. Belakangan baru diketahui, justru Ibnu Zarqun yang terbukti membuat karya yang kualitasnya jauh di bawah kualitas karya-karya Ibnu Rusyd.
Jauh setelah Ibnu Rusyd dan Ibnu Aqil mangkat, virus kebencian tidak juga lekang, malah terus menjalar dan sampai juga di Nusantara. Salah satunya dialami oleh Ulil Abshar Abdalla yang saat itu menjabat sebagai koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL), yang dituduh sesat dan difatwa halal darahnya oleh Forum Ulama Umat Islam (FUII).
Athian Ali sang motor penggerak FUII mengatakan, “Saya kira tidak layak orang semacam itu diberi kesempatan untuk melakukan penghinaan terhadap Islam. Semua pemikiran dan pandangan-pandangannya melecehkan Islam [...] Kita sudah mengeluarkan Fatwa Hukuman Mati untuk setiap orang yang menghina Islam, dan Ulil Abshar termasuk salah seorang yang pernah melakukan penghinaan secara terbuka terhadap Islam."
Ulil Abshar Abdalla dan koleganya di Jaringan Islam Liberal sering mengutarakan pendapat lewat pelbagai tulisan tentang pemikiran alternatif seputar keislaman. Namun, sejumlah ikhtiar intelektual tersebut justru diganjar dengan kebencian dan fatwa mati.
Demikianlah, tidak ada hal lebih melelahkan dibandingkan mengurus dan merawat kebencian yang selalu menebarkan kengerian.
==========
Sepanjang Ramadan, redaksi menampilkan artikel-artikel tentang kisah hikmah yang diangkat dari dunia pesantren dan tradisi Islam. Artikel-artikel tersebut ditayangkan dalam rubrik "Hikayat Ramadan". Rubrik ini diampu selama sebulan penuh oleh Fariz Alnizar, pengajar Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia dan kandidat doktor linguistik UGM.
Editor: Irfan Teguh Pribadi