tirto.id - Suatu pagi di awal November, semerbak aroma yang khas mendadak menyeruak dari arah belakang sekolah anak saya. Sungguh bukan aroma biasa ala sekolahan. Penasaran, saya mengintip dapur Mbak Diah, istri penjaga sekolah yang juga berjualan di kantin.
Benar saja, dari sana sumbernya. Terlihat Mbak Diah sedang mengangkat jengkol rebus dari sebuah panci.
“Wah, masak jengkol nih,” seru saya dan beberapa ibu yang biasa kongkow di kantin Mbak Diah.
Tersenyum, Mbak Diah lalu mengambil sepasang ulekan dan memipihkan jengkol rebus itu satu per satu. Mipisi atau memipihkan jengkol adalah teknik yang biasa dilakukan di wilayah kami di Temanggung, Jawa Tengah, supaya jengkol terasa lebih empuk dan bumbunya lebih meresap.
“Mau direndang, Mbak?” tanya saya lagi.
“Nggak tahu nih, Tan, yang penting dibumbui,” jawabnya sambil tertawa.
Dia lalu mengumpulkan bawang merah putih, kemiri, kunyit, jahe, dan cabai. Semua diulek hingga halus. Kompor dinyalakan, wajan dipasang dengan sedikit minyak. Sreng, bumbu halus ditumis, ditambahkan serai yang telah digeprek.
Mulanya aromanya nyegrak, menyengat, membuat beberapa orang bersin-bersin. Namun setelah jengkol dimasukkan, ditambahkan sedikit air lalu santan kental, ditambah pula daun salam dan beberapa bumbu penyedap, aroma nikmat langsung menebar ke segala penjuru arah.
Produksi air liur kami langsung meningkat, perut pun keroncongan, minta nyicip. Mbak Diah yang peka langsung menawarkan hasil olahannya. Tak lupa sepiring nasi hangat. Duuuh, nikmatnya.
Sembari merem-melek menikmati perpaduan rasa gurih, legit dan kenyalnya jengkol masakan Mbak Diah, percakapan tentang jengkol kian menggelora. Mulai dari masa panen yang sedang tiba, persoalan harga yang anjlok di puncak musim, hingga aneka cara pengolahannya.
Kok ya kebetulan sekali hari itu saya diminta pulang lebih cepat oleh ibu saya untuk membantu thuthuk jengkol. Thuthuk yang juga punya arti pukul, adalah teknik mengupas jengkol dengan cara memukulnya di sisi luar menggunakan sepotong kayu bulat seukuran genggaman tangan. Kulit jengkol yang keras seperti cangkang lantas pecah dan terbelah, menampilkan biji jengkol yang kekuningan.
“Masih mahal ya sekarang, Tante?” tanya Mbak Diah. Dia bercerita, jengkol yang diolahnya tadi dia beli seharga Rp15 ribu per kilogram.
“Sempat segitu, tapi katanya sekarang sudah turun. Dari petani dibeli sekitar Rp8-9 ribu per kilogram,” jawab saya. Informasi itu saya dapat dari beberapa orang yang menjual panenan jengkolnya.
Biasalah, hukum ekonomi berlaku. Jika barang tersedia cukup banyak, dalam hal ini panenan petani sedang bagus atau memasuki puncak panen dan semua orang memanen jengkolnya, harganya pasti anjlok. Tapi saat jengkol langka, tentu saja harganya melambung.
Saya ingat, jengkol dari petani di wilayah kami pernah dibeli Rp20 ribu per kilogram. Tapi hanya segelintir orang yang beruntung menikmatinya. Sampai ada candaan bahwa harga jengkol mengalahkan harga daging!
Saya sendiri doyan jengkol, tapi bukan penggila. Jadi ya secukupnya saja. Itu juga yang sudah diolah. Saya bukan pula penggemar jengkol mentah.
Pilih Jengkol Muda atau Bewek
Memangnya jengkol bisa dimakan mentah? Bisa dong!
Seperti urang Sunda, orang Jawa sebetulnya juga punya kebiasaan melalap sayuran mentah. Mulai dari yang biasa tersaji di warung, seperti mentimun, kemangi dan kol, hingga pete, dan jengkol.
Di kampung halaman saya, sebuah desa di ujung Kabupaten Temanggung, jengkol mentah biasanya dijodohkan dengan sambal terasi. Baik itu jengkol muda yang renyah cenderung empuk, atau jengkol sangat tua yang sudah berwarna kehijauan. Kami menyebutnya bewek.
Jengkol yang satu ini banyak ditemukan di tanah, sebagian sudah berkecambah, nyaris tumbuh menjadi tanaman. Saya pernah mencobanya. Rasanya? Renyah cenderung keras, tapi segar. Baunya jauh lebih menyengat. Sangat pas disantap dengan sambal terasi dan sayur nangka muda atau gori.
Ada tetangga saya yang sangat menggemari bewek. Jika tidak menemukannya di kebun, dia akan membuat bewek di rumah. Caranya, ambil beberapa jengkol tua, boleh yang sudah dikupas atau belum, lalu letakkan di permukaan dingin. Dekat penampungan air, misalnya. Tunggu kurang lebih selama satu minggu, maka jengkol yang tadinya berwarna kekuningan akan mulai bersemu hijau. Terlihat lebih segar.
“Nah kalau bewek saya masih bisa makanlah, walau aromanya lebih menyengat. Tapi kalau jengkol muda, pikir-pikir deh. Rasanya getir, nggak ada nikmat-nikmatnya,” kata Sofi, salah satu ibu menimpali.
Selain dimakan mentah sebagai lalapan, jengkol juga kerap digoreng lalu dimakan dengan sambal. Ada pula yang mencampurkan jengkol rebus dengan kelapa parut ditabur garam. Dibuat seperti makanan tradisional, gatot atau tiwul. Untuk olahan yang satu ini, jengkol menjadi cemilan. Belum pernah coba, kan?
Saya pernah mencobanya satu kali. Rasanya? Ya rasa jengkol, tapi unik. Ada pulen dari jengkolnya, ada gurih dari kelapa dan garamnya.
Makanan Musiman
Entah diolah dengan berbagai cara atau dimakan mentah, jengkol termasuk makanan musiman di daerah saya. Artinya, hanya dinikmati saat musim panen jengkol tiba.
Tidak seperti di kota besar lain yang setiap waktu berlimpah aneka bahan pangan dari berbagai penjuru Tanah Air, kami harus bersabar menunggu panenan dari kebun sendiri atau kebun tetangga untuk menyantap sesuatu.
Makan durian ya saat musim durian, makan pete ya pada masa panen pete, dan makan jengkol juga ketika pohon-pohon jengkol berbuah. Nah, di bulan Oktober, November, hingga Desember adalah masanya para petani di wilayah kami memanen jengkol.
Saya ingat, zaman kecil dulu saya senang sekali bergabung dengan para tetangga yang memanen jengkol. Orang tua saya yang pedagang dulunya kerap nebasi jengkol di kebun para tetangga. Nebas adalah istilah lain ijon, membeli berbagai hasil tani yang masih ada di pohon. Bahkan mungkin sebelum pohon yang dimaksud berbunga.
Jadi sekali panen jengkol, ukurannya bukan lagi kilogram namun kuintal, bahkan ton. Karena pohon jengkol umumnya besar dan tinggi, butuh para pekerja pria yang terbiasa memanjat pohon tinggi untuk memanennya. Sementara para perempuan turut serta untuk mengumpulkan jengkol yang berserak di tanah, lalu mengupasnya. Istilahnya thuthuk jengkol tadi.
Kumpulan buah yang bagus dimasukkan ke dalam karung-karung, lalu dibawa ke tengkulak. Sementara buah yang pecah terbelah atau kurang bagus yang sayang dibuang, dibawa pulang untuk diolah. Tidak perlu beli, kan?
Awas Jengkolen!
Pernah mendengar istilah jengkolen? Ada yang menyebutnya kejengkolan atau djengkolism. Ini adalah kondisi seseorang yang tidak sehat setelah mengonsumsi jengkol.
Dari sebuah referensi yang pernah saya baca, jengkolen bisa terjadi karena seseorang terlalu banyak makan jengkol pada suatu waktu. Padahal dalam biji jengkol terdapat asam jengkolat (djenkolic acid) yang merupakan asam amino yang mengandung sulfur. Sulfur jugalah yang membuat jengkol beraroma sangat kuat.
Nah, tubuh yang terlalu banyak menyerap asam jengkolat dapat keracunan. Kandungan ini membentuk kristal di ginjal sehingga menyebabkan seseorang kesulitan buang air kecil.
Mbak Sri, tetangga saya pernah cerita, jengkolen sangat menyiksa.
"Rasanya sakit sekali waktu pipis (buang air kecil). Bahkan yang keluar bukan air kencing (urine) tapi seperti tepung putih gitu,” katanya.
Apakah Mbak Sri makan terlalu banyak? Tidak.
“Mungkin karena tubuh saya sedang tidak fit saja saat makan jengkol. Buktinya, dari sekeluarga 5 orang, hanya saya dan adik saya yang jengkolen,” lanjutnya. Cara menyembuhkannya ya dengan berobat ke dokter.
Seorang dokter dalam sebuah artikel menjelaskan, mengatasi jengkolen cukup mudah, yakni dengan cara mencairkan asam yang mengendap dalam ginjal dengan basa. Cukup mengonsumsi natrium bikarbonat yang bisa didapat di apotek supaya asam tersebut mencair menjadi urine. Tapi jangan asal membeli natrium bikarbonat. Sebaiknya berkonsultasi pada dokter sehingga dosis yang diberikan pun lebih tepat. []
Editor: Nuran Wibisono