tirto.id - Taufik, seorang pemilik toko bahan bangunan di Jombang, Jawa Timur mengaku harus pintar-pintar menjual semen di tengah persaingan yang ketat. Berbagai merek semen ditawarkan oleh pemasok, yang berdampak pada harga semen yang tak sebaik beberapa tahun lalu.
“Harga jual semen juga masih oke, meski belum sebagus pada 2015. Mungkin karena banyak merek semen baru yang harganya lebih murah,” katanya kepada Tirto.
Ia kini hanya menjual Semen Bima yang harga sangat miring sekitar Rp40.000 untuk kemasan 40 kg. Padahal sebelumnya, Taufik hanya menjual Semen Gresik dan Holcim. Kedua merek semen ini harganya memang jauh lebih mahal di tokonya. Semen Gresik kemasan sama dijual Rp47.500 dan Holcim Rp42.000, sudah turun dari harga tahun lalu Rp43.000.
“Orang kalau mau cari premium ya Gresik, kalau cari yang murah ya Semen Bima,” kata Taufik.
Persaingan penjualan semen di pasar memang semakin sengit. Pada 2012, jumlah produsen semen di Indonesia hanya 9 perusahaan, tapi kini sudah mencapai 19 perusahaan. Banyaknya pendatang baru berimbas pada kapasitas produksi semen nasional meningkat.
Sepanjang 2016, kapasitas produksi semen sudah menembus 95,5 juta ton, padahal kebutuhan domestik dan ekspor hanya 63,5 juta ton. Bila membandingkan data 2014, kapasitas pabrik semen masih 69,5 juta ton, ada kenaikan 26 juta ton naik 38 persen. Ini sama saja per tahun ada kenaikan kapasitas produksi 19 persen. Yang jadi persoalan adalah, pertumbuhan penjualan semen di pasar bergerak di bawahnya.
Baca juga: Pabrik Semen Mengepung Jawa
Berdasarkan data Asosiasi Semen Indonesia (ASI), penjualan semen domestik pada Oktober 2017 sudah mencapai 6,8 juta ton, naik hanya 11,4 persen dari periode yang sama tahun lalu. Secara kumulatif, jumlah total penjualan semen secara nasional sepanjang Januari-Oktober 2017 mencapai 54,19 juta ton, meningkat hanya 7,3 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Produsen Kena Dampak
Di atas kertas volume penjualan semen memang mengalami kenaikan, tapi bila mengacu dari kondisi harga di lapangan yang mengalami tren penurunan harga, maka dampaknya pada penjualan masing-masing produsen. Kondisi ini bisa dilihat dari emiten semen yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI). Saat ini sebanyak empat emiten, dua emiten merupakan perusahaan pelat merah yaitu PT Semen Indonesia Tbk. (SMGR) dan PT Semen Baturaja Tbk. (SMBR). Dua lagi swasta yaitu PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. (INTP) dan PT Holcim Indonesia Tbk. (SMCB).
Secara umum, kinerja pendapatan para emiten semen pada periode Januari-September 2017 masih terpuruk. Hanya Semen Indonesia saja yang mencatatkan kenaikan pendapatan, yakni sebesar 7,69 persen menjadi Rp20,55 triliun. Holcim masih belum mempublikasikan laporan keuangan terbaru.
Hingga 30 September 2017, penyumbang terbesar pendapatan Semen Indonesia masih didominasi penjualan semen, senilai Rp17,55 triliun, atau 85 persen dari total pendapatan. Kenaikan pendapatan tidak didorong dari penjualan semen, karena penjualan semen dari Semen Indonesia justru turun 2 persen dari periode yang sama tahun lalu senilai Rp17,86 triliun.
Saat pendapatan naik, laba bersih perseroan malah menurun, hanya Rp1,45 triliun, turun 50 persen. Tergerusnya laba bersih karena beban usaha yang melonjak 26 persen menjadi Rp14,5 triliun.
Baca juga: Sudah Saatnya Ganjar Menyetop Semen Indonesia
Emiten semen BUMN lainnya adalah Semen Baturaja. Berbeda dengan Semen Indonesia, kinerja pendapatan Semen Baturaja turun. Perseroan hanya mencatatkan pendapatan Rp999,6 miliar per 30 September 2017, turun tipis 4,15 persen dibandingkan periode yang sama pada 2016, yang sempat capai Rp1,04 triliun.
Salah satu penyumbang penurunan penjualan karena permintaan pasar di Sumatera Selatan dan Lampung turun 6 persen menjadi Rp939,38 miliar. Namun, di luar pasar utama pada kedua wilayah itu, seperti Jambi dan Bengkulu, perseroan meraup kenaikan pendapatan 59 persen menjadi Rp60,22 miliar.
Pendapatan yang turun membuat laba bersih Semen Baturaja juga merosot, meski beban usaha juga ikut turun. Tercatat, laba bersih yang berhasil diraup perseroan hanya Rp107 miliar, turun 39 persen.
Kinerja pendapatan melorot juga dialami Indocement. Emiten dengan kode saham INTP ini membukukan pendapatan per 30 September hanya Rp10,51 triliun atau 7 persen dari periode sama 2016 yang sempat Rp11,34 triliun. Pemicunya karena penjualan semen dan beton siap pakai yang menurun, masing-masing turun 6 persen menjadi Rp9,75 triliun dan turun 25 persen menjadi Rp1,57 triliun. Dampaknya laba bersih yang diraup sebesar Rp1,4 triliun, turun 55 persen.
Harga Saham Tak Ikut Goyang
Kinerja keuangan para emiten semen tidak otomatis mempengaruhi harga saham emiten semen. Investor masih percaya dengan prospek industri semen dalam negeri ke depannya. Kebijakan pemerintah yang fokus pada pembangunan infrastruktur dengan alokasi anggaran infrastruktur terus naik setiap tahun, nampaknya masih membuat investor percaya diri.
Berdasarkan grafik saham dari Bloomberg, per 16 November 2017, harga saham Semen Indonesia senilai Rp2.750 per saham, naik 14 persen dari awal 2017 senilai Rp2.410 per saham. Kenaikan harga saham tertinggi terjadi pada kuartal II-2017 senilai Rp3.550 per lembar saham.
Kinerja saham yang positif juga ditorehkan Semen Baturaja, per 16 November 2017, saham Semen Baturaja senilai Rp9.900 per saham, naik 5,3 persen dari harga saham awal tahun ini sebesar Rp9.400 per saham. Nilai saham tertinggi tercatat menyentuh Rp10.875 per saham pada kuartal III-2017.
Saham Indocement juga bergerak naik. Pada 16 November 2017, harga saham Indocement tercatat Rp19.900 per saham, naik 25 persen dari harga saham pada 5 Januari 2017 senilai Rp15.900 per saham. Harga tertinggi yang pernah ditorehkan terjadi pada 2 November 2017 yang menembus Rp23.300 per saham.
Analis Recapital Sekuritas Kiswoyo Adi Joe punya analisa soal kinerja keuangan emiten semen yang terpuruk disebabkan penjualan semen yang tidak sesuai harapan seiring dengan permintaan properti yang masih lesu. Bank Indonesia (BI) mencatat perkembangan harga properti komersial dan kredit konsumsi pada triwulan III-2017 menurun dibandingkan triwulan sebelumnya.
“Daya dorong penjualan semen itu dari properti sebenarnya. Kalau dari infrastruktur itu kecil, tidak banyak. Karena permintaan semen sedikit, harga jual semen juga terkoreksi. Apalagi, kondisi saat ini masih over supply,” katanya.
Apa yang dikatakan Adi klop dengan catatan Asosiasi Semen Indonesia (ASI). Pasar semen di Indonesia, sebanyak 70 persen umumnya didorong oleh perumahan dan sisanya 30 persen oleh infrastruktur.
Baca juga: Sewa Perkantoran Lesu, Pasar Virtual Office Jadi Pilihan
Permintaan semen diperkirakan masih akan melambat seiring dengan perkembangan bisnis properti yang baru akan menggeliat pada 2-3 tahun mendatang. Selain itu, pemain semen juga terus bertambah di antaranya kedatangan Anhui Conch, perusahaan asal China yang agresif meningkatkan pangsa pasarnya di Indonesia.
Ingar bingar pembangunan infrastruktur bisa membuat terlena para pemain semen yang terus melakukan ekspansi yang bisa mempengaruhi harga. Di sisi lain penopang utama pasar semen masih belum pulih, menjadi kombinasi lesunya bisnis semen saat ini.
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Suhendra