Menuju konten utama

Kim Ji-young, Born 1982 dan Reaksi Publik Korea Soal Isu Gender

Novel Kim Ji-young, Born 1982 yang kemudian difilmkan menuai pro kontra di Korea Selatan. Isu gender masih sensitif di negeri itu.

Kim Ji-young, Born 1982 dan Reaksi Publik Korea Soal Isu Gender
Novel Kim Jiyoung, Born 1982. wikipedia/ fair use/amazon.com/penggunaan untuk artikel novel terkait

tirto.id - Masyarakat Korea Selatan sedang ramai dengan perbincangan ketimpangan gender di dunia kerja, karena novel berjudul Kim Ji-young, Born 1982. Novel ini mengisahkan hidup seorang wanita berusia 30-an tahun yang mengalami diskriminasi gender di dunia pekerjaan. Film ini akan tayang pada 20 November 2019.

Diskriminasi yang dialaminya tidak lain karena sumbangsih budaya patriarki yang telah mengakar di Korea Selatan. secara faktual, apa yang dialami oleh tokoh utama, Kim Ji-young tersebut merepresentasikan kehidupan perempuan di Korea Selatan.

Tahun lalu, Korea Selatan gempar dengan isu beberapa perusahaan ketahuan memanipulasi skor hasil ujian pelamar perempuan. Dalam kasus itu diduga perusahaan menurunkan skor ujian perempuan sehingga lebih banyak laki-laki yang dapat masuk ke perusahaan tersebut.

Perusahaan tersebut diantaranya KB Kookmin Bank, KEB Hana Bank, dan Shinhan Bank. Tuntutan kemudian dilayangkan ke pihak perusahaan, namun pengadilan Korsel hanya meminta perusahaan membayar denda yang terbilang kecil setelah perusahaan tersebut dinyatakan bersalah, CNN mewartakan.

Tidak hanya di tempat kerja, bahkan di tempat umum, diskriminasi juga terjadi. Pada 9 Juni 2018, 22 riu perempuan turun ke jalanan untuk berunjuk rasa memperjuangkan privasi mereka karena maraknya "Kamera Mata-mata", sebuah kamera kecil yang sengaja dipasang di toilet atau ruang ganti wanita untuk mengintip aktivitas perempuan di dalamnya.

Menurut laporan Human Right Watch, foto atau video yang ditangkap oleh kamera tersebut kemudian disebar secara online. Perbuatan tersebut dianggap melanggar privasi perempuan. Sepanjang 2017 ada 6 ribu laporan kejahatan terkait perekaman ilegal, berdasarkan Data Kepolisian Korea Selatan, sebagaimana dilansir ABC News.

Fenomena di Korea Selatan tersebut disebut "epidemi kamera mata-mata", dan semakin menjadi saat pada Maret 2018 polisi menangkap pelaku yang ketahuan memasang kamera tersembunyi di sebuah motel.

Menanggapi fenomena tersebut, pemerintah Kota Seoul melakukan inspeksi kamera mata-mata tersembunyi di berbagai area, seperti motel, pemandian umum, salon kecantikan, dan tempat-tempat umum lainnya.

"Pemerintah kota akan mengimplementasikan sistem inspeksi reguler untuk menanggulangi perekaman ilegal. Kami berharap masyarakat akan lebih waspada dan tempat ini segera akan menjadi wilayah bebas kamera mata-mata," kata Yoon Hee-cheon, direktur Divisi Polisi Wanita Pemerintah Kota Seoul.

Diskriminasi dan pelanggaran hak asasi tidak hanya terbatas pada pekerjaan dan kehidupan sosial,tapi juga dalam karir, dan politik. Paham feminisme pun dikecam habis-habisan oleh masyarakat konservatif.

Perlawanan Perempuan di Korea Selatan

Irene, salah seorang member grup vokal Red Velvet menerima kecaman keras karena ia menyatakan diri seorang feminis dan membaca novel Kim Ji-young, Born 1982. SBS melaporkan, para penggemar pria yang marah mencaci dan membakar fotonya karena tindakan Irene.

Tidak hanya Irene, idol wanita lainnya, Son Naeun, salah satu member APink mengunggah foto dirinya memegang ponsel dengan case bertuliskan "girls can do anything" dari Zadig&Voltaire.

Warganet kemudian mengkritik Naeun dan menuduhnya sengaja mempromosikan feminisme. Namun, beberapa fans perempuan membuat gerakan online #girlscandoanythinga dan menjadi trending topic di Twitter.

Gerakan Kontra Feminisme

Namun gerakan feminisme di Korea Selatan ini mendapat tentangan. Sebuah kelompok di Korea bernama Dang Dang We adalah kelompok yang memperjuangkan keadilan bagi laki-laki.

"Feminisme tidak lagi tentang kesetaraan gender. Ini adalah diskriminasi gender dan caranya kasar dan penuh kebencian," kata Moon Sung-ho, pemimpin Dang Dang We.

Moon memulai kelompok tersebut tahun lalu saat seorang pengusaha dijatuhi hukuman 39 enam bulan karena memegang pantat seorang wanita di restoran sup Korea.

Kasus ini memicu kemarahan bahwa seorang pria dapat dihukum karena tidak ada bukti di luar klaim korban. Moon dan beberapa orang mengecam hakim atas putusan tersebut, dan menemukan faktor lainnya, yaitu feminisme.

Moon dan anggota kelompoknya mengadakan diskusi panel di Majelis Nasional, legislatif Korea, pada awal September untuk mengungkap apa yang mereka anggap bahaya dari gerakan feminis tersebut.

Beberapa mahasiswa di Korea juga menyatakan ketidaksetujuannya dengan gerakan feminisme, seperti gerakan #MeeTooyang ramai di media sosial.

"Saya tidak mendukung gerakan #MeeToo," kata Park (bukan nama sebenarnya), mahasiswa bisnis yang juga merujuk bahwa perempuan muda masa kini dianggapnya tidak berperan baik di masyarakat. "Saya setuju bahwa perempuan di usia 40 sampai 50-an tahun berkorban, tapi saya tidak percaya perempuan di usia 20 dan 30-an didiskriminasi."

Kim (20) juga sependapat dengan Park yang menyatakan ia menjauhi perempuan yang suka pergi ke bar, atau punya kehidupan malam di luar agar tidak dituduh melakukan tindak pelecehan seksual. Dia mengatakan bahwa gerakan feminisme adalah upaya mempersekusi laki-laki.

"Saat perempuan mengenakan pakaian terbuka, itu kekerasan gender dan objektifikasi sosial. Namun kritik yang sama tidak disematkan ke pria. Feminisme punya standar ganda," ujarnya.

Kim dan Park, dan mungkin juga sebagian besar masyarakat Korea masih beranggapan bahwa feminisme adalah omong kosong.

Di sisi pemerintah, Moon Jae-in, presiden Korea Selatan melakukan upaya-upaya penyetaraan hender di segala bidang.

Pada saat kampanye pemilihan presiden pada pemilu 2017, ia berjanji akan menjadi presiden yang feminis. Ia dan pemerintah Korea Selatan mendukung gerakan unjuk rasa di jalan-jalan terkait #MeeToo.

Sejak saat itu pula, pejabat tinggi di Korsel yang terikat kasus pelecehan seksual yang melibatkan politisi, bintang K-pop, dan pria biasa mulai menemui titik balik. Pemberian sanksi dan kemenangan di pihak korban mulai terbangun.

Dalam sebuah konferensi pers awal tahun 2019, Moon mengatakan bahwa ketimpangan gender di Korea Selatan adalah realitas yang memalukan, dan pemerintah tengah berupaya menanggulanginya.

Saat ini parlemen Korea Utara berisikan 17 persen perempuan, berdasarkan laporan World Bank dan pekerja perempuan di administrasi Moon Jae-in sendiri kurang dari 30 persen.

Baca juga artikel terkait GENDER atau tulisan lainnya dari Anggit Setiani Dayana

Kontributor: Anggit Setiani Dayana
Penulis: Anggit Setiani Dayana
Editor: Agung DH