Menuju konten utama

Kim Ji-young, Born 1982 & Diskriminasi Perempuan Korea Selatan

Perempuan di Korea Selatan mengalami diskriminasi dari level pekerjaan hingga politik. Penyebabnya diduga karena budaya patriarki begitu kuat di negeri itu.

Dalam foto ini diambil pada 2 Desember 2010, anak muda Korea Selatan berjalan melalui lingkungan sekitar Universitas Sungkyunkwan di Seoul. Penembakan Korea Utara terhadap Pulau Yeonpyeong pada 23 November adalah perang terdekat dengan perang untuk generasi yang lahir sejak Perang Korea berakhir pada tahun 1953. AP / Wally Santana

tirto.id - Korea Selatan secara konsisten menduduki peringkat tertinggi ketimpangan gender di dunia, berdasarkan Laporan Pengembangan Manusia, dirilis oleh PBB pada 2018 dengan indeks 0,063 (indeks tertinggi 0,048 diraih oleh Norwegia).

Korea Selatan juga merupakan negara dengan perbedaan gaji antara laki-laki dan perempuan tertinggi dengan persentase 35 persen berdasarkan Glass Ceiling Index oleh The Economist. Hanya dua persen korporasi di Korea Selatan yang mempekerjakan perempuan sebagai pemimpin, dan satu dari 10 posisi manajerial di Korea Selatan dipegang oleh perempuan.

The Diplomat mewartakan, bahwa perempuan yang bekerja akan menerima tekanan sosial untuk berhenti dari pekerjaannya ketika mereka memiliki anak.

Gambaran Diskriminasi Perempuan di Korea

Fenomena diskriminasi perempuan Korea Selatan tersebut ditampilkan dalam novel terbitan 2016, Kim Ji-young, Born 1982 mengisahkan hidup seorang wanita berusia 30-an tahun yang mengalami diskriminasi gender di setiap titik dalam hidupnya.

Ia mengalami titik balik luar biasa dalam hidupnya saat ia harus berhenti dari pekerjaan yang dicintainya untuk menjadi ibu rumah tangga. Keputusan itu pun karena paksaan sosial. Budaya patriarki yang kental menyumbang andil besar atas kejadian dalam hidupnya tersebut.

Kisah Kim dalam novel tersebut akan ditayangkan dalam film berjudul sama, Kim Ji-young, Born 1982 pada 20 November mendatang. Bukan sekedar cerita fiksi, diskriminasi perempuan di tempat kerja benar adanya.

CNN merangkum beberapa kisah perempuan yang mengalami diskriminasi di tempat kerja.

Seperti, sebuah perusahaan yang menolak pendaftar perempuan dan pihak perusahaan menyebut bahwa bidang yang coba dilamar oleh perempuan tersebut, yaitu bagian penjualan, tidak layak bagi perempuan.

Kisah serupa dituturkan oleh seorang mahasiswi bernama Kim So-jung yang mendaftar pekerjaan part-time, pewawancaranya memberi pertanyaan, seperti "Apakah kamu berkencan?", dan melontarkan kalimat-kalimat, "Perempuan lebih cantik kalau tidak pakai kacamata," dan "Kamu harus coba pakai make up supaya terlihat profesional,".

Kim So-jung kemudian bertanya apa hubungannya pekerjaan yang saya lamar dengan hal-hal tersebut, dia justru dianggap terlalu lancang. Kim akhirnya tidak mau melanjutkan prosesi wawancara.

Ketidaksetaraan Gender di Politik Korea

Ketidaksetaraan juga terjadi di bidang politik, yang mana perempuan menduduki 17 persen kursi parlemen, berdasarkan laporan World Bank.

Moon Jae-in, Presiden Korea Selatan menyatakan dalam konferensi pers awal tahun 2019 bahwa ketimpangan gender di Korea Selatan adalah realitas yang memalukan, dan pemerintah tengah berupaya menanggulanginya.

Seorang profesor hukum perburuhan di Ewha Law School, Seoul, Park Kwi-cheon mengatakan, "Perempuan Korea Selatan memiliki tingkat pekerjaan rendah meskipun memiliki tingkat pendidikan yang tinggi. KIta bisa melihat bahwa diskriminasi dalam perekrutan masih berlanjut dalam banyak hal,"

Park merujuk pada sejumlah kasus yang terjadi di perusahaan Korea Selatan sebagai bukti bahwa masalah itu lazim di masyarakat Korea Selatan. Tiga bank di Korea Selatan, KB Kookmin Bank, KEB Hana Bank, dan Shinhan Bank, diketahui menghilangkan nama perempuan dan memanipulasi skor kelulusan bagi pelamar perempuan.

Budaya Patriarki di Korea

Ketimpangan gender ini terjadi karena paham patriarki yang mengakar kuat dalam masyarakat Korea. Laki-laki dan perempuan sudah dikotak-kotakkan dengan jenis pekerjaan dan tanggung jawab tertentu, seperti laki-laki mencari nafkah dan perempuan mengurus rumah dan anak.

"Inilah sebabnya mengapa diskriminasi gender dalam perekrutan diterima secara luas dan terus dipraktikkan," kata Choi Mi-jin, presiden Pusat Dukungan Hukum Perburuhan Wanita.

Sebagian besar perusahaan menganggap pekerja perempuan dapat mengganggu kelangsungan bisnis karena cuti hamil. Dalam sebuah survei tahun 2017 oleh perusahaan perekrutan Incruit, satu dari empat perempuan ditanya tentang rencana mereka menikah atau memiliki anak selama wawancara.

Ketika sebuah perusahaan telah dinyatakan bersalah atas diskriminasi, hukuman yang mereka terima tidak sepadan. KB Kookmin yang dinyatakan bersalah karena mengeleminasi secara curang 12 pelamar perempuan didenda sebesar 4,5 ribu dolar AS.

Hukuman kecil tersebut hanya akan membuat perusahaan berpikir, "Saya lebih suka membayar [denda kecil] dan melakukan apa pun yang saya inginkan," ujar dia.

Ketimpangan Gender Pengaruhi Ekonomi

Kembali melansir Diplomat, ketimpangan gender di Korea Selatan berpengaruh pada keadaan ekonomi. Kegagalan mengintegrasikan perempuan secara lebih adil ke dalam implikasi ekonomi jangka panjang bagi Korea Selatan secara keseluruhan. Populasi angkatan kerja Korsel juga sudah menurun.

Sementara populasi keseluruhan Korea Selatan masih terus bertambah, diperkirakan akan mulai menurun segera setelah 2028. Populasi usia kerja Korea Selatan sudah mulai menurun. Dengan tingkat kesuburan total turun di bawah satu untuk pertama kalinya pada 2018, tampaknya ada sedikit prospek untuk beralih ke memiliki lebih banyak anak dalam waktu dekat.

Berdasarkan perkiraan PBB, populasi usia kerja Korea Selatan dapat turun 7,5 juta orang antara hari ini dan 2040. Penurunan populasi usia kerja Korea Selatan dapat mendorong tingkat pertumbuhan potensial Korea Selatan ke level 1 persen pada tahun 2030 menurut perkiraan baru-baru ini. .

Salah satu solusinya adalah dengan mengintegrasikan perempuan lebih baik ke dalam angkatan kerja. Sejak 1990, partisipasi perempuan dalam angkatan kerja telah meningkat dari 47 persen perempuan usia kerja menjadi 52,8 persen pada 2018. Selama periode yang sama, partisipasi laki-laki dalam angkatan kerja telah meningkat dari 64,1 persen menjadi 72 persen.

Baca juga artikel terkait KOREA SELATAN atau tulisan lainnya dari Anggit Setiani Dayana

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Anggit Setiani Dayana
Penulis: Anggit Setiani Dayana
Editor: Agung DH
-->