tirto.id - Selain Kiai Kholil Bangkalan yang legendaris karena jadi guru bagi banyak kiai berpengaruh di Nusantara, di kalangan santri dikenal juga kiai dengan nama sama: Kiai Kholil juga, tapi dari Lasem, Rembang. Nama lengkapnya K.H. Mansur Kholil, pengasuh Pondok Pesantren An-Nur Lasem, Jawa Tengah, yang meninggal pada 2002.
Kiai Kholil ini merupakan salah satu tokoh Nahdlatul Ulama pada generasi pertama. Meskipun seorang kiai dan punya banyak santri, cara berpakaian Kiai Kholil cukup jarang menunjukkan hal itu dalam kehidupan sehari-hari. Ia seringkali hanya mengenakan kaos putih dan celana “selabruk”, semacam celana yang panjangnya hanya sampai di bawah lutut.
Hal ini sebenarnya cukup bisa dimaklumi. Di Lasem, Rembang, suhu udara di siang hari akan terasa sangat panas. Membuat siapapun akan merasa gerah. Mengenakan sarung menutupi seluruh bagian kaki dan baju muslim tentu sangat tidak nyaman. Pada akhirnya, jika tidak sedang ada acara penting di rumah atau lingkungan pesantrennya, Kiai Kholil tidak sungkan mengenakan pakaian layaknya orang kampung biasa.
Suatu ketika, Kiai Kholil sedang jalan-jalan di sekitaran kampung dengan mengenakan celana selabruk. Tiba-tiba datang orang asing yang menghampirinya.
“Assalamu’alaikum,” kata orang ini.
“Wa’alaikumsalam,” jawab Kiai Kholil menghentikan langkahnya.
Diperhatikan dengan seksama, orang ini tidak membungkukkan tubuh dan mengecup tangan Kiai Kholil. Tapi malah celingak-celinguk seperti orang kebingungan.
“Ada apa, Mas?” tanya Kiai Kholil.
“Oh, anu, sampeyan tahu ndalem (rumah)-nya Kiai Kholil Lasem enggak ya, Koh?” tanya orang ini.
Jangankan mengecup atau membungkukkan tangannya, orang ini bahkan juga menyebut Kiai Kholil dengan panggilan “Koh”. Terang sudah, orang itu tak mengenali siapa yang disapanya.
Panggilan “Koh” adalah panggilan yang cukup familiar untuk menyebut seseorang beretnis Cina. Tidak hanya bagi masyarakat Lasem, tapi juga panggilan umum.
Sapaan "Koh" kepada Kiai Kholil ini sebenarnya agak bisa dimengerti. Secara sekilas Kiai Kholil memang seperti orang Cina. Kulitnya kuning langsat dan matanya sedikit sipit. Apalagi di Lasem percampuran kebudayaan Cina dan Jawa sangat kental. Jadi wajar jika sebelum orang ini bertanya kepada Kiai Kholil, bisa jadi orang ini sudah bertanya dengan beberapa “Koh” betulan sebelum-sebelumnya.
Selain dikenal sebagai kota yang memiliki beberapa pesantren terkenal, Lasem juga merupakan kota yang memiliki nuansa akulturasi masyarakat Jawa dan Cina yang sangat akrab. Merunut laporan National Geographic Traveler edisi Februari 2016, sudah sejak lama Lasem dikenal sebagai “Beijing Kecil”. Banyak pesantren yang bersinggungan dan punya interaksi langsung secara positif dengan pemukiman Cina di Lasem. Inilah yang membuat istilah “pribumi” dan “pendatang” tidak terlalu relevan di kota kecil ini.
Karena terbiasa dengan keragaman inilah Kiai Kholil pun menanggapi santai panggilan “Koh” yang disematkan kepada dirinya. Barangkali tidak hanya orang ini saja yang keliru mengira bahwa Kiai Kholil adalah seorang pengusaha Cina di daerah tersebut dan sedang bersantai-santai sambil jalan-jalan.
“Oalah, Kiai Kholil yang itu. Saya tahu rumahnya,” kata Kiai Kholil menahan senyum.
“Alhamdulillah, di sebelah mana, Koh?” tanya orang ini lagi.
“Kamu lurus aja nanti belok kanan. Nah, itu rumahnya yang itu. Kelihatan, kok, dari sini,” kata Kiai Kholil.
Tanpa mengucapkan terima kasih, orang ini langsung kabur begitu saja menuju arah yang dimaksud. Menyadari bahwa rumahnya akan kedatangan tamu, Kiai Kholil juga ikut pulang. Namun ia tidak melalui jalan utama, melainkan lewat jalan belakang, yang membuatnya sedikit lebih cepat tiba di rumah.
Begitu masuk rumah, Kiai Kholil segera mengganti kaos putihnya dengan baju rapi dan memakai sarung. Selang beberapa detik, terdengar ketukan dari pintu depan.
“Assalamua’aikum,” kata orang itu dari depan kediaman Kiai Kholil.
Tanpa menjawab terlebih dahulu Kiai Kholil segera membuka pintu, “Wa’alaikumsalam,” jawab Kiai Kholil.
Tentu saja orang ini langsung terkejut hampir terkena serangan jantung. Mengingat saat bertemu tadi ia tidak bersalaman, mengecup tangan, bahkan sampai memanggil kiai yang akan ia sowani hari itu dengan panggilan “Koh”. Apalagi saat diberi arahan jalan sebelumnya, ia juga luput belum mengucapkan terima kasih.
Kiai Kholil pun santai saja melihat keterkejutan tamunya dengan ucapan sederhana:
“Eh, ketemu lagi.”
Setiap hari sepanjang Ramadan, redaksi menurunkan naskah yang berisi kisah, dongeng, cerita, atau anekdot yang, sebagian beredar dari mulut ke mulut dan sebagiannya lagi termuat dalam buku/kitab-kitab, dituturkan ulang oleh Syafawi Ahmad Qadzafi. Melalui naskah-naskah seperti ini, Tirto hendak mengetengahkan kebudayaan Islam (di) Indonesia sebagai khazanah yang berlangsung dalam kehidupan sehari-hari. Naskah-naskah ini tayang di bawah nama rubrik "Daffy al-Jugjawy", julukan yang kami sematkan kepada penulisnya.
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Zen RS