tirto.id - Kiai Haji Bisri Mustofa wafat pada 16 Februari 1977, tepat hari ini 44 tahun lalu. Ia mewariskan Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin di Rembang, Jawa Tengah, yang kemudian dikelola oleh putra-putrinya.
Bisri Mustofa lahir di Kampung Sawahan, Gang Palen, Rembang, pada 1915. Semasa kanak-kanak, putra dari H. Zainal Mustofa dan Aminah ini bernama Mashadi. Namun setelah menunaikan ibadah haji pada 1923, ia mengganti namanya menjadi “Bisri”.
Menurut Achmad Zainal Huda dalam Mutiara Pesantren: Perjalanan Khidmah KH. Bisri Mustofa (2005: 86), Bisri kecil pada mulanya adalah sosok yang malas belajar dan mengaji di pondok pesantren. Ia lebih menyukai bekerja untuk mencari uang ketimbang mengaji. Namun, itu tidak berlangsung lama, sebab ia akhirnya bersedia mengaji dan menekuni ilmu-ilmu keislaman di Pesantren Kasingan, Rembang, yang diasuh oleh Kiai Cholil Harun.
Selain mondok di Pesantren Kasingan, Bisri Mustofa juga mengaji pasanan (pengajian pada bulan suci Ramadan) di Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur, asuhan K.H. Hasyim Asy’ari. Ia juga pernah memperdalam ilmunya di Makkah pada 1936 kepada Kiai Bakir, Syekh Umar Khamdan al-Magribi, Syekh Maliki, Syekh Amin, Syekh Hasan Masysyath, dan Kiai Abdul Muhaimin.
Bagi Bisri Mustofa, Kiai Cholil Harun kemudian tak hanya menjadi gurunya, tapi juga mertua. Ia menikahi putrinya yang bernama Ma’rufah dan dikaruniai delapan anak, yaitu Cholil, Mustofa, Adieb, Faridah, Najichah, Labib, Nihayah, dan Atikah. Belakangan, tepatnya pada 1967, Bisri Mustofa menikah lagi dengan Umi Atiyah dan punya seorang anak bernama Maemun.
Pesantren dan Politik
Setelah Kiai Cholil Harun wafat, Kiai Bisri ikut aktif mengajar para santri di Pesantren Kasingan. Ketika pesantren ini bubar pada masa pendudukan Jepang, Kiai Bisri meneruskan pesantren itu di Jalan Leteh, Rembang, yang diberinya nama Raudhatut Thalibin. Meski aktivitasnya sehari-hari sangat padat, tapi ia jarang sekali meninggalkan waktu mengajar para santrinya.
Selain sibuk di pesantren, Kiai Bisri juga seorang politikus Partai Masyumi. Namun setelah Nahdlatul Ulama (NU) keluar dari Partai Masyumi dan mendirikan partai sendiri pada 1952, Kiai Bisri pun memilih aktif di Partai NU.
Pada Pemilu 1955, ia terpilih sebagai anggota Konstituante mewakili Partai NU. Lalu setelah Dekrit Presiden tahun 1959 yang membubarkan Dewan Konstituante dan membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), Kiai Bisri pun dilantik menjadi anggota MPRS dari unsur ulama.
Pada pemilu 1971 di awal pemerintahan Orde Baru, Kiai Bisri terpilih sebagai anggota MPR dari daerah pemilihan Jawa Tengah. Kemudian ketika Orde Baru melakukan fusi partai, yang memaksa Partai NU berfusi ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP), ia pun aktif di PPP.
Enam tahun kemudian, yaitu pada Pemilu 1977, Kiai Bisri masuk daftar calon legislatif dari PPP untuk daerah pemilihan Jawa Tengah. Namun, ketika masa kampanye kurang dari sepekan lagi, Kiai Bisri wafat menjelang Asar.
Menurut H. M. Bibit Suprapto dalam Ensiklopedi Ulama Nusantara: Riwayat Hidup, Karya dan Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara (2010: 269-73), Kiai Bisri adalah tokoh yang cergas dalam berpidato. Dalam setiap kampanye, ia selalu jadi juru kampanye andalan.
Sebagai orator, Kiai Bisri dapat mengutarakan hal-hal yang sebenarnya muskil menjadi gamblang. Uraian pidato Kiai Bisri mudah diterima oleh orang-orang desa maupun warga kota terdidik. Topik yang semula membosankan, menjadi mengasyikkan. Pelbagai kritiknya tajam menukik dan lancar, juga menyegarkan. Pihak yang terkena kritikan Kiai Bisri tidak murka karena disampaikan secara sopan dan menyenangkan. Selain itu, ia juga mampu mengocok perut para pendengar pidato dan ceramahnya dengan pelbagai guyonan khas santri.
Oleh banyak kalangan, Kiai Bisri dianggap sebagai ulama yang moderat. Sifat moderat itu merupakan idealisme yang diambilnya dari pendekatan usul fikih yang mengedepankan kemaslahatan dan kebaikan umat, yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi zaman serta karakter masyarakat kontemporer. Maka itu, pemikiran Kiai Bisri sangat kontekstual.
Dalam artikel berjudul “The National Spirit of Kiai Pesantren: An Analysis of the Ideas and Spirit of Independence of K.H. Bisri Mustofa in the Interpretation of Al-Ibriz” (2019: 1-20), Muhadi Zainuddin dan Miqdam Makfi menerangkan bahwa Kiai Bisri gigih memperjuangkan konsep Ahlus Sunnah Wal Jama’ah (Aswaja). Obsesinya untuk membumikan konsep Aswaja ia buktikan dengan menulis buku khusus berjudul Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, yang sampai tiga kali revisi untuk disesuaikan dengan kebutuhan zaman dan masyarakat. Kiai Bisri juga menyerukan konsep amar makruf nahi mungkar yang dimaknai dan didasari oleh solidaritas dan kepedulian sosial.
Magnum opus Kiai Bisri adalah sebuah kitab tafsir Al-Qur'an dalam bahasa Jawa berjudul Al-Ibriz. Kitab ini lazimnya ditujukan untuk para santri tingkat dasar dan orang-orang awam. Di desa-desa Jawa, Al-Ibriz biasanya diajarkan di surau-surau kecil oleh seorang kiai atau ustaz. Bobot kitab ini memang tidak sedalam kitab-kitab tafsir lain yang biasa digunakan di lingkungan pesantren tradisional yang lebih advanced, seperti Al-Jalalayn atau Al-Munir, karena itu hampir semua lapisan masyarakat bisa memahaminya. Kitab yang disusun pada 1950-an itu, saat ini, barangkali menjadi satu-satunya tafsir Al-Qur'an berbahasa Jawa yang paling luas digunakan.
Salah satu kelebihan Al-Ibriz, meski ditujukan untuk kalangan awam, adalah kepekaan Kiai Bisri dalam mendasarkan tafsirnya kepada perubahan zaman. Jika ada sebuah ayat yang ditafsirkan secara bertolak belakang oleh mufasir zaman lalu dan zaman kini karena perkembangan sains dan teknologi, Kiai Bisri hampir tidak pernah menyimpulkan secara rigid atau menyalahkan kedua tafsir tersebut.
Contohnya bisa kita lihat dalam bagaimana Kiai Bisri menafsirkan Surah Al-Rahman ayat ke-33. Terjemahan ayat tersebut dalam bahasa Indonesia berbunyi (berdasarkan terjemah Al-Qur'an versi Departemen Agama):
"Wahai golongan jin dan manusia! Jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka tembuslah. Kamu tidak akan mampu menembusnya kecuali dengan kekuatan (dari Allah)."
Para penafsir Al-Qur'an dari zaman lalu lazimnya menisbatkan ayat ini sebagai ta'jiz (dalam bahasa Jawa diterjemahkan sebagai 'ngapesake' atau menunjukkan kedaifan lawan bicara) kepada orang-orang yang menolak qada Tuhan. Maknanya kira-kira: apakah mungkin seseorang bisa "menembus penjuru langit dan bumi"? Jawabannya, menurut mufasir terdahulu berdasarkan Al-Rahman ayat 33, tentu saja tidak mungkin.
Tapi, menurut Kiai Bisri:
"Akhir-akhir iki sakwuse ana khabar2 yen perofesor2 lagi pada mikir2 bab kepriye carane bisa ana ing rembulan—malah2 wus ana kang den sebut menusa angkasa luar—merga jare wus tahu ngiteri bumi bola-bali. Sakwuse mengkono banjur timbul masalah-masalah: apa mungkin menusa bisa munggah langit apa ora? ... Sakweneh ana kang jawab: ora mungkin. Dalile? Ayat nomer 33 iki. Sakweneh ana kang jawab: mungkin. Dalile? Ya ayat nomer 33 iki" (Al-Ibriz hlm. 1965).
[Naskah aslinya beraksara pegon, bahasa Jawa yang ditulis dengan huruf Arab. Transliterasi oleh editor.]
"Akhir-akhir ini setelah ada kabar-kabar bahwa profesor-profesor sedang berpikir tentang bagaimana caranya bisa berada di bulan—malah sudah ada yang disebut manusia angkasa luar—sebab katanya sudah pernah mengelilingi bumi bolak-balik. Maka kemudian timbul masalah-masalah: apa mungkin manusia bisa naik ke langit atau tidak? ... Lalu ada yang menjawab: tidak mungkin. Dalilnya? Ayat nomor 33 ini. Ada pula yang menjawab: mungkin. Dalilnya? Ya ayat nomor 33 ini."
Kiai Bisri kemudian menyimpulkan bahwa "Perkara mungkin utawi ora mungkin iku ora perlu diperdalam ... upama kita moni mungkin, ora dosa ... upama kita moni ora mungkin, ya ora dosa" (Perkara mungkin atau tidak mungkin itu tak perlu diperdalam ... misalnya kita bilang mungkin, tidak dosa ... misalnya kita bilang tidak mungkin, ya tidak dosa).
Banyak sekali hasil karyanya yang hingga kiwari menjadi rujukan ulama-ulama Indonesia dalam mengajar di pesantren-pesantren Islam tradisional. Menurut K.H. Cholil Bisri, putranya, paling tidak terdapat 176 buku/kitab karya Kiai Bisri.
Selain itu, Kiai Bisri juga dikenal sebagai sastrawan. Ia menulis syair-syair atau puisi-puisi yang penuh dengan pesan-pesan moral bagi masyarakat. Bahkan menurut Achmad Zainal Huda dalam Mutiara Pesantren: Perjalanan Khidmah KH. Bisri Mustofa (hlm. 98), Kiai Bisri juga pernah menulis naskah drama perihal cinta Nabi Yusuf dan Zulaiha yang kemudian dia rekam sendiri dalam bentuk monolog.
Editor: Irfan Teguh Pribadi & Ivan Aulia Ahsan