tirto.id - Di tengah ketidakpastian ekonomi global, isu perang dagang, risiko kurs mata uang, terselip tingkat keyakinan terhadap pertumbuhan bisnis dari para pelaku usaha di ASEAN termasuk Indonesia.
Survei yang dikeluarkan organisasi jasa audit, pajak dan juga advisory internasional, Grant Thornton, dalam laporan International Business Report (IBR) menyebutkan, tingkat optimistis pengusaha di Indonesia mencapai 98 persen, yang menjadikanya berada di atas rata-rata tingkat keyakinan pebisnis secara regional dan juga global.
Rasa optimistis pelaku usaha di ASEAN mengalami kenaikan sebesar 3 persen menjadi 64 persen secara keseluruhan pada triwulan kedua tahun ini. Hasil survei yang dilakukan terhadap 2.600 pengusaha di 37 negara di jenjang eksekutif, direktur, maupun jabatan eksekutif senior lainnya di semua sektor industri ini merupakan hasil tertinggi yang pernah dicatat oleh IBR di wilayah ASEAN.
Pengusaha Malaysia dan Filipina mencatat kenaikan keyakinan yang tinggi, masing-masing sebesar 24 persen dan 8 persen. Sementara tingkat keyakinan pengusaha Indonesia bertahan di level tertinggi 98 persen sejak awal tahun 2018. Optimistis pelaku bisnis di Indonesia ini, kata Johanna Gani, Managing Partner Grant Thornton Indonesia, menggambarkan keyakinan pengusaha terhadap outlook ekonomi Indonesia dalam 12 bulan ke depan. Namun, bila membandingkan tiga bulan sebelumnya telah terjadi stagnasi keyakinan para pebisnis.
"Jika dibandingkan dengan rata-rata optimistis kawasan seperti ASEAN dan Asia Pasifik, angka optimistis bisnis di Indonesia tercatat jauh lebih tinggi," jelas Johanna kepada Tirto. “Tidak diragukan lagi bahwa optimistis didorong oleh pertumbuhan ekonomi Cina yang berkelanjutan, yang merupakan mitra dagang bagi negara-negara ASEAN,” tulis Andrew Brosnan, manajer Grant Thornton.
Cina memang menjadi mitra dagang utama Indonesia. Data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, negeri Tirai Bambu merupakan negara tujuan ekspor non-migas Indonesia pada Juni 2018, mencapai $2,05 miliar.
Periode Januari-Juni 2018, Cina juga menjadi primadona tujuan ekspor terbesar Indonesia dengan nilai $12,29 miliar. Cina juga menjadi negara utama pemasok barang impor non-migas terbesar Indonesia, dengan nilai mencapai $20,57 miliar sepanjang enam bulan pertama 2018 atau setara 27,43 persen terhadap keseluruhan impor non-migas Indonesia.
Menurut Johanna, indikasi keyakinan pengusaha Indonesia ini berbanding lurus dengan ekspektasi pelaku bisnis akan kenaikan pendapatan, harga jual produk, perekrutan tenaga kerja baru, kenaikan keuntungan atau profit, hingga pertumbuhan investasi untuk pengembangan bisnis dalam jangka panjang.
"Meski tahun ini Indonesia memasuki tahun politik dengan adanya pemilihan kepada daerah serentak hingga pemilihan presiden di tahun depan, tapi tampaknya pelaku bisnis di Indonesia masih tetap yakin dampak terhadap perekonomian tidak terlalu signifikan," kata Johanna.
Selain itu, kerjasama ekonomi regional kawasan ASEAN yang mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir setelah pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada 2015, turut mendongkrak rasa optimistis para pebisnis. Perkiraan pertumbuhan ekonomi ASEAN yang dirilis oleh Badan Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) sebesar 5,3 persen di 2018 ini, turut mendorong keyakinan ini.
Namun, rasa optimistis itu tentu saja menyisakan catatan khususnya dalam konteks pebisnis di Indonesia. Direktur Penelitian Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah Redjalam, mengatakan memang ada tren perbaikan jika dilihat dari perkembangan data penjualan ritel serta data konsumsi masyarakat. Penjualan ritel dan konsumsi ekonomi pada kuartal I-2018 berada di level 5 persen, meningkat tipis dibanding tahun 2017 lalu.
“Artinya meski membaik, tapi tidak menjanjikan,” jelas Piter kepada Tirto.
Yang terjadi memang sering kali antara di atas kertas dengan kenyataan di lapangan bisa berbeda 180 derajat. Misalnya saja, pertumbuhan bisnis industri sektor makanan dan minuman memang terus tumbuh positif di Indonesia. Adhi S. Lukman, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) mengatakan rasa keyakinan pertumbuhan usaha sektor industri makanan dan minuman yang membuat pebisnis tenang lebih karena faktor populasi penduduk Indonesia yang mengerek tingkat konsumsi.
Namun, tantangan utama pelaku usaha sektor makanan dan minuman bukanlah mengenai pertumbuhan bisnis melainkan penurunan profit yang melanda pelaku usaha akibat pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Indonesia merupakan salah satu negara yang terdampak pelemahan nilai tukar tukar paling parah di kawasan ASEAN bersama dengan Filipina.
Mulai awal tahun sampai dengan penutupan perdagangan pada Jumat (27/7) kemarin, rupiah dan peso masing-masing melemah 5,85 persen dan 6,57 persen. Paling parah, nilai tukar rupiah sempat menembus Rp14.530 pada Selasa, 24 Juli kemarin.
“Harga pokok produksi mengalami kenaikan yang cukup signifikan karena pelemahan nilai tukar rupiah. Ini menyebabkan tergerusnya profit bisnis,” jelas Adhi kepada Tirto.
Pelemahan nilai tukar yang melanda negara-negara berkembang ASEAN termasuk Indonesia disebabkan prospek kenaikan suku bunga acuan Amerika Serikat (AS) yang dilakukan oleh bank sentral The Federal Reserve (The Fed) sebanyak empat kali sepanjang 2018 dan sebanyak tiga kali di tahun depan yang juga berpotensi pada risiko suku bunga perbankan di dalam negeri sebagai imbas kebijakan moneter di dalam negeri.
Pelemahan rupiah memiliki dampak negatif bagi kinerja perusahaan yang menggunakan bahan baku dan barang modal hasil impor, lantaran akan menambah biaya produksi.
Kalangan ekonom menilai terjungkalnya rupiah terhadap dolar tak bisa dipungkiri membuat pelaku bisnis was-was terutama yang berbasis impor. Menurut Eric Alexander Sugandi, Ekonom Asian Development Bank (ADB) Institute masalah kurs ini menaikkan biaya produksi perusahaan yang memiliki pinjaman dalam bentuk valuta asing namun menerima pemasukan denominasi rupiah.
“Bagi eksportir, melemahnya rupiah bisa memberi keuntungan, dengan catatan bahwa mereka tidak menggunakan bahan baku dan barang modal hasil impor serta mendapatkan income denominasi valas,” jelas Eric kepada Tirto.
Pebisnis di negara-negara berkembang harus mengambil tindakan pasti dalam mengurangi risiko ketergantungan dolar AS, salah satunya dengan melakukan hedging atau lindung nilai. Selain ancaman nilai tukar, hambatan potensial dari pertumbuhan usaha 2018 adalah ekspektasi peningkatan lapangan kerja dan juga perang dagang.
Di ASEAN, menurut survei Grant Thornton, terjadi penurunan ekspektasi lapangan kerja menjadi 31 persen dibanding kuartal sebelumnya yang sebesar 37 persen. Penurunan ekspektasi lapangan kerja dikarenakan berkurangnya investasi.
“Tingkat investasi mengalami stagnasi selama dua tahun terakhir. Padahal, meningkatnya investasi akan mendorong pendapatan perusahaan dan juga pendapatan devisa di negara-negara berkembang,” ungkap Francesca Lagenberg, Global Leader Network Development Grant Thornton.
Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) (PDF) menyebutkan, serapan tenaga kerja dari investasi langsung semakin rendah. Realisasi investasi pada kuartal I-2018 sebesar Rp185,3 triliun sementara serapan tenaga kerja dari kegiatan investasi hanya 201.239 orang dengan rincian sebanyak 103.982 orang pada proyek penanaman modal dalam negeri dan sebanyak 97.275 orang pada proyek penanaman modal asing.
Jumlah itu merupakan jumlah terendah sejak triwulan I-2017 (PDF). Pada triwulan I-2017, serapan tenaga kerja dari investasi langsung tercatat sebanyak 194.134 orang. Pada triwulan II-2017 sebanyak 345.323 orang, triwulan III-2017 sebesar 286.497 orang, dan pada tiga bulan terakhir 2017 sebanyak 350.399 orang. Bahkan jika dibandingkan dua tahun lalu, serapan tenaga kerja dari investasi langsung triwulan I-2018 lebih rendah dibanding triwulan I-2016 yang menyentuh angka 327 ribu orang.
Perang dagang yang dilancarkan AS terhadap Cina dan juga Uni Eropa, turut menjadi ancaman rasa optimistis pertumbuhan bisnis. Ancaman perang dagang membuat optimisme pelaku usaha di dunia internasional mengalami penurunan dibanding kuartal I-2018 menjadi hanya 54 persen dibanding 61 persen pada periode kuartal I-2018.
“Perekonomian global tahun ini mungkin akan sama baiknya dengan tahun-tahun sebelumnya. Tapi pola optimisme bisnis mengalami perubahan setelah tren kenaikan selama dua tahun terakhir. Saat ini, pelaku usaha bersiap memasuki fase baru dari siklus ekonomi global. Pelaku bisnis dan pembuat kebijakan harus mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk berbagai skenario,” imbuh Francesca Lagerberg, Global Leader Network Development Grant Thornton.
Editor: Suhendra