Menuju konten utama

Keuntungan Warga Desa Mundam Tanam Nanas di Lahan Gambut

Warga terbantu secara ekonomi dan ikut mencegah terjadinya kebakaran di lahan gambut.

Keuntungan Warga Desa Mundam Tanam Nanas di Lahan Gambut
Lokasi perkebunan Nanas, Riau dan Sekat Kanal Kelompok Masyarakat Petani Nanas berada di lahan perkebunan, Dumai, Riau. tirto.id/Riyan Setiawan

tirto.id - Sania (27) bersama 14 anggota kelompok petani di Desa Mundam, Kecamatan Medang Kampai, Kota Dumai, Kepulauan Riau memanfaatkan lahan gambut dengan menanam nanas. Mereka memulai menanam nanas pada Oktober 2018 lalu.

Ketua kelompok petani itu mengatakan untuk panen pertama membutuhkan waktu setahun setelah mulai menanam. Artinya, kata Sania, Desember 2019 akan panen nanas pertama.

"Panen sebentar lagi, kira-kira akhir Desember 2019, setelah itu akan panen empat bulan sekali. Keuntungannya, dari 1 hektare kita bisa dapat 5 ribu gandeng atau 10 ribu buah," ujar Sania di kebun nanas seluas 15 hektare yang dikelola kelompoknya, Rabu (9/10/2019).

Menurut Sania, dengan adanya kebun nanas ini, lahan gambut menjadi bisa dimanfaatkan, masyarakat juga terbantu secara ekonomi.

Selain lahan yang dikelola secara berkelompok, Sania dan beberapa warga lainnya juga memiliki kebun nanas pribadi.

Berdasarkan perhitungan Sania, sekali panen bisa menghasilkan 10 ribu buah. "Kalau pendapatan kotor, bisa dapat penghasilan Rp20 juta dengan lahan satu hektare."

Nanas hasil panen juga bisa diolah menjadi dodol, selai, sirup, dan penganan lainnya. Dengan begitu, tutur Sania, lapangan pekerjaan akan terbuka dan pengangguran bisa dikurangi.

Ibu dua anak itu bahkan mengatakan penganan dari buah nanas sudah pernah dijual ke Singapura dan Malaysia. "Tapi di Batam itu rutin, di sana ada tiga pengepul," imbuhnya.

Selain masyarakat terbantu secara ekonomi, kebun nanas juga bisa mencegah kebakaran gambut lantaran lahan dimanfaatkan dengan baik.

Sania mengatakan lahan gambut di Desa Mundam pernah terbakar pada awal 2018. Namun, setelah masyarakat memanfaatkan lahan itu untuk kebun nanas kebakaran tak pernah terjadi lagi.

Warga secara bergiliran memantau agar api tidak merambat ke lahan yang dijadikan kebun nanas. "Karena kalau kebakaran itu kami juga yang susah," jelas Sania.

Meski lahan tak terbakar, perkebunan warga tetap terdampak kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terjadi di Kepulauan Riau dan sekitarnya. Idah (32), anggota kelompok petani nanas, mengatakan kiriman asap mengganggu aktivitas berkebun.

"Kami tidak bisa kerja karena asap. Tunggu asap hilang baru kerja lagi," kata Idah.

Tak hanya itu, aktivitas sekolah di Desa Mundam juga terganggu oleh asap karhutla. Asap sangat tebal sampai jarak pandang hanya sejauh 100 meter.

"Anak saya SD dan SMP, sering dipulangkan, Kalau SD sudah diinformasikan dari Sekolah tidak perlu datang ke sekolah," ujarnya.

Pencegahan Kebakaran Lahan Gambut

Kelompok masyarakat bekerjasama dengan pemerintah melalui Badan Restorasi Gambut (BRG) juga membangun sekat kanal dalam mencegah kebakaran lahan. Pembangunan sekat kanal diharapkan dapat menahan air yang sudah tertampung sehingga lapisan dan lahan gambut tetap basah.

Kepala BRG Nazir Foead menjelaskan sekat kanal terbuat dari bahan kayu galam dengan lebar 4 inci dan luas 4 meter. Satu sekat kanal bisa menggunakan 200 kayu galam dan tahan lebig dari tiga tahun. Bahkan jika terawat diklaim bisa bertahan hingga puluhan tahun.

"Biaya satu sekat kanal sekitar Rp. 23 juta dari dana APBN [Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara]. Fungsinya untuk menampung air hujan dan air yang mengalir dari hulu agar kondisi lahan gambut tetap basah," jelas Nazir.

Nazir mengklaim BRG juga ikut mendorong program revitalisasi ekonomi masyarakat yang tinggal di area bekas lahan yang terbakar. Ia mengatakan salah satunya dengan menggerakkan kelompok masyarakat setempat untuk menanam nanas dan beternak lebah penghasil madu di area gambut yang terdegradasi akibat karhutla.

"Lahan yang terdegradasi ini dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat dan tidak terlantar, sehingga tidak mudah terbakar karena adanya rasa kepemilikan masyarakat terhadap area tersebut untuk menjaga Iahan," ujarnya.

Dalam kesempatan berbeda, peneliti dari Scientist Center for International Forestry Research (CIFOR), Herry Purnomo mengatakan sekat kanal memang cukup efektif membuat lahan gambut tetap basah dan terhindar dari ancaman kebakaran. Namun, Herry mendorong BRG melakukan pendekatan kawasan hidrologis gambut (KHG) serta pemetaan kawasan gambut yang komprehensif dan cepat.

"BRG jangan terlalu lama melakukan pendekatannya. Kerjakan sesuai targetnya, terus berapa yang sudah direstorasi. Kerja BRG memang harus lebih cepat karena targetnya tinggi," ujar Herry kepada Tirto, Kamis (10/10/2019).

Herry juga menyoroti penggunaan kayu gamal dalam pembangunan sekat kanal. Meski mengakui kayu gamal rama lingkungan, tapi dia mempertanyakan ketahanan kayu tersebut terhadap air.

"Kalau tahan terhadap air tidak masalah, tapi kalau tidak tahan jadi masalah," ucapnya.

"Opsi lainnya sekat kanal bisa menggunakan beton agar lebih kuat dan tahan lama," tambahnya.

Baca juga artikel terkait LAHAN GAMBUT atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Gilang Ramadhan