tirto.id - Keputusan pemerintah untuk menurunkan biaya Makanan Bergizi Gratis (MBG) dari Rp15.000 menjadi Rp10.000 per porsi mendapat perhatian serius dari beberapa pihak. Penurunan ini, dikhawatirkan justru akan berisiko memperlebar ketimpangan gizi.
"Khawatir biaya per porsi MBG yang terlalu kecil berisiko memperlebar ketimpangan nilai gizi per sekolah," kata Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, kepada Tirto, Sabtu (30/11/2024).
Bhima mengatakan, harga kebutuhan pokok di luar Jawa cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan di Jawa. Ditambah lagi, biaya logistik dan distribusi yang lebih mahal membuat pengelolaan anggaran menjadi lebih sulit.
Tidak hanya itu, biaya birokrasi dan pengawasan yang harus dimasukkan dalam anggaran juga semakin menambah beban. "Terlalu kecil ya [Rp10.000] apalagi daerah luar Jawa di mana disparitas harga kebutuhan pokok lebih mahal dari Jawa," kata dia.
Atas dasar itu, Bhima menyarankan agar biaya per porsi MBG sebaiknya ditingkatkan menjadi Rp15.000 hingga Rp20.000. Pada tahap rencana wilayah penerima manfaat bisa dibatasi pada daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) di tahun pertama.
Dalam hal ini, pemerintah bisa memulai program ini di beberapa wilayah seperti Papua, Maluku, Sulawesi, Aceh, Kalimantan dan Nusa Tenggara. Karena menurut catatan Celios terdapat sebanyak 44.282 sekolah dasar (SD) yang terdiri dari 33.189 SD Negeri dan 6.225 unit SD swasta.
Jumlah SD di daerah-daerah prioritas tersebut pun setara dengan 30,4 persen dengan jumlah SD ada di Indonesia yang mencapai 148.975 unit. "Selanjutnya baru pada tahun kedua, program ini dapat diperluas ke wilayah lainnya," pungkas Bhima.
Direktur Kebijakan Publik Celios, Media Wahyudi Askar, menambahkan dengan anggaran Rp10.000 tersebut memang sulit memastikan makanan yang disediakan memenuhi standar gizi yang diperlukan. Terutama dengan harga pangan yang fluktuatif dan cenderung tinggi.
Harga pangan yang tinggi, kata Media, semakin memperburuk situasi terhadap program MBG. Di satu sisi, anggaran terbatas dan mungkin hanya cukup untuk membeli makanan yang mengenyangkan tetapi tidak bergizi. Seperti misalnya nasi putih tanpa lauk yang memadai.
“Untuk menyediakan makanan seimbang dengan karbohidrat, protein, sayuran, dan buah-buahan, biayanya lebih tinggi, sehingga makanan yang disediakan mungkin kekurangan unsur gizi tertentu, seperti protein hewani atau sayuran segar,” kata Media kepada Tirto.
Tirto mencoba melakukan simulasi secara langsung dengan mendatangi salah satu warung tegal (warteg) ada di Bumi Sani Permai, Kabupaten Bekasi. Kepada pemilik warteg, Tirto menanyakan dengan harga Rp10.000 per porsi bisa dapat apa saja.
Dari keterangan pemilik, harga Rp10.000 hanya cukup dengan dua satu lauk saja. Pilihan lauknya juga terbatas. Paket nasi dan sayur lodeh serta orek, nasi dan telur dadar, nasi dan kentang mustofa sayur.
Peneliti Institute for Demographic and Affluence Studies (IDEAS), Muhammad Anwar, mengatakan berdasarkan simulasi sederhana dilakukan pihaknya mendapati bahwa biaya rata-rata untuk memenuhi kebutuhan gizi dalam satu porsi makanan yang seimbang umumnya berkisar antara Rp20.000 hingga Rp30.000.
Anggaran tersebut mencakup berbagai komponen penting, seperti satu porsi nasi yang biasanya dihargai Rp3.000 hingga Rp5.000, lauk utama seperti ayam, ikan, atau daging yang memakan biaya sekitar Rp10.000 hingga Rp15.000, serta sayuran yang membutuhkan tambahan sekitar Rp5.000.
Selain itu, untuk melengkapi kebutuhan gizi, buah-buahan juga diperlukan dengan harga sekitar Rp3.000 hingga Rp5.000 per porsi. Namun, angka tersebut belum termasuk susu UHT, yang juga penting sebagai sumber protein dan kalsium, dengan harga rata-rata sekitar Rp3.000 hingga Rp4.000 per kotak kecil.
"Angka-angka ini juga merupakan estimasi untuk daerah yang memiliki aksesibilitas baik terhadap pasokan pangan," kata Anwar kepada Tirto, Sabtu (30/11/2024).
Kondisi ini, tentu saja semakin memperbesar tantangan bagi program makan bergizi gratis dengan anggaran hanya Rp10.000 per orang, menjadikannya hampir mustahil untuk menyediakan makanan bergizi yang layak di daerah-daerah terpencil.
Pemerintah Harus Apa?
Atas dasar itu, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah strategis untuk memastikan program makan bergizi dapat berjalan efektif meskipun anggaran terbatas.
Pertama, pemerintah perlu mengevaluasi ulang prioritas anggaran program ini. Bila penyesuaian anggaran menjadi tidak terhindarkan karena keterbatasan dana, langkah yang lebih bijak adalah membatasi penerima program, bukan menurunkan kualitas atau kuantitas bantuan.
"Fokus sebaiknya diarahkan kepada kelompok yang paling membutuhkan, misalnya anak-anak dari keluarga miskin atau wilayah dengan angka stunting tinggi. Dengan demikian, alokasi dana yang terbatas dapat lebih optimal memberikan dampak," jelas dia.
Kedua, pemerintah perlu menjajaki kolaborasi dengan sektor swasta, seperti pengusaha makanan dan produsen bahan pokok, untuk menyediakan bahan makanan berkualitas dengan harga terjangkau atau bahkan subsidi. Misalnya, produsen lokal dapat diajak bekerja sama untuk memastikan bahan makanan diproduksi dengan efisien dan didistribusikan langsung ke dapur-dapur umum tanpa perantara yang menaikkan harga.
Ketiga, program ini bisa diintegrasikan dengan pemberdayaan masyarakat melalui dapur-dapur umum yang dikelola oleh komunitas lokal, di mana makanan dimasak secara kolektif dengan bahan-bahan yang disuplai langsung oleh pemerintah atau donor.
"Pendekatan ini bisa menekan biaya operasional sekaligus menciptakan rasa memiliki di antara masyarakat terhadap program tersebut," ujarnya.
Keempat, penting bagi pemerintah untuk memperhatikan efektivitas pengawasan program. Dengan anggaran yang terbatas, setiap rupiah yang dialokasikan harus benar-benar tepat sasaran dan bebas dari kebocoran. Transparansi dalam pengelolaan anggaran, misalnya melalui pelaporan berbasis digital yang bisa diakses publik, dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat sekaligus memastikan akuntabilitas.
"Program makan bergizi gratis bukan sekadar soal angka dalam APBN, tetapi soal komitmen negara dalam melindungi kualitas hidup warganya. Penurunan anggaran harus dilakukan dengan sangat hati-hati agar tidak mengorbankan kelompok yang paling membutuhkan bantuan," pungkas dia.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang