Menuju konten utama

Ketika Sang Perempuan Baja Berputar Haluan

Setelah bertahun-tahun menyuarakan krisis iklim, Margaret Thatcher justru menyangkalnya setelah turun dari kursi Perdana Menteri Inggris.

Ketika Sang Perempuan Baja Berputar Haluan
Header Mozaik Krisis iklim bagi Margaret Thatcher. tirto.id/Tino

tirto.id - Margaret Hilda Thatcher, sang perempuan baja dari dunia Barat, terkenal di seantero dunia dengan setidaknya dua slogan: “Perempuan ini tidak akan berputar haluan!" dan “Tidak! Tidak! Tidak!”.

Slogan pertama ia ucapkan dalam pidatonya di depan Konferensi Partai Konservatif Inggris Raya pada 10 Oktober 1980. Ia menolak keras usulan dan kritikan dari kawan dan lawan untuk berhenti melakukan liberalisasi ekonomi di Inggris. Pasalnya, kebijakan Thatcher telah menaikkan angka pengangguran hingga dua juta jiwa dan memicu resesi ekonomi.

Dalam masa jabatannya yang panjang dari 1979 sampai 1990, Thatcher dikenal begitu keras berdiri di atas prinsip. Namun demikian, rekam jejaknya dalam mempertahankan prinsip tampaknya tidak seromantis pidatonya tahun 1980.

Salah satu “putar haluan” yang drastis terjadi pada awal tahun 2000-an dalam menyoal krisis iklim yang selama bertahun-tahun telah ia bela dan perjuangkan.

Perdana Menteri Lulusan Ilmu Alam Murni

Toko tembakau dan kelontong dua lantai di Grantham menjadi rumah tempat lahir Thatcher. Ayahnya, Alfred Roberts, adalah seorang anggota dewan lingkungan (semacam rukun warga), “yang sangat terampil dalam berpidato” tulis Thatcher dalam The Path to Power (1995).

Setelah menyelesaikan pendidikan di sekolah negeri, Thatcher mendapat surat penerimaan dari Universitas Oxford pada tahun 1943. Ia kemudian pergi ke Oxford, menempuh pendidikan dalam bidang kimia, dan lulus pada 1947. Sepanjang kariernya, ia membanggakan latar belakang keilmuannya yang berasal dari ilmu alam murni.

Dalam biografi tulisan Charles Moore, Margaret Thatcher: The Authorized Biography (2013), Thatcher merasa lebih bangga menjadi perdana menteri pertama yang memiliki gelar ilmu alam murni daripada menjadi perdana menteri perempuan yang pertama.

Mungkin tanpa pernah kita sadari, ia telah berperan dalam riset yang menghasilkan es krim lunak pertama yang kini menjadi komoditas umum toko-toko es krim. Untuk beberapa waktu setelah lulus, Thatcher sempat meniti karier di bidang kimia.

Salah satu perusahaan yang sempat menjadi tujuannya pada 1948 adalah Imperial Chemical Industries, salah satu manufaktur kimia terbesar di Inggris. Sayangnya, ia ditolak setelah bagian personalia memberi catatan bahwa ia merupakan orang yang “berkemauan keras, keras kepala, dan menganggap dirinya benar sendiri”.

Bidang politik dan hukum dengan cepat menjadi pilihan karier yang diambil Thatcher. Ini bukan diambil sebagai alternatif. Sepanjang tahun-tahun sarjananya, Thatcher telah bergabung dalam Asosiasi Mahasiswa Konservatif Oxford dan kariernya moncer hingga menjadi presiden asosiasi pada 1946.

Bagaimanapun, latar belakang ilmiah yang ia bawa pada akhirnya memengaruhi cara pandang dan kebijakannya semasa menjadi perdana menteri.

Pemimpin Dunia Pertama yang Menyuarakan Pemanasan Global

Makalah-makalah tentang masalah iklim telah sampai di meja Margaret Thatcher sejak tahun 1988, setahun setelah ia memenangi pemilihan umumnya yang ketiga dan terakhir.

Surat dari Perdana Menteri Italia, Ciriaco de Mita, kepada Thatcher menjadi arsip dengan tanggal paling awal yang menyebut tentang masalah pemanasan global (Prime Ministrial Private Office Files, PREM19/2091 f63). Saat itu dunia sedang menyiapkan Konferensi Toronto tentang Perubahan Atmosfer (27–30 Juni 1988).

Sekalipun ini adalah kali pertama istilah “pemanasan global” digunakan dalam arsip pribadi Thatcher, ia telah berulang kali menyebut dan meminta publik untuk awas tentang masalah iklim sejak dekade 1970-an. Pidatonya tentang perubahan iklim dan krisis lingkungan global digelorakan dalam dua kesempatan.

Pertama, ia berbicara panjang di depan Sidang Umum Perserikatan Bangsa-bangsa pada 8 November 1989. Di sini, Thatcher menyebut bahwa “untuk waktu yang lama, kita berpikir bahwa apa pun yang manusia lakukan, bumi akan tetap dalam keadaan yang sama. Namun, pengolahan batu bara, minyak bumi, dan energi tak terbarukan lainnya jelas merupakan pengalaman yang sama sekali baru bagi bumi kita”.

Kedua, saat berpidato pada Konferensi Iklim Dunia yang kedua di Jenewa pada tahun 1990. Sang perdana menteri menyebut bahwa krisis iklim adalah bahaya “yang tak terlihat namun jelas nyata.”

Thatcher bersuara nyaring ketika dunia masih maju-mundur dalam melihat bahaya krisis iklim. Banyak negara industri maju melihat krisis ini sebagai sekadar isapan jempol. Alih-alih menjadi masalah lingkungan, iklim jadi persoalan politik pada dekade 1990-an.

Namun, di tengah kepungan skeptisisme itu, Thatcher bergeming. Ia berseru meminta dunia berhenti mempertanyakan laporan ilmiah dari Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) yang menunjukkan bahaya perubahan iklim itu memang nyata.

Menurutnya, keilmiahan laporan itu sahih dan ia mengatakannya sebagai orang dengan latar belakang ilmu alam murni. Lalu, cara berpikir seperti apa yang sebenarnya membangun argumentasi Thatcher tentang krisis iklim?

Bagaimanapun, Kembali ke Ekonomi

Pertama dan paling depan, kita harus meletakkan Thatcher sebagai arsitek ekonomi—dan prinsip ekonomi yang dipegang Thatcher adalah pasar bebas dan kapitalisme. Solusi yang ditawarkan olehnya bagi masalah iklim juga memperkuat prinsip ekonomi yang ia junjung itu.

Thatcher mengakui bahwa upaya pencarian kekayaaan pada periode lampau telah menciptakan perubahaan yang tidak pernah dialami sebelumnya oleh bumi. Namun, solusi bagi masalah ini, menurutnya, bukan dengan berputar arah dan kembali menjadi masyarakat sederhana.

Ia melihat bahwa kapitalisme dan pasar bebas yang dapat merangsang inovasi tetap dapat menjadi jawaban untuk melawan krisis iklim. Manusia tidak akan dapat memenangi perang melawan krisis ini jika “kita tidak memiliki kekayaan” (Thatcher 1989).

Kekayaan atau modal itulah yang nantinya akan berperan dalam penanganan krisis. Lebih-lebih, prinsip pasar bebas yang memicu persaingan akan memiliki hasil turunan berupa inovasi baru dari pelaku usaha untuk menciptakan lini-lini bisnis yang ramah lingkungan.

Secara singkat, kapitalisme harus menang dulu supaya krisis iklim dapat dilawan. Dari sini, lahirlah ide-ide kapitalisme hijau, termasuk paham ekonomi hijau dari Thatcherisme—dasar ideologis partai konservatif di bawah Thatcher yang mencondongkan diri pada privatisasi dan pasar bebas. Mudahnya, pertumbuhan ekonomi harus dibarengi prinsip lingkungan yang berkelanjutan.

Infografik Mozaik Krisis iklim bagi Margaret Thatcher

Infografik Mozaik Krisis iklim bagi Margaret Thatcher. tirto.id/Tino

Perempuan Baja Itu Berputar Balik

Namun, tidak butuh waktu lama bagi prinsip ini untuk ditinggalkan Thatcher. Ia menyebut dalam autobiografinya, Margaret Thatcher: The Autobiography (2013), bahwa dalam tahun-tahun terakhir masa jabatannya, ia menjadi khawatir terhadap argumen-argumen antikapitalisme yang digunakan oleh para aktivis krisis iklim.

Brendan Montague (2018) dalam “Who Drove Thatcher’s Climate Change U-turn?”, membongkar sosok-sosok di balik “putar balik”-nya sang perempuan baja. Orang-orang yang mengonversi Thatcher setelah ia turun dari kursi perdana menteri adalah Julian Morris, Richard Lindzen, dan orang-orang Institut Kato.

Semuanya adalah pemikir propasar bebas yang didanai oleh raksasa-raksasa minyak bumi seperti Exxon. Kemerosotan standar ilmiah yang ditunjukkan Thatcher sangat mencengangkan.

Alih-alih percaya pada laporan-laporan ilmiah yang sudah dengan susah payah ia advokasi sepanjang masa jabatannya sebagai perdana menteri, ia justru memilih mendasarkan penilaian pada tulisan propagandis pro-perusahaan energi.

Pamflet “A Plain English Guide to Climate Science” (1997) yang disusun Kenneth Green dari Yayasan Reason juga menjadi dasar lain dari balik arahnya sang perempuan baja. Menariknya, Yayasan Reason mendapat dana 70.000 USD setahun berikutnya, tidak lain dari perusahaan minyak, Exxon.

Pada dekade 2000-an, Thatcher pun membuat klarifikasi terhadap pidato tahun 1990 dan menganggap bahwa krisis iklim dan pemanasan global adalah musuh lamanya, sosialisme, yang kini beralih rupa.

Tindakan “putar balik” yang dramatis dan fenomenal dari pemimpin dunia pertama yang menyuarakan krisis iklim di forum internasional menjadi prestasi paling gemilang bagi para penyangkal krisis iklim dekade itu.

Baca juga artikel terkait MARGARET THATCHER atau tulisan lainnya dari Christopher Reinhart

tirto.id - Politik
Kontributor: Christopher Reinhart
Penulis: Christopher Reinhart
Editor: Irfan Teguh Pribadi