Menuju konten utama

Ketika Ratu Kecantikan Malaysia Menjadi Kuda Lumping

Tentu saja kasus ini jadi kontroversial. Malaysia disebut "mencaplok budaya" Indonesia (lagi).

Ketika Ratu Kecantikan Malaysia Menjadi Kuda Lumping
Sanjeda John, Miss Grand International 2017 dari Malaysia. FOTO/Instagram/missgrandmalaysia

tirto.id - Bunyi gamelan mengiringi Sanjeda John, Miss Grand Malaysia 2017 naik ke atas panggung. Ia terlihat mengapit anyaman berbentuk kuda di tangan kiri. Berjalan berlenggok dan memainkan selendang berwarna merah di tangan yang satunya. Si pembawa acara, dengan lantang memperkenalkan “Kuda Warisan” sebagai National Costume (Natcos) asli Malaysia.

Natcos “Kuda Warisan” dalam perhelatan Miss Grand International 2017 tersebut merupakan rancangan Hana Yaakob. Ia memadukan warna hitam dan merah untuk ayaman kuda, ditambah warna coklat dan ornamen keemasan pada seragam prajurit. Tak luput, sepatu boots dari songket berukir bunga coklat hitam. Sepintas, kostum tersebut sangat mirip dengan kostum para pemain “Jaran/Kuda Kepang” dari Jawa Timur.

Baca juga:Indonesia Makin Bersinar di Kontes Ratu Sejagat.

Tak perlu waktu lama, berita Kuda Kepang sebagai Natcos Malaysia di kontes kecantikan tersebut menyebar. Akun Instagram Sanjeda @missgrandmalaysia banjir hujatan. Apalagi, ia mengatakan, wajar terdapat kemiripan antara “Kuda Warisan” dengan Kuda Kepang karena merupakan tetangga serumpun Indonesia.

Sanjeda, kemudian menuliskan awal mula kesenian ini bisa ada di Malaysia. Masyarakat Jawa pada abad ke-20 bermigrasi ke Malaysia dengan kapal dagang Belanda dan Jepang. Mereka membawa serta budaya Jawa, termasuk tarian Kuda Kepang ke negara bagian utara Johor, Perak, dan Selangor di Malaysia dan Singapura. Pada tahun 1971 Kementerian Pariwisata Johor mengakui tarian Kuda Kepang di Johor sebagai simbol kesatuan dan keragaman budaya.

Baca juga:Pelajar Singapura Belajar Kuda Lumping

Sebelum dikenakan oleh Sanjeda, Miss Grand Malaysia Organization mengadakan kontes sketsa Natcos. Dari 50 sketsa yang masuk, "Kuda Warisan" berhasil terpilih sebagai Natcos Malaysia di ajang Miss Grand International 2017. Jude Benjamin Lisa, Direktur Nasional, Miss Grand Malaysia Organization menyatakan, "Kuda Warisan" dianggap tepat menggambarkan budaya Malaysia yang berwarna-warni dan beragam. Kostum "Kuda Warisan" ini nantinya akan melawan 80 Natcos lainnya dari seluruh dunia untuk memperebutkan predikat Best in National Costume.

"Ini tentang merayakan keragaman dan memperkenalkan kemiripan (kuda warisan) karena sejarah, terutama di wilayah ini (wilayah Malaysia yang dijadikan migrasi masyarakat Jawa)," katanya.

Muasal Kuda Kepang

Para penari kerasukan dan mulai memakan benda-benda berbahaya seperti beling/pecahan kaca, pecahan genting, rumput, hingga bunga-bungaan sesajen. Inilah bagian klimaks dari tarian Kuda Kepang yang paling ditunggu penonton. Penari Kuda Kepang akan sadar setelah pawang memberi mantra-mantra khusus.

Properti kuda-kudaan terbuat dari kulit kerbau, atau kulit sapi yang telah disamak. Beberapa juga terbuat dari anyaman bambu yang diberi motif atau hiasan dan direka seperti kuda. Sandi Irawan, dkk pada tahun 2014 menulis dalam Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Untan yang berjudul “Struktur dan Makna Mantra Kuda Lumping”.

Dalam tulisannya, secara gamblang ia mengatakan Kuda Kepang alias Kuda Lumping, Jathilan, atau Jaranan merupakan kesenian asal Ponorogo, Jawa Timur.

Dalam legenda, Raja Ponorogo yang selalu kalah dalam perang pergi bertapa memohon kemenangan. Raja Ponorogo kemudian mendapat wangsit untuk menyiapkan pasukan berkuda yang dibekali mantra-mantra magis. Penari Kuda Kepang terdiri dari beberapa sosok. Pertama, Barongan sebagai perlambang sosok yang sangat berkuasa, semaunya sendiri, tidak kenal sopan santun, dan angkuh.

Baca juga:Pacuan Kuda Tradisional Gayo

Lalu, celengan atau babi hutan menjadi lambang sifat rakus. Suka memakan apa saja tanpa peduli makanan itu milik siapa, yang penting kenyang dan puas. Terakhir, prajurit berkuda yang memberikan isyarat bahwa dunia memiliki sisi buruk dan sisi baik.

Jika memilih bertindak baik, ia berarti menjalankan semangat kuda sebagai motivasi hidup. Namun, jika sebaliknya, ia berarti memilih menjadi seperti Barongan dan Celengan. Kesenian Kuda Kepang biasanya hadir untuk meramaikan hajatan rakyat.

“Jathilan ini merupakan bagian dari Reog, salah satu pertunjukan rakyat yang filosofinya memperkenalkan persatuan kesatuan,” kata Etin Budi Agustinah, penggiat seni tari dari Sanggar Tari Ayodya Pala kepada Tirto.

Filosofi tersebut, katanya, digambarkan dalam gerak tari para prajurit perang yang mengamankan raja. Dengan gerak kuda-kuda prajurit melakukan penjagaan dan pertahanan. Selain makna sosial, Kuda Kepang juga memiliki makna religius. Mantra tariannya berupa permohonan kepada Tuhan dan makhluk halus yang merupakan perwujudan kepercayaan masyarakat.

“Ada yang pakai magic, itu pengembangan kearifan lokal dari kesenian. Jadi kita searif mungkin harus menghargai, kalau tidak nanti punah.”

Etin mengatakan, Malaysia memang banyak memiliki budaya serupa Indonesia karena faktor migrasi penduduk. Sama seperti kesenian barongsai asal Tiongkok yang sudah melekat dan sering dipentaskan di Indonesia. Persoalannya, Malaysia lebih gencar mempublikasikan dan merawat beragam kesenian tersebut dibanding Indonesia.

Sebelum geger Natcos “Kuda Warisan”, sudah ada batik yang lebih dulu dipromosikan Malaysia sebagai warisan budaya nenek moyangnya. Lalu ada juga iklan promosi kunjungan ke Malaysia “Visit Malaysia Years” yang menampilkan Tari Pendet Bali sebagai “jualan” mereka. Ada juga kasus lagu “Rasa Sayange”, Reog Ponorogo, kain tenun asal Kalimantan, sampai baju Minang lebih sering digunakan pada acara-acara resmi Malaysia.

infografik kuda lumping

Baca juga:Merawat Warisan Budaya Tak Semudah Mencaci Malaysia

Yang terakhir, Indonesia hampir saja keduluan hak cipta angklung sebagai alat musik tradisional Indonesia. Malaysia, seperti berkali-kali terjadi, gencar mempromosikan alat musik asal Jawa Barat ini sebagai alat musik tradisional negaranya, bernama Bamboo Malay. Di Malaysia, kesenian-kesenian tersebut diperkenalkan dalam beragam kurikulum sekolah dan pusat-pusat perbelanjaan.

Di Indonesia, biasanya kesenian hanya tampil saat mengisi acara di hari-hari besar tertentu saja. Itu pun tak disokong dengan apresiasi oleh pemerintah bagi para seniman. Bagi Etin, itu hal yang menyedihkan. Jika pemerintah Malaysia lebih peduli pada kesenian rakyat yang sesungguhnya lebih mengakar di Indonesia, lama-lama bentuk seni itu akan lebih dikenal sebagai kebudayaan Malaysia.

“Kebanggaan kita tinggal budaya, kalau tidak pandai menyikapi tinggal dicaplok saja,” pungkas Etin.

Baca juga:Pengunjung Festival Meksiko Terpukau Tari Indonesia

Baca juga artikel terkait TARI atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani