Menuju konten utama

Ketika Amerika Berburu Buron ke Kuba

Sekitar 70 pelarian AS disinyalir tinggal di Kuba, sebaliknya AS menampung DPO dari Kuba.

Ketika Amerika Berburu Buron ke Kuba
Assata Shakur, pimpinan Black Panthers, berpose di bawah bendera Kuba, Havana, 1998. SHOBHA/Contrasto/Redux

tirto.id - Juni lalu, Presiden Trump mengumumkan “pemutusan parsial” hubungan dengan Kuba, kecuali jika syarat-syarat tertentu dipenuhi oleh negeri yang berjarak seperlemparan batu dari negara bagian Florida tersebut. New York Times pada Senin (10/7) melaporkan, salah satu syarat itu adalah menyerahkan Ishmail Muslim Ali, seorang pelarian yang didakwa bersalah membunuh delapan orang di Fountain Valley Golf Course, Virgin Islands pada 1972.

Kepada New York Times, Ali menyatakan, pemerintah tidak akan melepaskannya ke AS. “Kuba ingin kedaulatannya dihormati.” Dalam pemulihan hubungan diplomatik AS-Kuba di bawah pemerintahan Obama, ekstradisi tidak dibicarakan.

Ali dilahirkan dari seorang ibu kulit hitam dan ayah berkewarganegaraan Jerman. Nama asli Ali adalah Ronald LaBeet. Ia sempat mengabdi di militer AS dan dikirim ke Vietnam. Sepulangnya dari medan perang, ia masuk Islam dan bergabung dengan Black Panther. Kini, ia bekerja di Kuba mengajar bahasa Inggris di sekolah-sekolah.

Pada Desember 2014, Washington Post dalam laporan bertajuk "Five of the most (in) famous U.S. fugitives in Cuba”, menyebutkan 70 warganegara AS bersembunyi di Kuba. Selain Ali, lima di antaranya merupakan pelarian politik: tiga orang bekas anggota Black Panther (kelompok paramiliter kulit hitam dari era perjuangan hak-hak sipil 1960an), satu dari Black Liberation Army, sempalan Black Panther, satu anggota gerakan separatis Puerto Rico.

Yang paling terkenal adalah Assata Shakur, anggota Black Liberation Army, didakwa pembunuhan dan pembunuhan pada 1977. Setelah dua tahun menjalani hukuman, ia kabur dan mendarat di Kuba. William Lee Brent, dikeluarkan dari organisasi Black Panther, membajak penerbangan TWA 154 dari Oakland ke Havana (1969), meninggal pada 2006. Selama 18 bulan, ia sempat ditahan karena dicurigai otoritas Kuba sebagai mata-mata AS sebelum akhirnya menjadi mahasiswa dan mendapat gelar sarjana muda dari Universitas Havana. Pembajak pesawat lainnya adalah William Potts, anggota Black Panther yang mengalihkan penerbangan komersil dari New York City ke Kuba pada tahun 1984. Saat itu Potts berniat melanjutkan perjalanan ke Afrika Selatan untuk bergabung dengan gerakan anti-apartheid. Pada 2014, Potts kembali ke AS, mengaku bersalah melakukan penculikan, dan menjalani hukuman. Sebelum Potts, Eldridge Cleaver—salah seorang pemimpin Black Panther—juga pulang ke AS setelah melarikan diri ke Kuba (1968).

Di luar lingkungan gerakan kulit hitam, terdapat Guillermo Morales - anggota gerakan separatis Puerto Rico (Fuerzas Armadas Liberacion Nacional). Ia kabur dari rumah sakit di New York ketika berada dalam status tahanan polisi. Terlibat aksi-aksi pemboman di AS pada 1970-80an, Morales dipercaya masih tinggal di Kuba.

Kebijakan Obama terkait hubungan Kuba-AS

Embargo AS atas Kuba dimulai sejak Presiden Kennedy menyatakan blokade total atas Kuba, menyusul insiden Teluk Babi (1961) dan krisis misil Kuba (1962). Sejak itu serangkaian peraturan dirilis untuk mencegah barang-barang yang diproduksi Kuba masuk ke AS, larangan bagi warga AS masuk ke Kuba, serta menghentikan dukungan finansial ke negara-negara yang memberikan bantuan ke Kuba.

Kebijakan ini berubah pada 2014, ketika pemerintahan Obama dan Raul Castro mengumumkan akan menormalisasi hubungan kedua negara. Penghapusan Kuba dari daftar "sponsor teroris"--yang juga berlaku pada Iran, Sudan, Suriah--segera disusul oleh pembukaan kembali kedutaan besar AS dan Kuba di masing-masing negara. Normalisasi hubungan tersebut juga menghapus embargo, yang kemudian berdampak pada maraknya biro pariwisata yang paket perjalanan ke Kuba, bersamaan dengan dipulihkannya rute penerbangan ke Havana.

Sebulan sebelum pensiun, Presiden Obama menyatakan akan membuat keputusannya terkait Kuba “tidak bisa ditarik kembali”. Reuters melaporkan, kebijakan Presiden AS pertama yang berkunjung ke Kuba dalam kurun waktu 90 tahun itu memungkinkan warga Kuba untuk membeli barang-barang tertentu secara online, membuka pintu bagi perusahaan-perusahaan farmasi Kuba untuk berbisnis di AS, serta peluang kerjasama riset kedokteran antara kedua negara.

Thinktank Center for Foreign Relations, mengutip jajak pendapat yang dilakukan Pew Research pada 2015, menyatakan bahwa kebijakan Obama didukung 63 persen populasi Amerika. Adapun survei lain menyatakan 97 persen warga Kuba memandang positif upaya normalisasi tersebut. https://www.cfr.org/backgrounder/us-cuba-relations

Selama kampanye pilpres tahun lalu, capres Demokrat Hillary Clinton menyatakan dukungannya atas kebijakan Obama terkait Havana. Sementara capres Republikan Donald Trump bersumpah membatalkannya.

INFOGRAFIK Buronan AS di Kuba

Tidak Imbang

Dalam kunjungannya ke Miami, basis eksil Kuba di AS, Trump menyatakan akan kembali menerapkan larangan atas sejumlah aktivitas perdagangan kedua negara dan membatasi perjalanan warga AS ke Kuba. Trump juga mengumumkan Kuba wajib melaporkan perkembangan hak asasi manusia, dan bahwa sanksi-sanksi ekonomi tidak akan dibatalkan sebelum Kuba membebaskan seluruh narapidana politik dan menyelenggarakan pemilihan umum yang bebas.

Namun, sejumlah orang berstatus pesakitan di Kuba juga ditampung di AS. Luis Posada Carilles, misalnya, terlibat dalam operasi Teluk Babi yang dikerahkan CIA pada 1961 untuk menggulingkan Castro. Carilles juga terlibat dalam aksi-aksi teror dan sabotase anti-Castro sampai tahun 2000. Setelah mendapat suaka dari pemerintah AS, Carilles tinggal di Miami. Orlando Bosch sempat ditahan akibat dinyatakan terlibat dalam peledakan pesawat Kuba dari Barbados ke Jamaika pada 1976. Ia mendapat suaka di Miami hingga kematiannya pada 2011. Jose Antonio Llama terlibat dalam invasi Teluk Babi dan mengepalai Cuban American National Foundation (CANF), sebuah organisasi yang oleh pemerintahan Castro dituding merencanakan dan mendanai aktivitas teror di Kuba. Llama telah mengakui bahwa antara 1994-97 mempersiapkan operasi untuk membunuh Castro.

Ada kemungkinan Kuba akan meminta AS mengekstradisi Carilles. Seandainya ekstradisi terjadi, maka itu tidak imbang. Black Panther hanya beraktivitas di lingkup domestik, dengan isu kesetaraan antara kulit berwarna dan kulit putih. Black Panther hanya memperoleh dukungan retoris dari Kuba, alih-alih finansial dan politis. Sementara Luis Posada, Bosch, dan Llama merupakan bagian dari jejaring CIA dan terlibat langsung dalam aktivitas-aktivitas subversi anti-Castro.

Dengan isu ekstradisi Ali dan beberapa tuntutan lainnya, pemerintah Trump tengah mengembalikan perspektif Perang Dingin dalam hubungan Washington-Havana.

Baca juga artikel terkait KUBA atau tulisan lainnya dari Windu Jusuf

tirto.id - Politik
Reporter: Windu Jusuf
Penulis: Windu Jusuf
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti