Menuju konten utama

Kala Hubungan AS-Kuba Sedang Membaik, Muncullah Donald Trump

Hubungan AS-Kuba di era Obama mulai membaik. Banyak kemajuan di bidang ekonomi hingga diplomatik yang tercapai. Namun segalanya dipertanyakan ulang saat Donald Trump duduk di kursi kepresidenan AS.

Kala Hubungan AS-Kuba Sedang Membaik, Muncullah Donald Trump
Presiden Amerika Serikat Barack Obama, istrinya Michelle Obama, dan kedua putri mereka Malia dan Sasha berdiri sejenak saat hening cipta bersama di Havana, Kuba, pada 22 Maret 2016. REUTERS/Carlos Barria.

tirto.id - KTT negara-negara Amerika di Panama pada 11 April 2015 adalah kesempatan bagi Presiden Amerika Serikat Barack Obama dan Presiden Kuba Raul Castro berjumpa dan berjabat tangan. Para awak media segera mengabadikan momen bersejarah itu. Untuk pertama kalinya, terjadi pertemuan langsung antara pemimpin tertinggi AS dan Kuba sejak kedua negara memutuskan hubungan diplomatik pada 1961.

Pertemuan itu terjadi empat bulan setelah kedua presiden mengumumkan bahwa kedua negara akan memulihkan hubungan diplomatik. Keseriusan atas komitmen tersebut ditandai dengan kedatangan Presiden Obama ke Kuba pada bulan Maret 2016. Kunjungan presiden AS ke-44 pun tercatat dalam tinta sejarah sebab menjadi yang pertama sejak lebih dari 85 tahun yang lalu.

Memasuki periode kedua Obama duduk di Gedung Putih, hubungan antara AS-Kuba makin mesra. Kompromi Obama atas kebijakan AS yang dirintis di era 1960-an yang mengisolasi Kuba secara diplomatik dan beragam sanksi ekonomi terbilang cukup progresif.

Upaya itu dimulai dengan pertukaran dan pelepasan subkontraktor AS yang dipenjara pada bulan Desember 2014 di Havana. Ia lalu mendorong beberapa ahli untuk merancang prospek yang lebih baik bagi perekonomian Kuba, hubungan diplomatik dengan AS, dan lebih luas dengan negara-negara Amerika Latin lain.

Semuanya dimulai pada 2014 lalu saat Obama dan Raul mengagetkan dunia dengan pengumuman untuk menormalisasi hubungan antara kedua negara. Sejak saat itu, keduanya telah membuka kantor kedutaan dan mengembalikan lagi jalur penerbangan pesawat terbang.

Kapal pesiar AS telah mulai merapat di pelabuhan Kuba. Perjanjian di berbagai bidang telah ditandatangani, termasuk diantaranya sektor lingkungan, penegakan hukum, layanan pos, dan komunikasi. Google pun akan menempatkan servernya di Kuba agar pelayanannya di negara komunis itu makin meningkat.

Omong Keras, Tapi Membingungkan

Meski terasa optimistik, apa yang akan terjadi di masa depan sesungguhnya masih sulit diraba. Akhir tahun 2016 menjadi babak baru bagi perubahan administrasi di kedua negara. Transisi politik di Kuba akan sangat terasa usai meninggalnya mantan presiden sekaligus pejuang revolusioner Fidel Castro.

Sementara itu AS akan mengakhiri masa keemasannya bersama Obama, digantikan presiden baru dari Partai Republik yang pada pilpres kemarin sukses menumbangkan Hillary Clinton, Donald J. Trump. Kemenangan Trump menandai bangkitnya kembali kekuatan kaum konservatif di Negeri Paman Sam setelah dua periode disetir wakil Demokrat.

Sejumlah pengamat politik mengatakan bahwa visi AS-Kuba ke depan dipenuhi ketidakpastian atas bagaimana Trump nanti memperlakukan Kuba. Faktor kematian Castro memang memiliki daya perubahan yang cukup besar, salah satunya membawa angin demokrasi yang lebih besar ke Kuba. Embargo dari AS pun telah banyak memberi kesusahan bagi warga Kuba sendiri. Namun langkah Trump lah yang akan menjadi faktor penentu.

Trump memberikan banyak pesan yang campur aduk selama kampanye soal bagaimana ia akan mengeksekusi kebijakan luar negeri AS. Ia pernah berkata bahwa merestorasi hubungan diplomatik dengan Kuba itu “baik”. Lalu saat diwawancarai CNN ia berkata bahwa upaya penormalan hubungan kedua negara memang “mungkin terjadi”, namun ia ingin “kesepakatan yang lebih baik untuk AS” sendiri.

Namun selama kampanye di Miami, atau sesaat sebelum hari pemilihan, Trump berkata dengan nada keras bahwa dirinya akan menghapus semua konsesi yang dibuat oleh pemerintahan Obama “kecuali rezim Castro memnuhi tuntutan kami”.

Sebagian besar pejabat Kuba memilih untuk menahan diri untuk tidak mengomentari pernyataan Trump. Sementara itu mereka juga menunggu untuk melihat apakah sikap kerasnya akan terwujud juga saat sudah dilantik menjadi presiden pada Januari ini.

Masih Republikan vs Demokrat

Riset Pew Research awal Desember lalu menunjukkan bahwa ¾ atau 75 persen masyarakat AS mendukung keputusan untuk menormalisasi hubungan dengan Kuba. Sementara hampir 73 persen mendukung agar embargo perdagangan lama AS kepada Kuba untuk diakhiri.

Suara ini telah diperjuangkan oleh Obama dan menjadi representasi suara mayoritas dari golongan Partai Demokrat. Dukungan meningkat dari riset yang sama di tahun sebelumnya dengan hasil 73 persen masyarakat AS mendukung normalisasi hubungan dan 72 persen setuju pengakhiran embargo dagang.

Dalam dikotomi Partai Republik dan Demokrat, hasil riset Pew Research menunjukkan bahwa penerimaan kedua kubu atas kebijakan normalisasi dan akhir embargo cenderung berbeda. Penerimaaan Kubu Demokrat atas dua kebijakan itu hingga 87 persen dan 84 persen. Sedangkan persentase penerimaan dua kebijakan dari kubu Republikan hanya mencapai 62 persen.

Statistik ini menjelaskan bahwa di kubu Republik yang kini menguasai Gedung Putih masih menimbang apa yang sebaiknya dilakukan dengan Kuba. Ketidakpastian sikap Trump dianggap oleh sejumlah analis bahwa mereka sedang benar-benar mempertimbangkan kebijakan apa yang paling menguntungkan AS. Soal apa yang akan didapat Kuba, itu belakangan.

Gustavo Arvanat, mantan pejabat senior Obama dan Direktur Eksekutif di Inter-American Development Bank berkata pada NBC News jika pemerintahan Trump masih berpeluang untuk benar-benar mencabut embargo dagang, sesuatu yang enggan dilakukan Kongres. Namun upaya tersebut perlu upaya yang keras dari politisi dari kubu Demokrat untuk meyakinkan orang-orang di kubu Republikan.

“Kubu Demokrat akan serta-merta memilih untuk mengakhiri embargo itu. Menurutku ke depan mereka akan memiliki waktu yang lebih mudah—secara umum—untuk meyakinkan kubu Republik untuk memilih akhir embargo juga,” katanya.

Kebijakan yang akan diambil Trump tak bisa dilepaskan dari orang-orang di sekitarnya. Dua sosok yang paling terlihat terkait kebijakan atas Kuba adalah Mauricio Claver-Corone dan Yleem Poblete. Claver-Corone, yang kini berada di tim Departemen Keuangan, adalah sosok yang dikenal sebagai pendukung garis keras embargo AS atas Kuba. Ia selama ini juga menjadi kritikus yang keras atas kebijakan-kebijakan Obama.

Infografik hubugan Kuba Amerika

Kemajuan di Bidang Ekonomi dan Diplomatik

Sementara Trump sedang mempersiapkan pesta inaugurasi dan sebagian masyarakat dunia sedang sedih ditinggal Obama, kemajuan hubungan antara AS and Kuba di awal tahun 2017 ini mulai terlihat dalam perjanjian ekonomi berbasis jual-beli arang.

Pada Kamis (5/1/2017), perusahaan Kuba CubaExport menandatangani sebuah perjanjian untuk menjual arang ke perusahaan AS Coabana Trading dengan harga 420 dolar AS (sekitar Rp5,61 juta) per ton menurut warta Granma, surat kabar negara pulau komunis tersebut. Pengiriman pertama dari 40 ton arang "marabu" untuk bahan pembakaran, yang dibuat dari pohon keras yang berasal dari Afrika itu, dijadwalkan akan terlaksana pada 18 Januari.

"Ini adalah kesepakatan berjangkauan luas untuk hubungan kedua negara. Ini mewakili papan lain dalam jembatan antara Amerika Serikat dan Kuba" kata presiden Coabana Trading, Scott Gilbert, kepada para pewarta setelah penandatanganan kesepakatan di Havana.

Selain di ranah ekonomi, kemajuan juga terjadi di ranah diplomatik. Mulai Kamis (12/1/2017) Pemerintah AS mengakhiri kebijakan “Wet foot, Dry foot”. Kebijakan “Wet foot, Dry foot” yakni upaya penangkapan orang Kuba di perairan antara kedua negara dan pengiriman kembali ke Kuba atau negara dunia ketiga lain. Saat kebijakan ini dihilangkan, kini orang Kuba bisa menjadi warga tetap di AS sekalipun tidak memiliki visa—dan tak perlu kucing-kucingan lagi dengan otoritas AS di perbatasan.

“Ini adalah langkah awal untuk mereformasi kebijakan tidak logis dan diskriminatif yang dibuat AS untuk warga Kuba. Tak seharusnya pengungsi dari negara lain mendapatkan perlakuan tidak adil,” kata Patrick Leahy, senator AS dari Partai Demokrat kepada Reuters.

Departemen Keamanan Dalam Negeri AS juga mengakhiri pembebasan bersyarat sebagai izin masuk ke AS bagi petugas medis Kuba. Sebuah kebijakan yang dikhawatirkan oleh Pemerintah Kuba sendiri sebab dikhawatirkan membuat banyak tenaga kesehatan yang terlatih memilih untuk pergi. Namun demi pemulihan hubungan kedua negara, kekhawatiran ini ditekan. Kuba,dinilai tak akan kekurangan tenaga medis berkualitas—sebagaimana kondisi selama ini dan yang membuat negara itu dikenal dunia.

Baca juga artikel terkait AMERIKA SERIKAT atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Politik
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Maulida Sri Handayani