Menuju konten utama

"Ketegangan Seni dan Agama adalah Soal Tafsir"

Seni dan agama terkadang berbenturan pada persoalan tafsir. Pada akhirnya ketika agama yang berkelindan dengan politik masuk ke ruang seni, seni menjadi eksklusif. Bila sudah demikian, seni menjadi tidak merdeka karena melahirkan tafsir tunggal yang berujung pada pemaksaan dari kelompok tertentu.

M. Rain Rosidi, S.Sn, dosen seni patung Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Tirto/Danna C

tirto.id - Penolakan atas kehadiran dan gerakan organisasi politik Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di kampus Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta memuncak pada aksi di halaman rektorat Kampus ISI, Jumat (17/6/2016) siang. Secara kultural, pada Senin (21/6/2016) juga digelar tadarus kebudayaan bertajuk Maiyah Badar: Tadarus Kebudayaan. Temanya serupa: menolak penyebaran gagasan kekhilafah ala HTI di Indonesia.

Sikap penolakan tersebut berangkat dari gerakan kader-kader HTI di kampus ISI, baik yang berstatus sebagai mahasiswa maupun dosen, yang dikhawatirkan akan menyebarkan ide hingga praktik berkesenian yang eksklusif dan pada akhirnya menggerogoti visi ISI sebagai kampus yang inklusif.

Bagi Rain Rasidi, dosen seni patung ISI Yogyakarta yang juga bersikap menolak kehadiran HTI di kampusnya serta menjadi salah satu massa aksi, kehadiran HTI yang bercorak politis akan mempengaruhi kegiatan akademik di ISI. Persoalannya bukan soal pilihan mengikuti jejak seni dengan estetika Islam, tetapi sikap yang eksklusif itu akan menutup pilihan-pilihan yang luas di bidang seni yang lain.

Bagaimana kemudian penolakan tersebut juga berkaitan dengan ketegangan antara dunia seni dan Islam dalam tafsirnya yang beragam? Simak wawancara khusus Rain Rosidi dengan tim tirto.id, Akhmad Muawal H dan Danna Cynthia, di Yogyakarta, Selasa (21/6/2016) berikut ini:

Bagaimana aksi penolakan HTI di ISI bisa muncul? Sebenarnya apa yang ditolak? Ide seninya atau gerakan politiknya?

Sebelum aksi, saya termasuk salah satu yang membicarakannya, termasuk ada yang konsultasi ke saya. Pemicu aksi tersebut salah satunya karena pemberitaan di BBC online tentang radikalisme di kampus, salah satunya di ISI yang menyangkut mahasiswa.

Setelah kasus tersebut ramai di media, lalu bertemu lah para mantan anggota KMI atau Keluarga Mahasiswa Islam ISI, brainstorming, dan ternyata mereka juga mengalami hal yang sama, bahwa kelompok yang berafiliasi dengan HTI itu yang mendominasi masjid ISI.

Pada pembicaraan awal kita batasi lingkupnya di kampus ISI karena yang bersinggungan adalah dua elemen ISI, yaitu UKM KMI dan takmir masjid ISI. Kami menganggap dominasi tersebut akan memberi dampak terutama di aktivitas mahasiswa, karena yang sebenarnya KMI itu untuk mewadahi seluruh mahasiswa yang beragama Islam di ISI apapun latar belakang tradisi keagamaannya, namun sekarang ini malah lebih eksklusif.

Eksklusifitas itu terlihat di kaderisasi maupun pengajiannya yang selektif [sesuai kepentingan kelompok dominan], sehingga banyak yang mengundurkan diri dari KMI.

Hal ini juga digelisahkan oleh pembantu rektor tiga ISI dan yang lain, terutama saat bertemu dan membahas rancangan AD/ART [Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga] KMI yang tiba-tiba menjadi lebih eksklusif. Hubungan antara KMI sekarang dengan pihak PR III [Pembantu Rektor III] juga semakin dikurangi. Kekuasaan dewan syuro juga sangat dominan, bisa membatasi atau membatalkan pemimpin atau pengurus baru KMI. Bagi kami, sebagai mantan anggota KMI yang lama, sudah menyimpang dari yang dulu.

Sebenarnya sebelumnya kami hanya menggagas acara Maiyah [Tadarus Kebudayaan yang terselenggara Senin, 20 Juni 2016], namun yang terjadi di luar berbeda karena beberapa alumni membaca berita-berita yang diawali dari BBC. Bagi mereka itu sudah sangat mengkhawatirkan karena mereka kan mahasiswa yang masih muda, lalu didoktrin gagasan tentang Khilafah yang kami anggap tentu persoalan serius. Yang kita inginkan kan masjid ISI lebih inklusif.

Di media-media disebutkan ada ceramah yang menyebarkan gagasan yang intinya pengekangan dalam berkreativitas, bahkan dalam praktiknya ada beberapa dosen yang terlibat melakukan pelarangan. Benarkah demikian? Jika benar, sebagai seorang pendidik seni rupa, inikah yang Anda khawatirkan?

Kondisi yang eksklusif kami khawatirkan akan mempengaruhi kreativitas secara keseluruhan di kampus. Hari Jumat [17/6/2016] memang ada ceramah di kampus yang kami khawatirkan akan membatasi kreativitas tersebut, salah satu isinya tentang larangan menggambar atau mematung makhluk bernyawa.

Perbedaan tafsir seperti itu wajar dan sudah menjadi perbincangan sejak lama. Para ulama pun berbeda-beda tentang tafsir tersebut. Namun tafsir yang disampaikan pada ceramah tadi, kami khawatirkan akan menjadi propaganda yang akan membatasi kegiatan akademik di ISI itu sendiri.

Untuk isu tentang para pendidik itu, sebenarnya saya kenal dengan beberapa dosen yang demikian, namun mereka kebanyakan lebih cenderung bergerak di ranah akademik, misal dengan mengenalkan seni dalam estetika Islam dan kemudian didiskusikan. Tapi kita kan tak bisa menebak karena HTI itu partai politik, dan di ISI pihak-pihak yang terlibat tak hanya satu orang.

Intinya HTI dilarang keberadaannya di ISI?

Iya, karena setelah kita tinjau di website-nya, HTI itu adalah sebuah partai politik walaupun sifatnya trans-nasional. Di titik itu sudah jelas, bahwa partai politik apapun tidak boleh berpraktik atau menyelenggarakan aktivitas di kampus. Kalau itu misalnya itu bagian dari kajian akademik berupa seminar atau diskusi ya masih bisa diterima. Namun kan partai politik manapun selalu berusaha melakukan praktik kekuasaan, penggalangan massa, dan lain sebagainya, yang itu jelas tak bisa dibiarkan jika terjadi di dalam kampus.

Apa memang seni rupa dan Islam tak bisa didamaikan?

Saat mengikuti acara Maiyah saya memperoleh tambahan pengetahuan. Agama dan seni diibaratkan rekening yang naik turun, di mana di Islam kondisinya lebih banyak turun karena hubungannya dengan kemampuan berimajinasi. Sebuah komunitas yang imajinasinya kering akan lebih cenderung pemarah dan tak menghargai seni.

Saya kira kondisi yang terjadi seperti itu ya, karena setiap agama punya praktik spiritualitas di luar yang sifat agamis atau religius. Praktik-praktik spiritualitas itu lebih dekat dengan kondisi geografis atau kelokalan setempat.

Praktik-praktik keagamaan yang masih ada unsur seninya di masyarakat dengan adaptasi kelokalannya itu yang pada acara Maiyah kemarin diistilahkan oleh Pak Lurah Panggungharjo,Sewon, Bantul, sebagai “ruh geografis”. Artinya seni itu bisa berdampingan dengan agama ketika ruh geografisnya juga muncul. Kita bisa tetap punya keyakinan yang bisa kita negosiasikan dengan alam dan kondisi sosial sekitar serta pengalaman kita sehari-hari.

Bagi saya ketegangan itu [seni dan agama] adalah masalah tafsir. Jika penafsirannya terlalu tekstual maka akan muncul banyak ketegangan. Sifat Allah sendiri banyak yang kontradiktif. Dia Maha Penyayang sekaligus Maha Perusak. Maha Penghukum sekaligus Maha Kasih. Kalau tafsirnya terlalu tekstual nanti kita menjadi gamang sendiri dalam praktik keagamaan kita.

Menurut Anda apakah memang ada seni Islami itu?

Ada, tapi juga tergantung versinya masing-masing. Seni yang Islami versi HTI misalnya, karena tafsir tentang Islam juga tak bisa disatukan, kan? Ada tafsir NU, Muhammadiyah, dan ada cara-cara lain dalam mempraktikkan Islam. Bahkan di seni rupa ada yang menafsirkan seni yang baik itu yang abstrak, ada juga yang menganggap seni yang baik yang berestetika Islami dengan melarang gambar makhluk bernyawa. Mungkin menganggap pohon juga tak bernyawa, ya. Itu tak masalah.

Namun jika kemudian disinggungkan dengan partai politik, itu yang tak bisa didiskusikan lagi. Jika itu bagian dari tawaran atas praktik seni malah jadi menarik karena dunia seni rupa juga membutuhkan orang-orang yang bisa membuat pasar menjadi beragam.

Bagaimana kecenderungan mahasiswa di ISI dalam berkarya? Apakah ada yang tertarik seni dalam estetika Islam?

Sebenarnya tak banyak, bahkan cenderung tak terlihat. Di ISI ada KHAT atau Khilafah Art Network, yang menginisiasi teman kita juga. Di kampus belum terlalu signifikan tapi sudah jadi bahan pembicaraan, mengapa tema yang diangkat berbeda dan seterusnya. Misal, estetika seni mulai dikait-kaitkan dengan estetika Islam, atau ke persoalan politik Islam global, dan lain lain.

Apa pemikiran dan sikap yang sedemikian mengekangnya bisa dinilai sebagai penghambat kemajuan seni rupa dan seni-seni lain di Indonesia?

Selama tidak mengkooptasi atau berpikiran “seni saya baik dan yang lain jelek”. Pemikiran seperti itu yang menghambat perkembangan secara bersama-sama. Apalagi jika kapasitasnya sebagai pendidik. Kita kan tak bisa memaksakan selera atau identitas atau tradisi yang kita miliki. Kita harus bisa memahami semua kecenderungan selera yang dimiliki oleh semua mahasiswa. Setiap perbedaan harus diterima di praktik pendidikan seni. Kita tak bisa menghalangi apa yang ditawarkan oleh mahasiswa.

Tak masalah jika seorang mahasiswa memiliki passion di bidang seni estetika Islam, yang kemudian menjadi masalah adalah jika dia menganggap yang lain jelek. Itu akibatnya jika seni dipengaruhi oleh motif politik. Itu yang berusaha kita hindari.

Membincangkan tentang hakikat dan motif di balik lahirnya seni, apakah seni harus selalu mengabdi pada kepentingan-kepentingan yang dianggap luhur seperti agama?

Bisa saja iya, bisa saja tidak. Karya seni kan soal nilai yang diyakini pembuatnya. Kemudian yang bisa kita lakukan adalah membuka seluas-luasnya imajinasi teman-teman mahasiswa. Bagaimana dia bisa memilih jika pilihannya amat sangat terbatas bahkan sudah dipilihkan?

Yang jelas nilai itu tak bisa dipaksakan sebab masing-masing identitas punya nilainya sendiri-sendiri, yang kadang memang tak bisa bertemu. Tapi khusus di ranah akademik, semuanya harus tumbuh. Kita harus siap dengan resiko bertemu dengan nilai-nilai seni yang tak sesuai atau tak bisa dipahami.

Kampus seni adalah tempat di mana mahasiswa menemukan dirinya. Beda dengan kampus yang lain. Jika diri seseorang memang agamis ya apa salahnya. Asal dia bisa memahami apa yang dia pilih dan dia bisa memahami perbedaan yang lain di luar dirinya.

Atmosfer pembelajaran seni seperti apa yang Anda harapkan di ISI dan kampus seni lain terkait dengan kondisi seni dan Islam selalu memunculkan tegangan-tegangan atas perbedaan tafsir? Apa yang bisa kita pelajari dari kasus penolakan HTI di ISI kemarin?

Suasana di kampus seni harus inklusif. Yang terbuka. Artinya bisa menghargai kelompok terkecil sekalipun. Bisa menghargai perbedaan. Semuanya dapat tempat. Bahkan yang tak bisa mengakses atau yang dianggap orang menyimpang. Yang dikhawatirkan kan pandangan eksklusif dari si pengajar akan menular ke yang lain terutama mahasiswanya.

Baca juga artikel terkait WAWANCARA KHUSUS atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Mild report
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Agung DH