Menuju konten utama

Ketahui Makna Malam Bainai yang Dilakukan Nikita Willy

Malam bainai merupakan acara lepas lajang bagi calon mempelai perempuan menurut tradisi Minang.

Ketahui Makna Malam Bainai yang Dilakukan Nikita Willy
Pernikahan Nikita Willy. instagram/nikitawillyofficial94

tirto.id - Aktris sinetron Nikita Willy dan pasangannya, Indra Priawan, melepas masa lajangnya pada hari Jumat (16/10/2020) lalu.

Pada malam sebelumnya yaitu Kamis (15/10/2020) keduanya juga melangsungkan acara malam bainai.

Malam bainai merupakan acara lepas lajang bagi calon mempelai perempuan menurut tradisi Minang.

Melansir situs resmi Kabupaten Pesisir Selatan, tradisi malam bainai dilaksanakan sebelum mempelai melangsungkan pernikahan.

Berbagai bentuk hiburan diberikan oleh tuan rumah kepada para tamu yang datang pada malam tersebut.

Akan tetapi, para tamu yang datang adalah rekan sejawat mempelai sehingga memang diperuntukkan bagi muda-mudi. Biasanya, malam bainai digelar usai maghrib atau isya hingga tengah malam.

Awal mula adanya tradisi ini pun memang sebagai wadah resmi bertemunya antara laki-laki dan perempuan.

Teman-teman mempelai yang berkumpul bisa saling berkenalan. Bahkan, pertemuan dan perkenalan tersebut pun tak jarang berlanjut ke pernikahan seperti mempelai yang sedang mereka saksikan.

Di sisi lain, acara ini pun juga memiliki nilai sosial. Malam bainai kerap dilakukan sebagai upaya menghimpun dana sumbangan bagi rekan sejawat untuk membantu mempelai dalam pelaksanaan pernikahan.

Lantas, apa saja prosesi malam bainai adat asli Minang ini?

Seperti tertulis dalam jurnal penelitian yang diterbitkan oleh Universitas Negeri Padang, malam bainai merupakan ritual adat turun terumun masyarakat Minagkabau dalam melaksanakan rangkaian pernikahan.

Malam bainai pun menjadi momen di mana calon mempelai atau disebut dengan anak daro meminta maaf kepada orang tua dan sanak saudara serta memohon doa restu.

Prosesi yang dilangsungkan pada malam bainai tersebut antara lain sebagai berikut:

1. Bamandi-mandi

Pada zaman dahulu, prosesi bamandi-mandi dilakukan oleh mempelai di tepian sungai. Tahapan ini didampingi oleh saudara perempuan dan saudara laki-laki mempelai. Setelah selesai, orang tua mempelai dipanggil untuk menjemput anaknya tersebut.

Ritual ini melambangkan pemandian terakhir oleh kedua orang tua kepada anak tercinta karena tanggung jawabnya pun telah beralih. Setelah menikah, mempelai perempuan akan menjadi tanggung jawab mempelai laki-laki.

2. Maniti kain kuniang

Prosesi ini dilakukan dengan berjalan di atas kain berwarna kuning oleh calon mempelai yang didampingi oleh kedua orang tua menuju pelaminan. Hal ini menjadi lambang perjalanan hidup si perempuan sejak kecil, remaja, hingga dewasa.

Setiap kain yang dilewati akan digulung oleh dua laki-laki yang melambangkan kesiapan niniak mamak atau penghulu, dan urang sumando atau calon mempelai laki-laki pada keluarga si perempuan.

3. Bainai

Pada masa lampau, prosesi malam bainai hanya dilaksanakan secara sederhana. Acara tersebut juga dihadiri oleh kerabat terdekat.

Pada sesi ini, akan dipasangkan inai atau cincin di masing-masing jari mempelai. Pemasangan ini pun memiliki arti tersendiri sebagai berikut:

· Ibu jari melambangkan penghargaan, kebaikan, dan pujian si calon istri kepada calon suami.

· Jari telunjuk melambangkan kehati-hatian calon istri dalam bertindak, tidak semena-mena dalam bersikap, dan tidak leluasa dalam memerintah.

· Jari tengah melambangkan kehati-hatian dalam menimbang hati calon mertua, calon ipar, calon besan, dan orang lain.

· Jari manis melambangkan keidealan pasangan dalam menjalankan hidup berumah tangga.

· Jari kelingking menjadi pengharapan agar calon mempelai dapat bersikap, rendah hati, dan tidak sombong. Tidak hanya itu, pemasangan cincin di jari kelingkin mempelai juga diharapkan agar mempelai tidak tersisihkan dan terbelakangi oleh calon ipar, calon besan, calon mertua, dan keluarga lainnya.

Baca juga artikel terkait NIKITA WILLY atau tulisan lainnya dari Dinda Silviana Dewi

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Dinda Silviana Dewi
Penulis: Dinda Silviana Dewi
Editor: Nur Hidayah Perwitasari