tirto.id - “Suara kuwi raiso ilang. Aku ki percoyo, Simbah kakung disare’ke neng kono.” (Suara itu selalu terngiang-ngiang. Aku percaya, Simbah kakung dimakamkan di sana).
Kalimat lirih Mbah Sri mengawali perjalanannya mencari makam Prawiro Sahid—suaminya yang hilang ketika terjadi peristiwa Agresi Militer Belanda II pada 1948. Alasannya sederhana, ia ingin dikuburkan bersanding dengan makam suami tercinta saat meninggal kelak. Menyaksikan film ini, penonton diajak mengikuti perjalanan Mbah Sri, menemui satu demi satu harapan para lakonnya yang dihubungkan oleh tragedi masa lalu.
Mbah Sri, lakon utama film Ziarah ini diperankan dengan baik oleh Mbah Ponco Sutiyem. Ridla An-Nuur, Co-produser dan Bagus Suitrawan, Asisten Sutradara Film Ziarah menceritakan proses "penemuan" Mbah Ponco Sutiyem. Ketika BW Purba Negara mulai menulis skenario, sutradara muda ini sudah bertekad mencari sosok utama film Ziarah yang sudah berumur tua sekitar 90 tahun.
“Mas BW mencari pemain yang autentik, di mana garis muka dan keriputnya memang menunjukkan bahwa nenek ini memang pernah hidup di zaman perang,” jelas Ridla kepada Tirto.
Ridla bercerita bahwa terdapat banyak nenek yang dipresentasikan oleh Bagus, sang asisten sutradara kepada BW. Hingga akhirnya Pak Dukuh Pagerjurang (Gunungkidul), menawarkan Mbah Putrinya, Mbah Ponco Sutiyem.
“Mbah Ponco adalah pribadi yang suka menyenangkan orang lain, dia suka mendongeng, bahkan bisa sangat detail sekali dalam menceritakan masa lalunya. Ini salah satu alasan yang membuat kami mantab memilih Mbah Ponco Sutiyem,” jelas Bagus Suitrawan, kepada Tirto.
Keputusan sang sutradara tentu tak mudah, terutama soal mengarahkan nenek berusia 95 tahun yang tidak mempunyai latar belakang peran dan tidak mampu membaca. Tantangan ini diambil BW Purba Negara dan dieksekusinya dengan baik. Dalam video di media sosial film Ziarah, BW Purba Negara menjelaskan juga bagaimana ia mengarahkan Mbah Ponco selama proses pembuatan film.
BW menjelaskan bahwa metode utama yang ia pakai adalah metode menirukan. Mbah Ponco tidak memungkinkan membaca naskah, maka BW dan asistennya yang membacakan dialog dan kemudian ditirukan oleh Mbah Ponco. Di hari-hari pertama, asisten sutradara bertugas mengingatkan dialog dan di beberapa adegan tertentu memberi contoh langsung kepada Mbah Ponco. BW juga menyatakan bahwa metode tersebut cukup cepat untuk membuat akting Mbah Ponco naik drastis.
“Selanjutnya beliau sudah bisa berimprovisasi, bahkan bisa menambahkan akting-nya berdasarkan pengalaman-pengalamannya sendiri,” kata BW.
BW juga menjelaskan bahwa latihan ekspresi dilakukan dengan latihan berbagai macam pose di depan kamera, dengan berbagai kostum dan properti. Strategi ini efektif bisa membuat Mbah Ponco tampil lebih percaya diri di depan kamera. Itu semua dari sisi para kru mengelola tantangan film Ziarah, tapi bagaimana dengan Mbah Ponco dalam menghadapi tantangan ini? Mbah Ponco di usia yang sudah sepuh ini punya motivasi tersendiri menghadapi tantangan film Ziarah, hingga pembuatan ini .
“Aku main film ki mengko ben difoto terus mlebu tipi. Mengko ben anak, putu, buyut-buyutku iso ngerti simbahe koyo opo. Seko foto-foto kuwi,” kata Bagus menirukan Mbah Ponco Sutiyem.
(Saya main film itu biar difoto [difilmkan] dan bisa masuk televisi. Biar anak cucuku bisa tahu perihal simbahnya dulu itu seperti apa. Dari film tersebut.)
Apa yang menjadi ucapan Mbah Ponco membuat tim Ziarah semakin bersemangat untuk menyelesaikan film ini. “Mbah Ponco tidak hanya senang kami tawarkan main film. Dia yang membujuk kami menyelesaikan Ziarah,” tambah Bagus.
Apa yang menjadi semangat warga Dusun Batusari, Ngawen, Gunungkidul ini ditebus dengan penghargaan hingga level internasional.
Ziarah dan Sederet Penghargaan
Film Ziarah yang tayang di bioskop-bioskop mulai 18 Mei 2017, awalnya kali pertama diputar di Filipina, dalam ajang Salamindanaw Film Festival 2016. Dalam festival tersebut, Ziarah unggul sebagai film terbaik. Ziarah juga memenangkan Skenario Terbaik versi Majalah Tempo 2016. Ziarah tayang pertama di Indonesia pada 12th Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) 2016 di Yogyakarta dan selanjutnya tayang di komunitas-komunitas film, pusat-pusat kebudayaan dan layar alternatif lainnya.
Ziarah juga sempat jadi nominasi Penulis Skenario di Festival Film Indonesia 2016, nominasi Aktris Terbaik pada ASEAN International Film Festival and Awards (AIFFA) 2017, nominasi Sutradara Terbaik dan nominasi Film Terbaik pada ajang yang sama. Film ini juga masuk nominasi Film Terbaik dalam Apresiasi Film Indonesia 2016, dan masuk kompetisi Film di Jogja Netpac Asian Film Festival 2016.
Sosok Mbah Ponco, berkat peran apik dalam Ziarah, masuk nominasi sebagai aktris terbaik di ajang ASEAN International Film Festival and Awards (AIFFA) 2017. Akhirnya, film besutan sutradara BW Purba Negara ini berhasil membawa pulang dua penghargaan di ajang AIFFA. Film ini memenangkan kategori Best Screenplay dan Special Jury Award di malam penganugerahan AIFFA yang berlangsung di Hotel Pullman, Kuching Serawak, Malaysia, Sabtu (6/5/2017).
Dalam kategori Best Screenplay, Ziarah bersaing dengan 4 film, di antaranya adalah Solo,Solitude (Indonesia), Laut (Philippines), Imbisibol (Philippines), dan The Way Station (Vietnam). Sementara itu, untuk kategori Special Jury Award, tidak hanya Ziarah, film Indonesia yang mendapatkan penghargaan khusus dewan juri AIFFA, yaitu Solo, Solitude (Yosep Anggi Noen, Indonesia) yang juga terpilih mendapatkan penghargaan.
Pihak juri menyatakan bahwa penghargaan tersebut diberikan kepada Ziarah untuk penampilan Mbah Ponco Sutiyem, aktris utama di film ini, yang berakting sangat mengesankan.
“Kemenangan-kemenangan Ziarah setidaknya mampu membuat kami semakin yakin bahwa lokalitas adalah hal yang penting dalam sinema. Ziarah percaya pada kekuatan lokalitas. Percaya bahwa kisah yang sederhana, yang lokal, dengan bahasa lokal [bahasa Jawa], pun dapat menjadi kisah yang kuat,” kata Bagus.
Sosok Mbah Ponco yang berhasil menjadi nominator aktris terbaik di festival film internasional telah menjadi bukti bahwa panggung film itu milik semua orang. Semua orang punya kesempatan yang sama jika ia mau belajar. Ziarah telah membuktikan bahwa film Indonesia bisa dinikmati dengan melepas rumusan-rumusan populer.
Kepiawaian BW Purba Negara meracik film ini pun mendapat pujian dari sutradara lainnya, seperti Hanung Bramantyo. Dalam video yang ditayangkan di media sosial Film Ziarah, Hanung menyatakan bahwa BW adalah sosok sutradara yang harus ada dalam sinema Indonesia.
“Dia memiliki pilihan estetika yang menantang mainstream. Dia memotret suatu kehidupan yang kita tidak pernah menyangka bahwa kehidupan itu akan menjadi menarik. Salah satunya adalah film Ziarah ini. Menonton film-film BW seperti melihat dunia yang lain, kita tahu bahwa itu fiksi, tapi itu terlihat sangat nyata. Dan kita seperti dibuat hanyut dan percaya bahwa itu betulan ada,” kata Hanung Bramantyo.
Selain film "Ziarah" beberapa film Indonesia pernah mendapatkan penghargaan internasional di antaranya Siti (2014), Daun di Atas Bantal (1998), Atambua 39° Celcius (2012).
Mbah Ponco, BW Purba Negara, dan Ziarah tentu menjadi pecut bagi insan perfilman di Indonesia lainnya untuk membuat karya-karya yang lebih berkualitas.
Penulis: Yulaika Ramadhani
Editor: Suhendra