tirto.id - “Penghidupan sehari-hari, kehidupan sehari-hari
Antara kuli-kuli berdaki dan perempuan telanjang mandi
Di sungai kesayangan, o, kota kekasih
Klakson oto dan lonceng trem saing-menyaingi
Udara menekan berat di atas jalan panjang berkelokan”
Demikianlah jadinya kala seorang penyair meramu kata tentang Jakarta. Tapi, jangan bayangkan Jakarta hari ini. Kecuali klakson oto dan udara menekan berat yang masih setia, kini lonceng trem saing-menyaingi dan perempuan telanjang mandi di sungai kesayangan sudah lenyap.
Jakarta-nya si penyair adalah Jakarta era 1950-an. Jakarta yang baru saja bangkit dari luka-luka Revolusi dan mencoba berlari mengejar modernitas. Jakarta yang ditinggalkan tuan-tuan kolonial dan mulai diatur seturut hatinya tuan-tuan bumiputra.
Jakarta yang diakrabi si penyair adalah tempat gedung-gedung dan kepala mengabur dalam senja. Jalanannya, gedung-gedungnya, juga kampung-kampunya dipenuhilantang harap yang tak kunjung merendah. Kala hari beranjak senja, kali-kali Jakarta diributi anak-anak berenangan tertawa tak berdosa, di bawah bayangan samar istana kejang.
Si penyair mendapati kemerdekaan di Jakarta, juga cinta dan pusat kehidupan. Imaji romantis yang mendorong orang-orang desa mendatanginya. Namun, di Jakarta pula, dia bertemu dengan rupa-rupa kemalangan.
“Sekarang aku tahu
Kegairahan gugur di pusat kehidupan
...
Dunia yang luka dan terlantar
Dengan harap yang rusak keindahannya”
Di Jakarta, sendu terus lewat bersama malam yang mengalir. Di pelabuhannya, dia jumpai perempuan berlagu pilu bagi manusia berjiwa kuda. Tuan-tuan baru bangsa Indonesia rupanya tidak serta-merta mampu menegakkan cita-cita kemerdekaan. Kesejahteraan yang dijanjikan para bapak bangsa tetaplah jadi mimpi belaka.
Katanya lagi, hidup lebih keras dari batu. Yang terbit kemudian adalah kekecewaan dan kesadaran bahwa dirinya pun adalah bagian dari kemalangan itu. Tiada bedanya dia dari gadis peminta-minta, si miskin yang tersisih, para kelasi, atau tukang becak di pelabuhan.
Meski begitu, timbul pula keinsafan dalam diri si penyair pada akhirnya. Hidup hanyalah soal tertangkap sekali terlepas kembali. Juga katanya, sakit terkadang sejuk sekali. Penyair kita ini rupanya lebih sabar daripada Chairil Anwar yang sukanya meradang dan menerjang. Dia sadar, yang bisa dilakoninya adalah menerima nasib dengan sabar.
Dia percaya sumber-sumber murni menetap terpendam di Jakarta. Dan diakuinya pula, Jakarta adalah kota kediamanku, kota kerinduanku.
Nyanyian Sendu Jakarta
Penyair yang sedang kita bicarakan ini adalah Toto Sudarto Bachtiar. Dialah si penyair yang sajaknya, yaitu “Pahlawan Tak Dikenal” dan “Gadis Peminta-minta”, sering muncul di buku pelajaran bahasa Indonesia dan dibawakan dalam lomba-lomba deklamasi. Duet folk AriReda pun pernah menggubah “Gadis Peminta-minta” menjadi sebuah lagu.
Toto yang lahir di Cirebon pada 12 Oktober 1929 ini menerbitkan puisi-puisinya di awal dekade 1950-an. Pada masanya, menurut kritikus Maman S. Mahayana dalam Akar Melayu: Sistem Sastra dan Konflik Ideologi di Indonesia dan Malaysia (2001), Toto termasuk penyair yang produktif. Sepanjang dekade, setidaknya 126 puisinya terbit di berbagai media.
Namun, sepanjang hayatnya, Toto hanya menerbitkan dua buah antologi. Suara, antologinya yang pertama, terbit pada 1956. Dua tahun kemudian, antologinya yang kedua terbit dengan judul Etsa.
Sebagai penyair, kualitas Toto kerap disandingkan dengan penyair lain yang juga lahir pada dasawarsa itu, W.S. Rendra dan Ajip Rosidi. Ketiganya juga punya kecenderungan yang sama dalam menyelami kehidupan rakyat kecil.
“Toto Sudarto Bachtiar, teristimewa dalam Suara memperlihatkan pengalamannya dalam memandang kehidupan rakyat kecil. Kegetiran seorang tukang becak (‘Kereta Mati’), pengemis, (‘Gadis Peminta-minta’) atau pejuang yang mati muda (‘Pahlawan tak Dikenal’). Dalam Etsa, Toto lebih banyak mengungkapkan kehidupan yang dialaminya sebagai sebuah kontemplasi, penghayatan, dan perenungan mendalam yang kemudian dikembalikan pada pengalaman dirinya,” tulis Maman (hlm. 112).
Sementara itu, Sapardi Djoko Damono menyebut sajak-sajak Toto adalah pengembangan dari gaya ungkap yang dibangun oleh Chairil Anwar. Bedanya, Toto bukanlah penggugat yang penuh vitalitas seperti Chairil. Bait-bait ciptaan Toto, lebih cocok jika disebut sebagai nyanyian.
“Toto tetap mempertahankan simpatinya kepada kaum papa—tanpa kemarahan kepada siapa pun, dalam bait-bait yang rapi. Ia pun sempat menyanyikan puji-pujian kepada kemerdekaan dan kepahlawanan. Dan semua itu lebih berupa nyanyian, bukan gugatan atau ratapan,” tulis Sapardi dalam tinjauannya yang terbit di harian Kompas (21 Oktober 2007).
Jika puisi Toto serupa nyanyian, ia adalah nyanyian yang sendu. Sebagaimana telah kita lihat di muka, sajak-sajak Toto sering kali mengungkapkan dunia batinnya yang murung dan pesimistis. Nuansa itu makin kental lewat diksi-diksinya yang mengarah pada kesenduan itu: malam, derita, luka, sepi, sunyi, beku.
Simaklah bagaimana diksi-diksi bernuansa sendu itu muncul bertubi-tubi dalam bait pertama puisi “Limas” dari antologi Suara.
“Kuharap tangan nasib mengulurke kemahku
Dunia malam yang lebam biru
Luka dan terbuka
Bagai gerhana”
Atau dalam puisi “Ancaman”, kala Toto berpasrah diri menerima derita.
“Kehidupan kosong terhisap bayang sempurna
Paras gurun yang hampa jiwa
Namun mengancam
Aku kecut dan tinggal terancam”
Sekali waktu, muncul juga ketegaran dalam puisi Toto. Dalam puisi “Malam Laut” dia berkata: Karena laut tak pernah takluk, lautlah aku. Lalu dalam sajak “Dunia Bisik”, Toto memunculkan ungkapan hidup menantang ancaman. Tapi, tetap saja, di akhir puisi itu terbit pula ungkapan diri yang terbuka bagi segala putus asa yang kekal/tanpa berakhir tanpa penyerahan.
Sebagaimana disebut Subagio Sastrowardoyo dalam Sosok Pribadi dalam Sajak (2000), penyerahan diri dan kesabaran menghadapi derita memang jadi sikap dasar yang melatari sajak-sajak Toto. Jakarta dengan segala kerudinan dan kemiskinan yang melingkupinya adalah hulu dari sajak-sajak sendu itu.
“Pada Kota Jakarta, Toto telah menemukan semacam mitos yang memberikan bahan serta saluran pengungkapan dunia batin sendiri. [...] Sebagai mitos, Jakarta adalah dia, Toto,” tulis Subagio (hlm. 139).
Toto pun mengakui hal itu dalam beberapa puisinya. Katanya dalam puisi “Suara”, Sedang kubuat lagi jelaga diri semesta/Di lorong-lorong kelam kotaku Jakarta.Di ibu kota Indonesia itu, Toto menemukan dirinya tiada beda dari rakyat kelas bawah yang terluput dari takdir dan jalan besar (“Kepada si Miskin”).
Lantas, mengapa Toto memilih sendunya kehidupan masyarakat miskin kota sebagai sumber inspirasi menulis puisi?
“Sumber inspirasi yang paling kaya itu adalah rakyat. [...] Prinsip saya, kalau sajak itu bisa ikut menyenandungkan kesedihan rakyat yang tersedu, ini akan mempengaruhi yang lain yang tidak merasakannya,” tutur Toto kepada Kompas(23 Mei 1982).
Menghilang
Kecemerlangan Toto sebagai penyair tampak sejak 1951, kala sajaknya yang berjudul “Ibukota Senja” terbit. Namanya semakin moncer setelah antologi Suara terbit. Terlebih, sebut Muhammad Nafi dalam “Pulangnya Sang Penyair Senja” yang terbit di Tempo (22 Oktober 2007), antologi itu diganjar Hadiah Sastra Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN) setahun kemudian.
Puisi yang secara khusus memotret Kota Jakarta itu menjadi terkenal sampai jauh setelah itu. Bahkan, ia sempat disebut “ikon” Jakarta. Anehnya, Toto tiba-tiba “menghilang” dari belantara kepenyairan usai antologi Etsa terbit. Dia memang sempat menerbitkan beberapa sajak lagi melalui mingguan Mahasiswa Indonesia pada 1967, tapi setelah itu dia seakan lenyap.
Subagio menduga Toto sedang kekeringan sumber ilham. Namun, dugaan itu jadi janggal mengingat Toto vakum sampai lebih dari sepuluh tahun.
“Apakah akan kita saksikan gejala yang sama seperti pada Paul Valery, yang telah lebih kurang dua puluh tahun membungkam, mulai lagi menyajak dengan gagasan yang lebih rumit?” tulis Subagio (hlm. 154).
Toto sendiri baru buka suara pada 1982. Dugaan Subagio ternyata meleset sebagian. Sepengakuannya, Toto tidak merasa kekeringan ilham menulis, tapi agaknya dia memang sedang mempersiapkan suatu karya yang “lebih rumit”.
“Saya bukannya berhenti menyajak. Juga bukan kekeringan sumber ilham. Saya terus menulis sajak, tapi tentunya bukan seperti dulu lagi. Saya merasa sudah tua dan merasa sudah waktunya membuat suatu manifestasi yang lengkap. Inilah yang belum saya temukan waktunya,” tutur Toto sebagaimana dikutip harian Kompas (23 Mei 1982).
Di masa kekosongan itu, Toto tampaknya memang lebih sibuk dari sebelumnya. Pada 1964, dia turut merintis penerbitan majalah Sunda di Bandung. Lalu, dia juga dikabarkan menjadi Ketua Dewan Pertimbangan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat. Lain itu, Toto rupanya menekuni dunia penerjemahan karya sastra dunia.
“Dari tangannya mengalir karya terjemahan Pelacur (Jean Paul Sartre), Pusaran (Tennessee Williams), Sulaiman yang Agung (Harold Lamb), Bunglon (Anton P. Chekov), Pertempuran Penghabisan (Ernest Hemingway), Sanyasi (Rabindranath Tagore)-antara lain,” tulis Muhammad Nafi.
Yang agaknya tak terduga, di tengah segala kesubukan “artistik” itu, Toto masih menyempatkan dirinya menjadi pelatih tenis dan penyuluh sukarela. Tiap Rabu, Jumat, dan Minggu, Toto meluangkan waktunya melatih tenis di Kompleks Departemen P dan K di Buahbatu, Bandung. Entah dia memang seorang yang ikhlas atau merasa waktunya begitu luang, Toto melakukan itu semua tanpa dibayar.
“Anda belum merasakan suatu kebahagiaan yang pernah saya alami selama mengasuh mereka,” katanya.
Dia juga tidak setengah-setengah kala jadi penyuluh “segala urusan” di Kecamatan Cisaga, Ciamis. Dia punya pertalian khusus dengan daerah itu karena ayahnya dulu adalah camat di sana. Di Cisaga, Toto bikin proyek perikanan air deras dan perikanan sawah.
Katanya, Toto ingin sekali lagi menggali inspirasi dari rakyat melalui kegitan-kegiatan itu. Pengalaman itu nantinya bakal dia tuangkan dalam karya barunya. Kala ditanya kapan kiranya karya baru itu akan terbit, Toto tak bisa memastikan.
“Belum tahu lagi,” katanya. “Saya masih memerlukan beberapa lama lagi untuk menyelesaikan itu,” ujarnya.
Namun, karya baru yang dijanjikannya itu ternyata tak pernah rampung hingga ajal menjemputnya pada 9 Oktober 2007—tepat hari ini 14 tahun lalu.
Editor: Irfan Teguh Pribadi