Menuju konten utama

Kesaksian Warga soal Kondisi Mencekam Usai Bentrok di Empat Lawang

Sebagian masyarakat di sekitar lokasi bentrok warga dengan polisi di Kabupaten Empat Lawang, hingga kini masih melarikan diri ke hutan karena ketakutan.

Kesaksian Warga soal Kondisi Mencekam Usai Bentrok di Empat Lawang
Agus Suryo menunjukan foto warga yang menderita luka tembak di bagian perut akibat bentrokan yang terjadi di Empat Lawang, Sumatera Selatan pada 31 Juli 2019. tirto.id/Alfian Putra Abdi

tirto.id - Seorang warga asal Kabupaten Empat Lawang, Sumatera Selatan, Agus Suryo (52) memberikan kesaksian soal situasi di daerah lokasi bentrok antara polisi dan massa pada 31 Juli 2019 lalu.

Menurut Agus, hingga hampir sebulan setelah bentrok antara warga dengan polisi terjadi di Desa Tanjung Raman, Pendopo Lintang, Empat Lawang, masyarakat di sekitar lokasi kejadian masih menghadapi situasi mencekam.

Akibatnya, kata dia, banyak warga di desa itu tidak nyaman tinggal di rumahnya dan memutuskan melarikan diri ke hutan.

"Polisi mau menangkap orang-orang yang mau besuk pasien. Makanya masyarakat ketakutan," ujar Agus usai konferensi pers di kantor KontraS, Jakarta Pusat, Selasa (27/8/2019).

Bentrok antara warga dengan polisi terjadi di Desa Tanjung Raman pada Rabu (31/7/2019) lalu. Insiden itu semula melibatkan warga dan 4 polisi dari Polsek Ulu Musi.

Agus mengatakan, akibat bentrokan itu, 3 warga mengalami luka tembak sehingga harus dirawat di RSUD Tebing Tinggi, Empat Lawang.

Beberapa warga yang hendak membesuk ketiganya, menurut Agus, sempat diadang oleh polisi dan konflik pun pecah kembali. Bentrokan lanjutan itu mengakibatkan 12 warga menderita luka luka.

Kata Agus, kejadian itu membuat sebagian warga melarikan diri ke hutan. Mereka ketakutan sebab dituding hendak melakukan demonstrasi besar-besaran dan akan ditangkap kepolisian.

Agus tidak menyebut jumlah pasti warga yang melarikan diri ke hutan. Menurut dia, jumlah warga yang melarikan diri ke hutan sekitar belasan orang dan sebagian besar laki-laki. Sedangkan warga perempuan dan anak-anak berlindung di tempat lain yang menurut mereka aman.

"Sudah hari ke-28 [usai bentrok] saat ini, masyarakat masih belum berani kembali beraktivitas bertani, karena masih belum kondusif. Masyarakat khususnya anak-anak tidak bisa sekolah," kata Agus.

Masyarakat yang mayoritas bertani kopi, merica, dan kemiri itu pun, kata Agus, harus merelakan kebun garapan mereka kosong. Dampak lainnya, kebun mereka menjadi sasaran pencurian.

"Kami berharap agar masyarakat bisa dilindungi keamanannnya, bukan malah diburu seperti di medan perang," ujar Agus.

Oleh karena itu, Agus meminta aparat mengedepankan proses pemulihan pascakonflik secara baik-baik dan tidak represif.

Agus menegaskan warga tidak berniat melakukan demonstrasi. Dia juga mengklarifikasi perihal kebiasaan warga membawa pisau. Menurut Agus, warga membawa pisau bukan untuk melawan aparat, melainkan merupakan budaya lokal setempat.

"Kami terbiasa membawa pisau ke mana-mana karena itu budaya kami. Bahkan saat pernikahan, maharnya saja pisau," kata Agus.

Awal Agustus lalu, kepolisian mengumumkan sudah menetapkan 16 tersangka terkait bentrokan warga dengan polisi di Desa Tanjung Raman, Pendopo Lintang, Empat Lawang.

Karopenmas Mabes Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo menerangkan Polda Sumatera Selatan masih memburu orang yang diduga menjadi provokator bentrokan tersebut.

"Kami imbau segera menyerahkan diri. Tapi, kami tetap melakukan pengejaran terhadap yang bersangkutan," kata Dedi di Mabes Polri, Jakarta pada Kamis (1/8/2019) lalu.

Berdasar indormasi versi kepolisian, bentrokan terjadi karena warga tidak rela rekannya dicari oleh anggota Polsek Ulu Musi terkait kasus pengancaman terhadap pengurus LSM setempat.

Baca juga artikel terkait BENTROK WARGA DAN POLISI atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Hukum
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Addi M Idhom