tirto.id - Dugaan suap perizinan proyek Meikarta dan reklamasi Jakarta yang terkuak belum lama ini menegaskan masalah perizinan sebagai zona merah dari potensi tindakan korupsi. Selain potensi penyimpangan, perizinan menentukan daya saing dan kemudahan berusaha.
Laporan Ease Of Doing Business (EoDB) 2018 yang dirilis Bank Dunia mencatat kemudahan berbisnis Indonesia masih di peringkat ke-72. Peringkat kemudahan berbisnis Indonesia memang trennya merangkak naik. Pada 2015, di posisi ke-114,naik menjadi peringkat ke-109 pada 2016, peringkat ke-91 pada tahun lalu.
Di Jakarta misalnya, proses mendapatkan izin pembangunan gedung tinggi tidak mudah, berliku, prosesnya yang kompleks. Menurut Jakarta Property Institutes (JPI), terdapat empat hal yang membuat proses perizinan gedung tinggi di Jakarta dinilai kompleks, regulasi, jumlah Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang terlibat, waktu tempuh, dan biaya yang harus ditanggung.
JPI mencatat untuk membangun sebuah gedung bertingkat di Jakarta, para pengembang diwajibkan untuk mengikuti sedikitnya 39 peraturan, terdiri dari tujuh UU, delapan PP, tujuh peraturan menteri, dua keputusan menteri, enam peraturan daerah dan sembilan peraturan gubernur.
Selain itu, jumlah SKPD yang terlibat dalam izin gedung tinggi cukup banyak, mencakup tujuh SKPD, mulai dari Badan Pertanahan Nasional (BPN); Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah. Juga ada Dinas Lingkungan Hidup; Dinas Perhubungan; Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan; Dinas Cipta Karya, Tata Ruang dan Pertanahan; dan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu.
Banyaknya aturan yang harus dipatuhi dan SKPD yang terlibat membuat proses perizinan pembangunan gedung tinggi menjadi panjang. Berdasarkan studi JPI, untuk pengurusan izin gedung setinggi di atas 8 lantai dengan luas di atas 5.000 meter persegi di Jakarta, sedikitnya butuh waktu 21 bulan.
Proses perizinan bangunan tersebut terbilang cukup lama jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Di Ho Chi Minh City, Vietnam misalnya, proses izin pembangunan dipatok maksimal 12 bulan. Proses perizinan pembangunan di Jakarta juga kalah ketimbang di Kuala Lumpur, Malaysia yang kurang dari enam bulan. Waktu pengurusan izin gedung tinggi di Jakarta lebih lama tiga kali lipat dari target yang ingin dikejar Pemprov DKI Jakarta pada tahun ini, yakni 6 bulan.
Saat Sandiaga Uno masih menjabat sebagai wakil gubernur DKI Jakarta, JPI pernah menyampaikan masalah ini. Kala itu, Sandi tak menampik ihwal lamanya izin pembangunan gedung di Jakarta. "Salah satu keinginan kita untuk memangkas hari perizinan yang biasanya bisa memakan waktu selama 2 tahun lebih," kata Sandi pada Maret 2018 lalu.
Proses perizinan pembangunan gedung di Jakarta terbilang mahal. Menurut JPI mengutip Bank Dunia, biaya yang dikeluarkan sekitar Rp115 juta atau setara dengan US$7.600. Angka terbilang mahal ketimbang negara-negara tetangga. Di Ho Chi Minh City, biaya perizinan bangunan hanya sekitar 16,21 juta dong Vietnam atau setara dengan US$696. Biaya perizinan bangunan di Kuala Lumpur sekitar 26.513 ringgit Malaysia atau setara dengan US$6.377.
“Pelaku bisnis pun akhirnya merugi dengan ketidakpastian bisnis yang diciptakan dari biaya tambahan, sehingga terpaksa dibebankan kepada konsumen,” kata Wendy Haryanto, Direktur Eksekutif JPI kepada Tirto.
Respons Pemprov DKI Jakarta
Pemprov DKI Jakarta membantah laporan yang dirilis oleh JPI terutama soal temuan lamanya waktu perizinan gedung tinggi di Jakarta sampai 21 bulan. Menurut catatan PTSP DKI Jakarta, rata-rata waktu proses perizinan gedung tinggi saat ini hanya 8-9 bulan.
“Saya enggak tahu bagaimana hitungan JPI itu, kok bisa sampai 21 bulan. Hitungnya mulai dari kapan juga enggak jelas,” kata Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu DKI Jakarta Edy Junaedi kepada Tirto.
Eddy menduga lama proses perizinan gedung tinggi sampai dengan 21 bulan seperti yang menjadi laporan JPI karena memasukkan waktu perbaikan dari konsultan atau pengembang. Selama ini, dalam proses izin mendirikan gedung, tidak tertutup kemungkinan pengembang bisa berkali-kali melakukan perbaikan sebelum izin terbit.
Lama tidaknya perbaikan tentu tergantung dari pengembang atau konsultan masing-masing. Ada yang sampai memakan waktu hingga 4-5 bulan, ada juga pengembang yang bisa sampai dengan tahunan. “Kalau sudah begini, ini di luar kapasitas kami. Kalau itu dimasukkan [21 bulan], enggak fair dong. Saya berani adu data dengan JPI. Banyak kok pengembang yang bisa tuntas 8-9 bulan,” jelas Edy.
Menurut Edy, proses izin mendirikan gedung tidak seperti memberikan izin mendirikan ruko atau rumah. Banyak aspek yang menjadi pertimbangan, terutama terkait keselamatan. Untuk itu, komponen-komponen yang disyaratkan wajib dilengkapi pengembang.
Oleh karena itu, pengembang diminta untuk dapat mencari konsultan yang kompeten saat memenuhi persyaratan perizinan mendirikan gedung. Hal ini diperlukan untuk meminimalisir kekurangan dalam proses perizinan tersebut, sehingga proses perizinan tidak berlarut-larut.
Pemprov DKI Jakarta bahkan berencana merevisi Peraturan Gubernur No. 129/2012 tentang tata cara pemberian pelayanan di bidang perizinan bangunan. Pada revisi tersebut, nantinya pengembang wajib menggunakan konsultan tersertifikasi.
“Sertifikasinya itu dari kami. Jadi diharapkan, konsultan yang membantu pengembang dalam izin mendirikan gedung tinggi itu benar-benar kompeten agar kami tidak lagi dibilang proses perizinan di Jakarta itu lama,” jelas Edy.
Apa yang jadi temuan JPI maupun sanggahan Pemprov DKI Jakarta tetap perlu jadi perhatian di tengah maraknya kasus suap perizinan properti yang belakangan ini mencuat ke publik. DKI Jakarta sebagai ibu kota tentu tak pantas jadi contoh buruk bagi provinsi lainnya.
Editor: Suhendra