Menuju konten utama

Gedung Perkantoran di Jakarta Makin Banyak yang Kosong

Kenaikan pasokan di tengah permintaan yang masih lesu menekan harga sewa ruang perkantoran di Jakarta.

Gedung Perkantoran di Jakarta Makin Banyak yang Kosong
Gedung perkantoran di sepanjang kawasan MH. Thamrin, Jakarta Pusat. ANTARA/Reno Esnir

tirto.id - Saat pasokan rumah masih jauh dari cukup, DKI Jakarta justru mengalami kelebihan pasokan ruang perkantoran. Konsultan dan riset properti Savills mengungkapkan, tahun ini dan tahun depan akan semakin banyak ruang perkantoran yang tak tersewa alias kosong.

Pada kuartal I-2018, tingkat kekosongan (vacancy) di area pusat bisnis atau central business district (CBD) mencapai 22,2%. Angka ini meningkat dari data kuartal terakhir 2017 yang sebesar 21,5%. Vacancy paling besar terjadi di kelas premium dan kelas A, masing-masing 30,7% dan 20,7%. Sementara kelas B dan C masing-masing 15,9% dan 13,9%.

Penyebabnya, peningkatan pasokan yang tajam pada periode tersebut ternyata tidak disertai dengan peningkatan permintaan sewa yang signifikan. Kondisi over supply ini diperkirakan semakin parah pada tahun depan. “Vacancy bisa mencapai 27%-28%,” ujar Anton Sitorus, Direktur Savills Research & Consultancy.

Pada kuartal pertama 2018, dua gedung perkantoran di kawasan CBD selesai dibangun, yakni Astra Tower dan Office One. Dua gedung baru ini menambah pasokan ruang perkantoran sekitar 85.000 meter persegi (m2). Alhasil, total pasokan ruang perkantoran di kawasan segitiga emas Sudirman-Gatot Subroto-Kuningan menjadi 6,05 juta m2.

Namun, pada saat yang sama, penambahan ruang tersewa bersih (net take-up) hanya sekitar 21.000 m2. Anton menjelaskan, beberapa perusahaan tidak melanjutkan kontrak sewa ruang, terutama di gedung kelas B dan C. Kebanyakan penyewa (tenant) berpindah ke gedung kelas A atau premium. Pasokan segmen ini memang mendominasi pasar saat ini, yakni mencapai 38%.

Pasokan Berlebih, Harga Tertekan

Pergeseran minat tenant dari gedung kantor kelas menengah ke kelas A dan premium tersebut tidak serta merta mencerminkan kondisi perekonomian melejit atau kinerja keuangan para tenant membaik. Penurunan harga sewa kantor kelas premium dan A menjadi pendorong utamanya.

Berdasarkan data yang dikumpulkan Savills, rata-rata harga sewa ruang perkantoran per bulan di CBD Jakarta turun 0,5% menjadi Rp 205.000 per m2. Sejak akhir tahun lalu, harga sewa kantor kelas A sudah sama dengan sewa kantor kualitas B. Berturut-turut, dari Rp 211.000 pada 2017 dan Rp 210.000 pada kuartal I. Memang relatif stabil. Tapi, jika dibandingkan tahun 2016, biaya sewa ini sudah turun 9,09%.

Harga sewa kelas premium bahkan sudah di bawah kelas B dan C alias paling murah. Di kuartal I lalu, harga sewanya pun terpangkas paling banyak, yakni dari Rp 179.000 pada akhir 2017 menjadi Rp 175.000, atau turun 2,23%. Padahal, secara lokasi, kualitas material bangunan dan fasilitas, kelas ini paling bagus. Contoh gedung kantor kelas ini, antara lain Wisma Mulia, Menara BCA, dan Sentral Senayan.

Sebenarnya, tren penurunan harga sewa ini muncul sejak 2014. Penurunan harga sewa terjadi di semua segmen, kecuali kantor kelas C. Sewa segmen ini relatif stabil, bahkan sedikit naik dari Rp 198.000 menjadi Rp 199.000.

Tekanan pada harga sewa diperkirakan berlanjut hingga akhir tahun depan. Sebab, banyak pasokan baru masuk ke pasaran. Sementara, tahun pemilihan umum 2019 dan pertumbuhan ekonomi yang belum terlalu kuat membuat perusahaan-perusahaan cenderung mengerem ekspansi. “Kami perkirakan, tekanan harga sewa akan mencapai bottom pada 2019, sebelum mulai pickingup di tahun 2020,” ujar Anton.

Prediksi Savills, tahun ini harga kantor premium akan mencapai Rp 169.000 sebelum turun 4,14% ke Rp 162.000 pada 2019. Sementara, berturut-turut pada 2018 dan 2019, harga kelas A akan turun 4,85% dari Rp 206.000 dan Rp 196.000. Kelas B turun 5,31%, dari Rp 207.000 menjadi Rp 196.000. Kelas C turun 7,14%, dari Rp Rp 196.000 ke Rp 182.000.

Sampai akhir tahun depan, total take-up ruang perkantoran di CBD Jakarta diperkirakan hanya 400.000 m2. Sementara, pasokan akan bertambah sekitar 1,1 juta m2, di mana 625.000 m2 masuk tahun ini. Setelah itu, penambahan pasokan baru hingga 2021 hanya sekitar 600.000 m2. Dari total 1,7 juta m2 pasokan baru ini, 53% merupakan bangunan kelas A dan 41% kelas premium. Selebihnya atau 6% merupakan kelas B.

Di luar CBD, pasokan gedung perkantoran sebenarnya tidak sampai setengah jumlah pasokan di jantung bisnis Jakarta, yakni sekitar 2,7 juta m2. Namun, kondisi oversupply pun tidak terhindarkan. Kendati tidak ada pasokan baru pada kuartal I-2018, tingkat kekosongannya masih sebesar 22,8%.

Memang, rasio tersebut sedikit membaik ketimbang kondisi akhir 2017, di mana vacancy mencapai 24,2%. Namun, menurut prediksi Savills, angka vacancy ini akan kembali naik menjadi sekitar 28% pada 2019.

Sama seperti area CBD, pemicunya tak lain adalah peningkatan pasokan yang tidak berimbang dengan permintaan. Hingga akhir 2021, diperkirakan masuk stok baru sekitar 690.000 m2. Sebagian besar di antaranya, masuk pada tahun ini dan tahun depan. Masing-masing sekitar 310.000 m2 dan 240.000 m2.

Soal harga, sementara ini, sewa di kawasan non-CBD relatif stabil, di kisaran Rp 127.000 per m2 per bulan. Namun, sama seperti kawasan CBD, harga sewa diperkirakan tertekan hingga akhir 2019.

Infografik nasib gedung gedung di jakarta

Setara 93.200 Unit Studio

Pasokan ruang perkantoran yang melimpah ruah tersebut terasa ironis apabila dibandingkan dengan jumlah warga Jakarta yang belum memiliki tempat tinggal. Diperkirakan, sekitar 49% penduduk Jakarta belum memiliki rumah.

“Dari sekitar 200.000 permintaan rumah di Jakarta, hanya seperempat yang bisa dibangun,” kata Anton. Dari yang terbangun itu pun, harganya seringkali sulit dijangkau oleh masyarakat kelas menengah bawah. Kondisi ini membuat backlog atau akumulasi kekurangan pengadaan rumah terus bertambah.

Jika dihitung, ruang perkantoran yang kosong di kawasan CBD Jakarta mencapai sekitar 1,343 juta m2. Adapun, di kawasan non-CBD, luasannya mencapai 615.600 m2. Total jenderal, ruang kosong di gedung perkantoran Jakarta sekitar 1,96 juta m2. Ruang seluas ini setara dengan 93.217 unit apartemen tipe studio atau 21 m2.

Sementara, berdasarkan proyeksi penawaran dan permintaan 2019, ruang perkantoran yang kosong akan mencapai 1,906 juta m2 di CBD dan 949.200 m2 di luar CBD. Total, 2,855 juta atau sekitar 135.952 unit apartemen tipe studio.

Tentu saja, ruang perkantoran tersebut tidak bisa diubah fungsinya menjadi residensial. Alhasil, untuk sementara waktu, ruang tak tersewa tersebut akan menjadi beban bagi para pemilik gedung. Kompetisi untuk mendapatkan penyewa akan semakin ketat. Sebab, pemilik gedung tak bisa lagi mengandalkan penyewa tradisional, seperti perbankan atau perusahaan dari sektor pertambangan dan energi.

Seiring dengan tren perusahaan keuangan berbasis teknologi digital atau financial technology (fintech), banyak pos pekerjaan di perbankan digantikan dengan sistem algoritma atau artificial intelligence. Imbasnya, pegawai perbankan bisa dikurangi sehingga perbankan tak perlu menambah ruang kantornya. Sementara, perusahaan di sektor tambang dan energi masih belum pulih benar dari hantaman kejatuhan harga komoditas dalam beberapa tahun terakhir.

Belakangan, kenaikan permintaan justru berasal dari perusahaan-perusahaan berbasis teknologi digital, terutama e-commerce. Tahun-tahun mendatang, tren ini diperkirakan akan meningkat. Di pusat bisnis, permintaan akan datang dari perusahaan teknologi yang sudah mapan atau baru mendapatkan suntikan investasi besar. Di luar CBD, perusahaan teknologi yang baru berkembang akan menjadi pasar yang tak kalah potensial. “Ini menjadi tren baru,” tutur Anton.

Jika sesuai dengan ekspektasi, pasar ruang perkantoran di Jakarta akan kembali menggeliat pada tahun 2020. “Pada tahun 2021, akan tercapai ekuilibrium antara pasokan dan permintaan,” Anton berharap.

Baca juga artikel terkait PROPERTI atau tulisan lainnya dari Asih Kirana Wardani

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Asih Kirana Wardani
Penulis: Asih Kirana Wardani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti