tirto.id - Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) merealisasikan niatan menunda Piala Indonesia dan menyelipkan turnamen pramusim Piala Presiden 2019 dalam agenda musim ini.
Kepastian tersebut menyusul pernyataan Wakil Ketua Umum PSSI, Iwan Budianto yang menyebut federasi menjadwalkan Piala Presiden pada 2 Maret hingga 13 April 2019.
"Jadi, kami sudah berkoordinasi dengan teman-teman sponsor dan klub Liga 1, Piala Presiden tetap kami gelar," kata Iwan.
Ia menambahkan jika babak delapan besar Piala Indonesia yang seharusnya berlangsung pada 24 Februari hingga 2 Maret bakal ditunda sampai pertengahan Mei, untuk 'memberi ruang' buat Piala Presiden.
Sikap ini membuat PSSI seperti menelan ludah sendiri. Sebelum pergantian tahun, mereka menegaskan akan menunda Liga 1 2019 jadi bulan Mei karena ingin menghormati pilpres yang prosesnya berlangsung sampai pertengahan April.
Namun, pada akhirnya sikap 'menghormati' itu tidak dimiliki oleh Piala Presiden 2019 yang sebenarnya bukan turnamen resmi dari federasi.
Potensi Kepentingan
Koordinator Save Our Soccer (SOS), Akmal Marhali menilai langkah PSSI memadatkan musim dengan lebih banyak kompetisi mengindikasikan dua misi besar. Ada kesan PSSI berupaya mendistorsi penyelidikan Satgas Antimafia Bola terhadap keterlibatan mereka dalam kasus dugaan pengaturan skor, apalagi baru-baru ini kantor mereka digeledah aparat.
"Jadwal tidak teratur ini bisa mengganggu kinerja Satgas, semisal saat melakukan OTT terhadap PSSI. Bahwa ini bisa saja di dalamnya PSSI masuk untuk melakukan lobi-lobi tingkat tinggi," kata Akmal saat dihubungi reporter Tirto, Minggu (3/2/2019) petang.
Selain potensi kepentingan itu, ia menilai PSSI semakin menegaskan orientasi mereka ke ranah bisnis, terlebih turnamen Piala Presiden sebenarnya bukan hajatan yang jadi kewajiban federasi. PSSI sebenarnya lebih punya kewajiban memprioritaskan kompetisi resminya, seperti Piala Indonesia dan Liga 1 agar tidak molor.
Akmal berkata, "PSSI melihat potensi uang besar yang ada di dalamnya [Piala Presiden], sehingga mereka memaksa untuk memundurkan Piala Indonesia untuk melaksanakan [Piala Presiden] ini."
"Ini juga menunjukkan bahwa usaha mereka untuk melakukan reformasi sepak bola itu gagal," imbuhnya.
Kepentingan bisnis yang disebut Akmal mengarah pada pernyataan Iwan Budianto pekan lalu. Di hadapan media, Iwan sempat terang-terangan menyebut jika Piala Presiden merupakan keinginan sponsor.
"Dulu itu, awalnya Piala Presiden tidak terjadwalkan tahun 2019. Tetapi kemudian sponsor ingin ada kesinambungan dengan tahun sebelumnya, maka Piala Indonesia mengalah di Maret yang harusnya sudah masuk babak 16 besar," kata Iwan sebagaimana dilansir Goal.
Sementara itu, pengamat sepak bola sekaligus jurnalis olah raga Budiarto Shambazy menyayangkan sikap PSSI yang luluh dengan sponsor.
Sponsor memang penting dalam sebuah kompetisi. Namun, kata Budiarto, PSSI seharusnya berani melobi sponsor agar tetap bisa menjadikan kewajibannya--dalam hal ini adalah Piala Indonesia--sebagai agenda prioritas.
"PSSI tetap punya hak [lobi kepada sponsor]," ujar Budiarto kepada reporter Tirto.
Ia lantas mempertanyakan sikap PSSI yang menjadikan Pilpres sebagai alasan untuk merombak jadwal kompetisi yang ada. Menurut Budiarto, sikap ini membuktikan betapa tidak konsistennya PSSI.
"Enggak konsisten. Yang penting [Piala Indonesia dan Liga 1] malah ditunda. Harusnya terus saja, enggak ada kaitannya sama Pilpres. Normal saja, semua begitu kok di dunia ini. Jadwal kompetisi enggakbisa diganggu oleh pesta demokrasi. Harus jalan terus," imbuhnya.
Klub Terikat Situasi dan Tradisi
Pada sisi lain, klub tak punya pilihan kecuali berpartisipasi dalam turnamen yang disediakan PSSI. Mundur untuk tak mengikuti kompetisi--termasuk pramusim--jelas bukan pilihan. Apalagi, nyaris seluruh klub divisi teratas sudah menetapkan komposisi pemain dan menggaji mereka, meski kompetisi (Liga 1) baru akan bergulir per awal Mei.
Dengan situasi itu, karena toh sama-sama membayar jasa pemain, mereka jelas lebih senang andai ada kompetisi, ketimbang membuang-buang anggaran tanpa ada pertandingan yang harus dijalani.
Arema FC misalnya. Klub yang bermarkas di Stadion Kanjuruhan, Malang itu bahkan langsung mengungkapkan kesiapannya jika ditunjuk sebagai tuan rumah fase grup Piala Presiden seperti musim lalu.
"Jika ada penunjukan, apa pun tugas yang diberikan kepada kami, ya siap, kami selalu berusaha menangani dengan baik. Karena kami juga sudah memiliki pengalaman menggelar event nasional di Stadion Kanjuruhan," kata Ketua Panpel Arema FC, Abdul Haris.
Klub lainnya, Persib Bandung menegaskan niatan serupa. Mereka tak mau mengubah tradisi untuk meramaikan turnamen pramusim tersebut sebagaimana tahun-tahun sebelumnya.
"Ikut, pasti ikut. Kalau dari kebijakan tim biasanya setiap tahunnya Piala Presiden pasti ikut memeriahkan," kata Media Officer Persib, Irfan Suryadireja kepada reporter Tirto, Minggu (3/2/2019) petang.
Meski sudah memastikan ikut, Irfan mengaku hingga kemarin, mereka belum menerima undangan resmi dari PSSI. Ia hanya mendengar Piala Presiden akan dihelat 2 Maret dari sebaran-sebaran media cetak maupun daring.
"Saya baru dengar dari media soal jadwal itu," ungkapnya.
Senada dengan Persib, klub promosi PSS Sleman baru mendengar rencana dihelatnya Piala Presiden pada awal Maret dari pernyataan petinggi PSSI di media. Pelatih Super Elja, Seto Nurdiantoro mengatakan belum mendapat instruksi resmi dari manajemen klub.
"Kalau undangannya saya belum tahu. Saya juga baru dapat info dari media," ujar Seto ketika dihubungi Tirto, Senin (4/2/2019) pagi.
Sementara terkait keikutsertaan, tidak seperti klub-klub lain, Seto belum bisa memberi jaminan. PSS Sleman akan menanyakan apakah Piala Presiden merupakan perhelatan yang wajib diikuti seluruh klub Liga 1. Dengan agenda persiapan kompetisi yang juga tak kalah padat, PSS masih membuka segala kemungkinan.
"Nanti kami tunggu dulu kalau sudah ada kabar dari manajemen. Kami masih melihat perkembangan berikutnya," tandas Seto.
Penulis: Herdanang Ahmad Fauzan
Editor: Abdul Aziz