tirto.id - Kepala daerah petahana atau mereka yang baru saja dilantik menjadi kepala daerah tak bisa seenaknya menyatakan dukungan kepada salah satu pasang kandidat calon presiden dan calon wakil presiden (capres cawapress) Pilpres 2019. Ada aturan dan etika yang mesti dipatuhi agar dukungan tidak memicu persoalan. “Yang pasti bagi mereka yang sudah menjabat kalau mau mengampanyekannya calonnya nanti harus cuti,” kata anggota Bawaslu RI Mochammad Afifuddin kepada reporter Tirto, Selasa (11/9).
Afifuddin mengakui kepala daerah memang punyak hak mendukung salah satu kandidat namun hak itu juga diatur dalam undang-undang. Pasal 59 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu misalnya mengatur hak kepala daerah berkampanye. Tapi pasal 60, 64, serta 281undang-undang yang sama juga mewajibkan kepala daerah cuti apabila ingin ikut kampanye. pasal 60 mengatur pejabat daerah yang berkampanye wajib memperhatikan keberlangsungan tugas penyelenggaraan pemerintah wilayahnya. Kemudian pasal 64 melarang mereka menggunakan fasilitas negara saat berkampanye. Sedangkan pasal 281 mengatakan kepala daerah wajib cuti di luar tanggungan negara saat berkampanye.
"Terpenting para kepala daerah tersebut tidak menyalahgunakan kekuasaannya dalam mendukung calon," ujar Afif.
Kepala Daerah yang Berpihak
Sejumlah kepala daerah telah menyatakan keberpihakan politiknya untuk Pilpres 2019. Kebanyakan mereka mendukung pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin di Pilpres 2019. Misalnya Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, Gubernur NTB Tuan Guru Bajang (TGB) Muhammad Zainul Majdi, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah, dan Gubernur Papua Lukas Enembe.
Dukungan Ridwan kepada Jokowi diucapkan usai mantan wali kota Bandung itu dilantik menjadi gubernur Jawa Barat di Kompleks Istana Kepresidenan, Rabu 5 September 2018. Kepastian dukungan Ridwan ke Jokowi juga disampaikan
Sebelum Ridwan adaGubernur NTB yang juga menyatakan dukungan kepada Jokowi kembali menjadi presiden hingga dua periode. Saat ditemui usai menghadiri acara di kantor ICMI, 11 Juli lalu, TGB menyebut siap menghadapi resiko apapun karena mendukung Jokowi. Saat itu, TGB tercatat masih menjadi kader Partai Demokrat. Iapun memutuskan keluar dari Demokrat pada awal Agustus 2018. "Saya tetap pada posisi saya, keputusan saya untuk mendukung Bapak Jokowi. Kalau ada risiko atas pilihan itu ya saya akan hadapi," kata TGB saat itu.
Hal sama diungkap Lukas Enembe. Gubernur Papua dua periode itu langsung menyatakan dukungannya untuk Jokowi pasca dilantik bersama Emil awal September lalu. Ia tak takut mendukung Jokowi meski partainya, Demokrat, sudah menyatakan akan mendukung pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. "Jokowi itu harga mati 100 persen, kami akan fokus kasih suara kepada Jokowi, tidak ada yang lain, seluruh rakyat Papua. Harga mati bungkus, 3.000.000 suara kasih semua kepada Jokowi, ujar Lukas di Kompleks Istana Kepresidenan saat itu.
Potensi Konflik Kepentingan
Senin 10 September kemarin Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) sempat mengomentari keberpihakan para kepala daerah tersebut. Ia mengatakan gubernur atau kepala daerah tidak boleh memberikan dukungan kepada pasangan capres cawapres. Kalau pun mau mendukung, kata JK, ia harus bersifat pribadi. Persoalannya, sukar memisahkan antara dukungan pribadi dan bukan pada jabatan yang melekat seperti gubernur.
Hal ini lah yang membuat peneliti dari Lembaga Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadanil mengingatkan potensi konflik kepentingan dari sikap kepala daerah yang mendukung salah satu pasang capres cawapres. Menurutnya ada peluang pelanggaran kampanye atas ucapan terburu-buru kepala daerah mendukung salah satu capres cawapres."Potensi pelanggarannya sangat besar. Apalagi bulan madu dari proses dukungan dan pemenangan Pilkada 2018 kemarin masih sangat dekat," kata Fadli kepada Tirto.
Kepala daerah dan pejabat negara juga berpotensi melanggar aturan jika secara sengaja atau tidak berkampanye saat memberi pidato atau rapat dengan bawahannya. Fadli berharap para kepala daerah dan pejabat negara memahami betul aturan dan etika yang harus dijaga selama proses pemilu.
"Ini perbedaannya akan sangat tipis, dan potensi konflik kepentingannya akan sangat tinggi. Mestinya kepala daerah memahami fatsun dan etika itu," ujarnya.
Pendapat tak jauh berbeda disampaikan peneliti Lingkaran Survei Indonesia Denny Ja, Rully Akbar. Menurut Rully larangan kepala daerah berkampanye saat menggunakan "pakaian dinas" namun dibolehkan berkampanye saat cuti adalah standar ganda. Hal ini karena menurutnya cuti atau tidak cuti kepala daerah bisa saja memanfaatkan segala program dan infrastruktur yang ia miliki untuk memenangkan jagoannnya. Kombinasi kekuatan daerah yang dipadu padan dengan kekuatan kampanye capres adalah formula jitu menggaet massa.
"Kepala daerah dengan segala program dan infrastruktur birokrasi punya signifikansi besar jika dibarengi kampanye salah satu capres," ujar Ruly.
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Muhammad Akbar Wijaya