Menuju konten utama

Kenapa Pembangunan RPTRA di DKI Banyak yang Berhenti?

Pemerintah Kota Jakarta Selatan tahu mangkraknya pembangunan RPTRA, Wali Kota tak bisa memastikan kapan pembangunan dilanjutkan.

Kenapa Pembangunan RPTRA di DKI Banyak yang Berhenti?
Pekerja menyelesaikan pembangunan Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) di Jalan Satria, Jakarta, Jumat (8/9/2017). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga

tirto.id - Lahan Ruang Publik Terpadu Ramah Anak di kawasan TB Simatupang, tepatnya di dekat gang Kecipir, Jatipadang, Jakarta Selatan, tampak terbengkalai saat saya datang ke sana, Kamis (22/2/2018) siang. Rangka bangunan bertulang beton yang berdiri di atas lahan, kini mulai dikelilingi rumput liar dan sisa-sisa ayakan pasir. Berantakan.

Di dekat pintu masuk, tampak kontainer yang difungsikan sebagai kantor sementara PT Asiana Group, perusahaan yang bertugas membangun RPTRA tersebut. Seorang petugas keamanan yang enggan menyebut nama mengatakan pembangunan taman ini berhenti sampai waktu yang belum ditentukan.

“Mungkin mulai lagi bulan Juni,” ucap satpam itu.

RPTRA TB Simatupang mangkrak setelah peletakan batu pertama dilakukan pada 17 April 2017. Semula, taman ini ditargetkan rampung dibangun pada April tahun ini. Desain fisik taman dikerjakan Yori Antar, arsitek yang merancang RPTRA Kalijodo. Konsep taman tak jauh berbeda dengan RPTRA Kalijodo yang dilengkapi skate park, perpustakaan, ruang serbaguna, dan masjid.

Pemerintah Kota Administratif Jakarta Selatan tahu ihwal mangkraknya pembangunan RPTRA ini, tapi Wali Kota Jakarta Selatan Tri Kurniadi tak bisa memastikan kapan tepatnya pembangunan akan kembali dilanjutkan.

“Coba tanya ke Bu Dien,” kata Tri saat saya hubungi Kamis siang. Dien yang dimaksud adalah Dien Emmawati yang menjabat Kepala Dinas Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk DKI Jakarta.

Tri menyebut pengerjaan RPTRA ini masih menunggu dimulainya pembangunan apartemen yang akan didirikan Asiana Group. Lokasi apartemen itu nantinya berada di dekat lahan RPTRA. Saat ini, apartemen belum mulai dibangun karena masih menunggu beberapa lahan warga yang belum dibebaskan.

Direktur Utama Asiana Group Loemongga Hoesaman belum memberikan klarifikasi mengapa pembangunan RPTRA itu mangkrak. Loemongga tak mengangkat sambungan telepon dan pesan singkat yang saya kirim.

Terpisah, Dien Emmawati mengaku tak tahu kenapa masih ada pembangunan RPTRA yang mangkrak. Ia bilang, Dinas Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk sudah tidak lagi menangani pembangunan dan pemeliharaan RPTRA sejak 2017.

Menurut Dien, pembangunan telah dialihkan ke Dinas Perumahan dan Pemukiman Rakyat sementara pemeliharaan RPTRA menjadi tugas masing-masing ke kelurahan lantaran jumlahnya terus bertambah.

Jumlah Stagnan karena Masalah Lahan

RPTRA TB Simatupang merupakan satu dari 67 RPTRA yang dibangun dengan menggunakan dana corporate social responsibility (CSR) yang sudah direncanakan dibangun sejak 2017. Selain di TB Simatupang, ada juga RPTRA Kenari II, Jakarta Pusat, yang bahkan belum dibangun meski segala persiapannya sudah dilakukan di akhir tahun lalu.

Wali Kota Jakarta Pusat Mangara Pardede menjelaskan dana untuk RPTRA Kenari II berasal dari CSR PT Century Properti dan belum juga dibangun hingga saat ini. “Kami minta ada evaluasi terkait masalah ini. Kalau CSR tidak membangun, kami putus saja perjanjian kerja samanya,” ujar Mangara.

Di luar dana CSR, Pemprov DKI tetap mengalokasikan APBD untuk pembangunan taman bermain anak ini. Rinciannya berada di pagu anggaran Suku Dinas Perumahan yang masing-masing digelontorkan sebesar Rp 17,6 miliar untuk Jakarta Selatan, Rp 17,4 miliar untuk Jakarta Utara, 17,5 miliar Jakarta Barat, 17,5 miliar Jakarta Timur, Rp 7,7 miliar Jakarta Pusat, serta Rp 3,7 miliar di Kabupaten Kepulauan Seribu.

Agar duit miliaran dapat digunakan lebih efisien, Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Tuty Kusumawati telah meminta Badan Pengelola Aset Daerah (BPAD) mendata lahan kosong milik Pemprov DKI yang tak terpakai untuk dipakai membangun RPTRA pada September 2017.

Lahan dan aset itu, kata Tuty, “meliputi aset-aset Pemprov yang sudah ada namun masih belum optimal difungsikan seperti sasana krida dan bekas kantor lurah yang sudah tidak dipakai karena sudah dibangun di tempat lain yang lebih representatif dan lain-lain.”

Lima bulan berselang, rencana pendataan ini belum terealisasi. Kepala BPAD Achmad Firdaus menyampaikan, lahan-lahan tesebut masih perlu diverifikasi lebih jauh status dan kepemilikannya sebelum digunakan untuk kepentingan publik.

Pada sisi lain, dorongan untuk memakai lahan menganggur di Jakarta juga disampaikan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Dalam salah satu agenda Rapat Pimpinan, Anies meminta SKPD melaporkan seluruh lahan terbengkalai di Jakarta, baik milik Pemprov, swasta maupun perorangan.

Anies menghendaki lahan kosong itu bisa digunakan untuk kepentingan publik seperti taman, jogging track, ruang terbuka hijau, lahan perkebunan, parkir, hingga pedagag kaki lima dan sebagainya.

Tak Diprioritaskan dalam RPJMD

Mangkraknya pembangunan RPTRA dinilai Nirwono Joga lantaran pemimpin baru Jakarta lebih memprioritaskan pengadaan ruang terbuka hijau yang masuk ke dalam program kampanyenya yakni Taman Pintar.

Dosen Fakultas Arsitektur Lanskap dan Teknologi Lingkungan Universitas Trisakti ini bahkan menyebut konsep RPTRA akan mengingatkan publik terhadap sosok Gubernur Basuki Tjahaja Purnama. Secara politis kebijakan ini dinilai kontraproduktif.

“Orang tahu itu kebijakan gubernur sebelumnya," kata Nirwono.

Nirwono memprediksi pembangunan RPTRA tak akan lagi dimasukkan sebagai program strategis dalam penambahan ruang terbuka hijau (RTH) atau sarana interaksi warga, melainkan taman pintar (science park). Hal itu, kata dia, nantinya dapat dilihat lebih jauh dalam Rancangan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2018-2022.

Analisis ini muncul lantaran program RTH merupakan satu dari 23 janji kampanye Anies-Sandi yang tujuannya mengaktifkan komunitas dalam pengembangan kebudayaan, kesenian, olahraga, Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan budaya membaca.

“Kalau saya baca di RPJMD. Kata-kata RPTRA itu enggak ada. Yang ada taman pintar. Kalau ini enggak ada berarti enggak ada penganggaran hingga tahun depan," kata penulis buku Bahasa Pohon Selamatkan Bumi ini menambahkan.

Pada sisi lain, Nirwono menilai RPTRA juga tidak berfungsi efektif dalam penambahan ruang hijau lantaran hampir 70 persen bangunannya menggunakan konstruksi beton. Ia juga mengkritisi pemindahan pengelola taman dari Dinas PPAP ke Dinas Perumahan.

Menurut Nirwono pemindahan ini mencerminkan rancunya konsep ruang terbuka hijau, padahal pembangunan RPTRA sebagai RTH dalam rangka pengendalian lingkungan di Jakarta harus berkelanjutan dan terhenti setiap pergantian gubernur.

Baca juga artikel terkait INFRASTRUKTUR atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Mufti Sholih