tirto.id - Subvarian Omicron BA.4 dan BA.5 telah menjadi penyebab dari meningkatnya kasus COVID-19 di beberapa negara. Global Initiative on Sharing All Influenza Data (GISAID) melaporkan, terdapat 6.903 sekuens subvarian BA.4 dari 58 negara dan 8.687 sekuens subvarian BA.5 dari 63 negara di dunia.
Di Indonesia, subvarian baru Omicron tersebut juga telah terdeteksi. Terdapat 4 kasus pertama yang dilaporkan pada 6 Juni 2022 lalu. Di antara 4 kasus tersebut, 1 di antaranya terkonfirmasi positif BA.4 dengan kondisi klinis tidak bergejala serta telah mendapatkan dosis dua vaksinasi.
Sementara itu, 3 sisanya telah terkonfirmasi positif BA.5. Dua di antaranya tidak bergejala dan 1 lainnya bergejala ringan dengan sakit tenggorokan dan badan pegal. Ketiga penyintas tersebut juga telah mendapatkan vaksin booster.
Juru Bicara Kementerian Kesehatan RI, dr. Mohammad Syahril, Sp.P, MPH melalui konferensi pers virtual di Gedung Kemenkes, Jakarta, menyatakan bahwa transmisi BA.4 maupun BA.5 memiliki kemungkinan menyebar lebih cepat daripada subvarian Omicron sebelumnya, yakni BA.1 dan BA.2.
“Tingkat kesakitan dari BA.4 dan BA.5 tidak ada indikasi lebih parah dibandingkan dengan varian Omicron lainnya,” ujar dr. Syahril, dilansir laman Kemenkes.
Meski demikian, aspek immune escape adalah hal yang perlu diwaspadai. Sebab, ada kemungkinan bahwa imunitas seseorang lolos dari perlindungan kekebalan akibat infeksi varian Omicron.
Ditemukan kali pertama di Afrika Selatan dan Botswana pada awal November 2021, varian Omicron merupakan varian COVID-19 yang sangat berbeda dengan varian sebelumnya.
Rangkaian mutasi yang dimiliki Omicron kerap disebut tidak biasa karena berevolusi sepenuhnya di luar jangkauan para peneliti.
Omicron mampu bermutasi lebih dari 50 mutasi, dan 30 di antaranya berkontribusi pada perubahan asam amino dalam protein lonjakan.
Kondisi ini yang kemudian membuat virus menempel dan menginfeksi sel manusia. Padahal, di varian virus sebelumnya mutasinya tidak kurang dari 10 mutasi lonjakan saja.
Terkait dengan kemampuan Omicron untuk menembus perlindungan kekebalan, bahkan kepada orang yang telah divaksin, hal ini juga dijelaskan oleh peneliti bahwa Omicron membentuk cengkraman yang lebih kuat pada protein reseptor daripada varian lain.
Dengan demikian, Omicron memiliki kemampuan lebih baik dalam menghindari antibodi pemblokir virus yang dihasilkan dari vaksinasi maupun infeksi varian virus sebelumnya.
Sementara itu, proses mutasi virus secara umum dapat berkembang spontan ketika virus tersebut menyebar dan bereplikasi.
Sebagian besar mutasi juga sebenarnya tidak banyak memberikan pengaruh pada kemampuan virus untuk menular dan menyebabkan penyakit yang parah.
Akan tetapi, Omicron justru telah mengakumulasi beberapa mutasi unik yang diketahui dapat meningkatkan kemampuan virus untuk menularkan dan atau menyebabkan penyakit parah.
Akibat penyebarannya yang cepat serta akumulasi besar mutasi yang dimiliki, Omicron telah memunculkan subgaris keturunan berbeda yang kemudian juga disebut sebagai subvarian.
Dari sudut pandang genomik, Omicron diketahui terdiri dari subgaris keturunan yang berbeda, yakni BA.1, BA.2 dan BA.3.
Ketiganya bahkan tampak muncul dalam waktu yang bersamaan. Namun, dua di antaranya telah mati secara global.
Hal ini mengindikasikan bahwa Omicron memiliki waktu untuk melakukan diversifikasi hingga muncul BA.4 dan BA.5, sebelum para ilmuwan menyadarinya.
Para ilmuwan pun masih berusaha memahami bagaimana Omicron muncul dan dapat bermutasi dengan begitu banyak dalam waktu singkat.
Akan tetapi, setidaknya ada beberapa teori yang dapat memberikan hipotesis mengenai hal tersebut, sebagaimana dilansir Nature.
Pertama, penyebaran senyap. Jinal Bhiman, seorang ilmuwan medis di National Institute for Communicable Diseases di Johannesburg, South Africa menyatakan bahwa proses mutasi bisa terjadi tanpa terlihat, di wilayah dunia yang sekuensing genomiknya terbatas serta di antara populasi yang biasanya tidak dites sebab tidak bergejala.
Maka kemudian, Martin, ahli biologi komputasi di University of Cape Town, Afrika Selatan, mengatakan peneliti perlu mengurutkan genom SARS-CoV-2 dari negara-negara ini untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang kemungkinan evolusi yang tidak teramati.
Kedua, virus dapat berkembang pada infeksi kronis yang menimpa seseorang dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah. Pond, ahli biologi evolusi komputasional di Temple University di Philadelphia, Pennsylvania, menyatakan bahwa pada tubuh seseorang dengan infeksi kronis akan memicu perkembangbiakan virus selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan.
Maka dari itu, beragam jenis mutasi dapat muncul guna menghindari sistem kekebalan tubuh. Ahli virologi interdisipliner di Institut Karolinska juga menambahkan bahwa virus harus berubah untuk mampu bertahan.
Ketiga, hipotesis terakhir menyatakan bahwa virus dapat melompat ke spesies lain sebelum menginfeksi manusia kembali.
Hal ini juga diduga menjawab alasan beberapa mutasi Omicron yang jarang terlihat sebelumnya pada manusia.
Sebab, ada kemungkinan bahwa SARS-CoV-2 dapat memperoleh mutasi melalui proses lompatan dari orang sakit ke tikus, misalnya, yang kemudian menginfeksi manusia kembali.
Hal ini bukan tanpa penjelasan. Studi berbasis sel telah menemukan bahwa protein lonjakan Omicron dapat mengikat protein ACE2 pada kalkun, ayam dan tikus.
Dengan demikian, ada kemungkinan bahwa tikus yang telah terinfeksi dan terjadi kontak dengan seseorang akan memicu munculnya Omicron.
Tiga subgaris keturunan Omicron pun cukup berbeda. Maka dari itu, setiap subgaris keturunan atau subvarian dianggap mewakili lompatan terpisah dari hewan ke manusia.
Dengan demikian, disiplin dalam menerapkan protokol kesehatan masih menjadi upaya pertama setelah vaksinasi guna melindungi diri dari paparan COVID-19.
Kebijakan pelonggaran memakai masker di ruang terbuka pun akan dievaluasi ulang oleh pemerintah apabila ada peningkatan kasus akibat subvarian baru Omicron ini.
Penulis: Galih Ayu Palupi
Editor: Abdul Hadi