tirto.id - Jepang mulai melepaskan limbah nuklir yang berasal dari pembangkit listrik tenaga nuklir Fukushima ke laut dekat Samudera Pasifik pada Kamis, 24 Agustus 2023. Tindakan Jepang menuai protes besar karena disinyalir dapat memiliki dampak buruk terhadap lingkungan.
Seperti diwartakan Reuters, Jepang memulai kembali sebuah langkah polarisasi pasca bencana nuklir pernah melanda sekitar 12 tahun lalu.
Operator PLTN Tokyo Electronic Power (Tepco) menyebut pelepasan awal limbah nuklir itu sekitar pukul 13.03 waktu setempat (04.03 GMT) serta belum mengidentifikasi adanya ketidaknormalan atau gangguan radiasi akibat pembuangan air radioaktif tersebut.
Jepang juga menyebut pelepasan limbah nuklir itu diklaim aman serta Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) menyimpulkan bahwa dampak yang ditimbulkannya terhadap manusia dan lingkungan “dapat diabaikan”.
Selain itu, seorang ahli kimia nuklir dari Chalmers University of Technology Swedia, Mark Foreman, menegaskan bahwa air radioaktif Fukushima yang dibuang ke laut tidak akan membuat lautan menjadi lebih radioaktif daripada yang sudah ada.
Kendati demikian, China justru menentang keras tindakan Jepang. Terlebih, otoritas China sebut pemerintah Jepang belum sepenuhnya dapat membuktikan bahwa air yang dilepaskan itu akan terjamin aman terutama untuk lingkungan.
“Pihak Jepang seharusnya tidak menyebabkan kerugian sekunder bagi masyarakat setempat dan bahkan masyarakat dunia karena kepentingan egoisnya sendiri,” ujar kementerian luar negeri China dalam sebuah pernyataan.
China juga akan memberlakukan larangan secara menyeluruh terhadap semua produk akuatik dari Jepang. Menurut Bea Cukai China, tindakan itu sangat dikhawatirkan berdampak resiko kontaminasi radioaktif yang dibawa oleh produk makanan dan pertanian Jepang.
Merespons penolakan tersebut, Perdana Menteri Jepang, Fumio Kishida sempat meminta China agar mencabut larangan impor produk akuatiknya serta menyarankan untuk berdiskusi terkait dampak pelepasan air radioaktif berdasarkan ilmu pengetahuan.
China sendiri menjadi pasar terbesar Jepang dalam hal ekspor produk akuatik yang pada tahun 2022 kemarin tercatat mencapai 600 juta dolar.
Alasan Jepang Buang Limbah Nuklir ke Laut
Di samping kecaman mulai mengemuka dari beberapa negara terhadap rencana pelepasan limbah nuklir, pemerintah Jepang justru disebut telah menyetujui rencana pembuangan air radioaktif ke lautan sejak dua tahun lalu serta telah mendapat lampu hijau dari badan pengawas nuklir PBB bulan lalu.
Pembuangan limbah nuklir ke laut ini disinyalir Jepang sebagai langkah penting guna menonaktifkan PLTN Fukushima Daiichi – pembangkit listrik tenaga nuklir terbesar di Jepang – yang telah hancur sejak tahun 2011 akibat tsunami yang merusak tiga reaktor utamanya.
Pelepasan limbah nuklir ini disebut-sebut akan berlangsung selama kurang lebih 7 hari dengan debit pelepasan pertamanya mencapai 7.800 meter kubik.
Sebelum dilepaskan ke lautan, pemerintah Jepang mengklaim telah melakukan tes Tepco yang menyebutkan air tersebut memiliki kandungan 63 becquerel (susuna radioaktivitas) tritium per liter. Angka tersebut di bawah batas air minum WHO yakni sebesar 10.000 becquerel per liter.
“Tidak aka ada dampak kesehatan apapun... Tidak ada alasan ilmiah untuk melarang impor makanan Jepang,” kata Geraldine Thomas, mantan profesor patologi molekuler di Imperial College, London.
Selain itu, Jepang juga menjelaskan hal tersebut dilakukan karena Jepang membutuhkan lahan untuk ditempati tangki-tangki kosong yang akan digunakan untuk mendinginkan batang bahan bakar reaktor nuklir yang baru.
Sumber reaktor nuklir Jepang sebelumnya yakni PLTN Fukushima, namun sudah tidak beroperasi lagi setelah mengalami kerusakan akibat bencana tsunami dan menyisakan limbah.
Untuk memperbaruinya, Jepang berencana melepaskan limbah yang tersimpan sekitar dalam 1.000 tangki dan akan membuat PLTN baru yang lebih aman.
Pembuangan Limbah Nuklir Tuai Protes Besar
Selain China, rupanya kelompok-kelompok Jepang yang telah mengalami kerusakan reputasi selama bertahun-tahun akibat kekhawatiran akan radiasi, ikut menentang rencana pemerintah Jepang.
“Yang kami inginkan adalah untuk dapat terus menangkap ikan,” ujar kepala Koperasi Perikanan Jepang dalam sebuah pernyataan.
Protes ini diikuti juga oleh beberapa negara lainnya seperti Hong Kong, Korea Selatan dan Macau yang telah mengumumkan larangan impor makanan laut Jepang.
Perdana Menteri Korea Selatan, Han Duck-soo, sebut larangan impor produk perikanan dan makanan Fukushima akan tetapi diberlakukan hingga kekhawatiran masyarakat terhadap potensi dampak radiasi sudah berkurang.
Lebih kacau dari itu, polisi Korea Selatan dikabarkan telah menangkap sedikitnya 16 pengunjuk rasa yang memasuki kedutaan besar Jepang di Seoul yang menyampaikan penolakannya terhadap rencana Jepang.
“Bencana nuklir Fukushima belum berakhir. Kali ini hanya sekitar 1 persen air yang akan dilepaskan. Mulai sekarang, kami akan terus berjuang untuk waktu yang lama untuk menghentikan pembuangan air yang terkontaminasi dalam jangka panjang,” tegas seorang aktivis Hong Kong, Jun Iizuka.
Kementerian Luar Negeri Korea Utara juga ikut menyampaikan tuntutan agar pembuangan limbah nuklir segera dihentikan Jepang. Korut sebut tindakan itu sebagai “kejahatan terhadap kemanusiaan”.
Dampak Limbah Nuklir Jika Dibuang ke Laut
Kendati pemerintah Jepang mengklaim pembuangan limbah nuklir tidak akan terlalu berdampak pada lingkungan dan manusia, menurut sejumlah ahli klaim tersebut belum sepenuhnya dapat dipercaya sebab potensi radiasi nuklir masih dapat menjadi ancaman yang nyata.
Sebelumnya, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah merilis bencana yang disebabkan akibat rusaknya PLTN Fukushima pada tahun 2011 silam.
Reaktor PLTN Fukushima Daiichi di tahun tersebut mengalami kerusakan parah hingga menyebabkan kebocoran dimana air radioaktifnya mengkontaminasi sebagian lautan di Samudra Pasifik. Saat itu, makanan laut di sekitar pembangkit listriknya terdeteksi terkontaminasi pada tingkat atas.
Selain itu, terdapat indikasi kontaminasi radionuklida yang dapat mempengaruhi besar kesehatan manusia bahkan pulau-pulau di Pasifik juga sempat terancam terkontaminasi jika mengonsumsi makanan laut yang terkontaminasi saat itu.
Tentunya, jika limbah nuklir itu dibuang tanpa diuraikan atau penyaringan oleh sistem tertentu, air radioaktif tersebut akan berdampak buruk pada habitat hingga makhluk hidup yang terkena radiasinya. Jika terpapar, makanan itu sudah jelas sangat berbahaya jika dikonsumsi.
Kadar air di lautan juga dapat terpengaruh dan berubah warna jika limbah nuklir itu masih mengandung kadar radioaktif dan sejumlah molekul kimia lainnya yang tinggi. Jika dibiarkan, hal ini dapat menjadi pemicu pencemaran dan polusi terhadap lautan.
Kendati demikian, kemungkinan itu bisa saja tidak terjadi jika apa yang dikatakan pemerintah Jepang berbuah fakta yang dapat menurunkan kekhawatiran masyarakat terhadap potensi paparan radiasi nuklir di lautan.
Penulis: Imanudin Abdurohman
Editor: Dipna Videlia Putsanra