tirto.id - Kenapa Harus Bule? berkisah tentang perempuan bernama Pipin (Putri Ayudya) dan impiannya untuk mengakhiri masa jomblonya. Pipin takut jadi perawan tua dan digunjingkan orang-orang di sekitarnya sehingga rela melakukan apapun asal enteng jodoh.
Namun, kriteria jodoh Pipin cukup sulit. Ia ingin suaminya kelak adalah bule alias cowok kulit putih. Ia lalu bergerilya demi tujuannya itu. Ketika di Jakarta, ia rajin membuka aplikasi dating online di samping juga mendatangi bar-bar dengan harapan siapa tahu ada ekspatriat yang cocok dijadikan pasangan.
Sayang, hasilnya nihil sampai akhirnya seorang sahabat, Arik (Michael Kho), menganjurkannya ke Bali. Tanpa pikir panjang, Pipin segera mengemas barang-barangnya. Harapannya membuncah lagi. Dalam pikirannya, Bali adalah surganya bule dan rasanya tak sulit mendapatkan satu di antara sekian banyak bule yang berkeliaran.
Tapi, ternyata Bali tak semudah yang ia kira. Ia sempat frustasi karena masih belum ada bule yang bisa digebet. Ditambah lagi tabungannya menipis. Ia juga tak kunjung dapat pekerjaan. Di tengah keputusasaan tersebut, datanglah laki-laki yang menaruh hati pada Pipin. Tak hanya satu, tapi dua. Gianfranco (Cornelio Sunny), bule asal Italia gondrong dan bertubuh atletis mirip Fransesco Totti, serta Benjamin atau Buyung (Natalius Chendana), pengusaha sekaligus teman masa kecil Pipin yang datang dari Australia untuk berbisnis di Pulau Dewata.
Hadirnya dua lelaki tersebut seketika bikin Pipin bingung.
Masalahnya, pihak yang dibingungkan bukan hanya Pipin, tapi juga saya sebagai penonton. Saat Pipin galau untuk memutuskan pilihannya, saya dibuat bingung karena inkonsistensi cerita film ini.
Pasalnya begini. Pipin pernah bilang kepada temannya bahwa ia mengejar bule karena ingin dihargai sebagai seorang perempuan. Ia ingin gender equality ditegakkan dalam hubungannya. Menurut Pipin, kesetaraan takkan bisa ia dapatkan ketika menjalin relasi dengan lelaki lokal.
Lewat karakter Pipin, sikap politis sutradara ditampilkan. Ia ingin menegaskan bahwa setiap perempuan berhak menentukan dengan siapa ia bakal menikah, tak peduli dengan bule atau orang lokal.
Sialnya, sikap itu hanya hadir di permukaan. Pipin terbukti tidak benar-benar serius menginginkan kesetaraan. Ia ternyata ingin punya lelaki bule karena bule dianggapnya hot, tampan, tajir, serta berpotensi memberikan keturunan berkualitas secara bibit, bebet, dan bobot.
Anda bisa menyaksikan ini semua saat Pipin menjalani relasi dengan Gianfranco. Bisa dibilang, fase tersebut sangat ganjil dalam keseluruhan plot. Setelah berkhotbah soal keharusan bersuami bule karena faktor kesetaraan gender, tak disangka ia justru mudah dibuai oleh bujuk rayu laki-laki.
Lihat saja kala Pipin dipaksa mendorong vespa yang ditumpangi Gianfranco saat motor mereka kehabisan bensin di tengah jalan. Atau ketika Pipin dipaksa membayar tagihan restoran untuk entah ke berapa kalinya dengan alasan Gianfranco “lupa membawa dompet.” Selain itu, Pipin juga tunduk begitu saja kala ia diminta membersihkan semua cucian di villa Gianfranco.
Parahnya, situasi ini bahkan terus berlanjut tatkala Gianfranco dan Pipin menjalin hubungan untuk kedua kalinya setelah hubungan mereka kandas akibat Gianfranco membohonginya—Gianfranco mengaku bule kaya, tapi, ternyata ia cuma tukang jaga villa. Dalam kesempatan tersebut, Pipin, lagi-lagi, sempat tunduk begitu saja dengan perintah Gianfranco untuk membersihkan rumahnya kendati akhirnya ia tahu bahwa Gianfranco hanya memanfaatkannya—dengan mengajak Pipin menikah—agar tak dideportasi.
Saya cukup bingung mengapa karakter Pipin dalam semesta Kenapa Harus Bule? cukup sulit disadarkan. Bukankah kebohongan Gianfranco tidak cukup untuk membuat Pipin memalingkan muka darinya? Yang ada, Pipin malah takluk begitu saja dengan modal tampang dan ajakan balikan dari Gianfranco. Dalam film ini, Pipin hanya berkata tidak pada ajakan seks. Selebihnya, Pipin gampang dirayu Gianfranco—termasuk dalam hal-hal yang sebetulnya merendahkan perempuan.
Jika memang Pipin mengutamakan gender equality, tentunya bukan hal sulit untuk meninggalkan Gianfranco yang jelas-jelas menganggap Pipin sebagai tukang suruh atau ATM berjalan. Tapi, faktanya, semua perilaku yang diterimanya dimaafkan seketika tanpa terkecuali.
Dalam satu kesempatan, sutradara Andri Cung menyatakan bahwa filmnya berupaya mengkritik pemahaman masyarakat tentang standar kecantikan. Ia menambahkan filmnya juga mengkritik sifat masyarakat yang mudah menghakimi. Alih-alih berfokus pada dua hal tersebut, ia justru menyelipkan narasi lain yang celakanya hanya menghasilkan kontradiksi. Bilang keseteraan, tapi malah tunduk pada laki-laki.
Saya berusaha menunda penilaian saya hingga akhir film. Mungkin saja karakter seperti Pipin sengaja dipasang untuk memunculkan ironi: ingin kesetaraan tapi tak siap—atau bahwa cita-cita kesetaraan itu tak datang dengan sendirinya; prosesnya keras dan kejam. Atau: sinisme kepada mereka yang berbuih-buih bicara keseteraan namun tak berkutik menghadapi kenyataan yang lebih keras ketimbang teori feminisme.
Namun, ujung-ujungnya malah menjadi karikatural.
Untuk kesekian kalinya Pipin justru larut dalam asmara. Dalam jarak yang tak lama setelah putus dari Gianfranco, Pipin menemui dan mengemis cinta pada Buyung, lelaki yang pernah ia campakkan. Ia minta diberi kesempatan untuk bisa membalas perasaan Buyung, laki-laki yang digambarkan baik, nrimo, ramah—pokoknya berkebalikan dengan si cowok Italia.
Nasehat ibu maupun sahabatnya, Arik, agar Pipin melupakan sakit hatinya gara-gara Gianfranco dan fokus cari kerja, menabung, dan jadi perempuan mandiri malah tak didengar. Untuk Pipin, hal paling penting di dunia adalah cowok. Kesetaraan dan kemandirian perempuan yang ia bicarakan tiba-tiba lenyap. Asal dapat lelaki (syukur-syukur bule), itu sudah lebih dari cukup. Walhasil, Pipin lebih terlihat seperti perempuan yang kebelet kawin belaka.
Pada titik ini, Kenapa Harus Bule? sebetulnya tak perlu repot-repot menyertakan narasi sosial macam kesetaraan gender, sisipan tentang gay yang diwakili karakter Arik, atau pandangan-pandangan negatif dari masyarakat kepada perempuan berumur dan belum menikah. Karena tanpa segala gimmick itu pun film ini masih bisa berlangsung.
Mungkin memang kisah Kenapa Harus Bule? pada dasarnya tentang cowok. Karakter perempuan sekadar dimunculkan sejauh bisa menjawab judul retoris itu: "Kan ada laki-laki lokal yang juga bisa jadi feminis?"
Akamsi (anak kampung sini) juga bisa dipertimbangkan, toh?
Penulis: M Faisal
Editor: Windu Jusuf