tirto.id - Kompetisi anak antar saudara kandung atau sibling rivalry sudah umum dan dianggapwajar terjadi pada satu keluarga. Namun, kondisi demikian bukan hanya masalah pada anak tapi juga orang tua. Sebuah keadaan sibling rivalry biasanya muncul setelah kelahiran anak pertama dan seterusnya. Kehadiran anggota keluarga baru akan menimbulkan banyak perubahan, termasuk perubahan dan respons para saudara terhadap anggota keluarga yang baru lahir.
Bagi anak sulung, fenomena sibling rivalry biasanya telah mulai dirasakan sejak ibu mereka mengandung anak kedua. Anak akan mulai cemas akan kehilangan perhatian oleh orang tuanya. Berbeda lagi dengan anak bungsu, ia mulai merasa tidak nyaman ketika orang-orang di sekitarnya mulai membandingkan dengan saudara lainnya.
Perasaan demikian cukup dirasakan oleh Michell, ia adalah anak perempuan dari dua bersaudara di keluarganya. Ia dan kakak perempuannya terbiasa bertengkar sejak kecil. Faktor umur yang terlalu dekat berselang dua tahun, menciptakan kondisi sibling rivalry di kehidupan keluarga mereka.
“Kami bersekolah di tempat yang sama, dari TK sampai dengan SMP. Waktu mau masuk SD, aku berpikirnya simpel, aku ingin bersekolah di tempat kakakku. SMP begitu juga, hanya saja motivasinya bertambah, kakakku bisa masuk SMP paling favorit, aku juga harus bisa masuk sana. Baru mulai SMA, aku mulai memutuskan untuk bersekolah di luar kota, yang notabene-nya jauh lebih bagus dari SMA kakakku,” tutur Michell.
Belum lama ini, ia akhirnya wisuda dari sebuah perguruan tinggi di Yogyakarta. Sebagai seorang yang tumbuh dewasa, Michell mulai berpikir sibling rivalry bukan sebuah masalah. Perubahan-perubahan yang dialami Michell dalam menyikapi kompetisi antar saudara kandung tersebut turut dijelaskan oleh Jennifer Shroff Pendley, PhD, seorang psikolog yang fokus pada sistem kesehatan anak.
Pendley menyatakan bahwa perkelahian antar saudara kandung pada mulanya berawal dari rasa kecemburuan dan persaingan yang terakumulasi. Perkembangan usia akan mempengaruhi tingkat kebutuhan mereka sebagai individu yang terus bertumbuh.
“Ini wajar, seiring bertambahnya usia, akan diikuti dengan perubahan kebutuhan, tingkat kecemasan, dan karakter anak-anak. Hal tersebut akan mempengaruhi bagaimana mereka berhubungan satu sama lain,” kata Pendley, dikutip dari Kids Health.
Ia mencontohkan seperti ketika balita, anak-anak secara alami akan melindungi mainan dan barang-barang mereka dari saudara mereka. Mereka akan mempunyai kecenderungan belajar untuk menegaskan kehendak mereka setiap saat. Sehingga, mereka akan secara alami merespons dan bereaksi agresif ketika saudara laki-laki atau perempuannya mengambil mainannya.
Ketika anak mulai bertumbuh lagi sampai dengan menginjak usia sekolah, anak-anak akan mulai memiliki pemahaman keadilan dan kesetaraan yang kuat. Ia akan mulai protes ketika kakak kandungnya diperlakukan lebih istimewa dibanding dirinya.
Selanjutnya, menginjak usia remaja, anak-anak justru sebaliknya, mereka akan cenderung mengembangkan rasa individualitas dan mencari kebebasan. Hal ini dapat terlihat dari kecenderungan mereka dalam membenci tanggung jawab rumah tangga, seperti merawat adik-adik, atau ketika diharuskan untuk menghabiskan waktu bersama.
Semua perubahan yang terjadi dengan bertumbuhnya usia si anak tersebut akan menentukkan bagaimana ia membentuk dirinya sendiri, termasuk bagaimana mereka mengambil keputusan-keputusan dalam hidupnya ketika dewasa.
Baca juga: Toleransi Bermula dari Keluarga
Selain itu, faktor perbedaan umur yang terlalu dekat juga mempengaruhi tingkat konflik antara saudara kandung. Hal ini dijelaskan dalam artikel sibling rivalry yang diterbitkan oleh Department of Health, Government of South Australia pada 2016.
Anak-anak yang mempunyai usia hampir sama akan cenderung berkelahi dan berkompetisi lebih banyak dibanding mereka yang mempunyai jeda umur lebih jauh. Anak laki-laki maupun anak perempuan akan berkelahi dengan jumlah yang sama. Jika anak merasa diperlakukan tidak adil oleh orang tua, mereka akan langsung bersikap agresif terhadap saudara mereka.
Dalam hal ini, peran orang tua sebagai panutan sangat menentukan cara anak-anak tersebut beradaptasi dan paham satu sama lain. Cara orang tua menyelesaikan masalah dan memperlakukan anak akan berpengaruh terhadap tingkat kedekatan anak-anaknya.
Namun, dalam kenyataannya, kebanyakan orang tua masih cenderung mengunggulkan anak sulung mereka. Dalam penelitian yang dipublikasikan di Journal of Family Psychology pada 2015, dilakukan riset kepada 388 keluarga orang Amerika keturunan Eropa.
Para peneliti bertanya kepada orang tua langsung, perihal anak yang mana yang lebih baik di sekolah. Mayoritas orang tua mengatakan bahwa anak sulung mereka lebih baik, terlepas dari kenyataan bahwa rata-rata, saudara yang lain melakukan hal yang sama.
Jensen AC, peneliti utama dalam riset ini menjelaskan mengapa orang tua menganggap anak sulung lebih cerdas dibanding saudaranya.
"Seorang ibu atau ayah mungkin akan berpikir bahwa saudara tertua lebih pintar karena pada waktu tertentu mereka melakukan pelajaran yang lebih rumit di sekolah," kata Jensen.
"Anak sulung juga mempunyai pengalaman lebih banyak dibanding saudara mereka. Mereka belajar membaca lebih dulu dan menulis lebih dulu. Hal itu menempatkan anggapan di benak orang tua bahwa mereka lebih cakap. Di titik tertentu, anggapan ini akan merugikan anak lainnya, terlebih di masa-masa remaja. Pada akhirnya, saudara kandung yang dianggap kurang cerdas akan cenderung sengaja menjadi lebih buruk dibandingkan dengan kakak mereka," terang Jensen.
Pada saat saudara kandung itu tumbuh, anak-anak yang dianggap lebih pintar mungkin akan mulai memenuhi anggapan orang tuanya. Kepercayaan yang orang tua tanamkan tersebut bisa jadi adalah tekanan yang membuat si sulung menganggap saudara kandung mereka sebagai saingan utama, alih-alih sebagai adik yang harus dijaga.
Begitu sebaliknya, anak bungsu mulanya akan ikut bersaing dalam semesta keluarga seperti itu, tapi lama kelamaan, seperti yang dituturkan Jensen, salah satu anak akan cenderung memberontak dan tidak lagi mengikuti arus untuk terus-terusan berkompetisi.
Peran orang tua dalam keluarga dan dinamika rumah tangga di antara saudara kandung adalah dua hal yang harus diperhatikan dan dievaluasi setiap waktu. Hal ini diperlukan untuk menekan persaingan antar saudara yang menjurus pada dampak-dampak yang buruk.
Kontrol keluarga yang baik, akan membuat sibling rivalry menjadi awal mula sikap-sikap positif berkembang. Hal ini dijelaskan dalam penelitian pada 2016 yang berjudul Family Environment, Sibling Relationship and Rivalry towards Quality of Life. Kompetisi antar saudara kandung menciptakan lingkungan yang baik dalam mendorong anak untuk berkompromi dan memahami mengenai perbedaan di sekitarnya.
Hal ini mereka pelajari ketika mereka berinteraksi dengan saudara kandung dan orang tua mereka. Cara orang tua berinteraksi dalam memberi solusi atas pertengkaran-pertengkaran dua anak tersebut, mulai dari anak kecil hingga dewasa akan sangat menentukan pembentukan karakter anak, terutama sikap saling menghargai perbedaan satu sama lain.
Intinya, sibling rivalry pada dasarnya ada peran dari orang tua juga, dan sudah seharusnya menekan kondisi terjadinya sibling rivalry.
Penulis: Yulaika Ramadhani
Editor: Suhendra