Menuju konten utama

Kemnaker: Negara RI Tidak Mengenal Sistem Gaji 'No Work, No Pay'

"Negara ini tidak mengenal istilah (pengupahan) no work, no pay," kata DirjenPembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kemnaker, Indah.

Kemnaker: Negara RI Tidak Mengenal Sistem Gaji 'No Work, No Pay'
Ilustrasi Pekerja Wanita Kondisi Kurang Fit. (FOTO/iStockphoto)

tirto.id - Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kemnaker, Indah Anggoro Putri menegaskan, pihaknya tidak akan mengakomodir usulan pengusaha terkait permintaan sistem pengupahan 'no work no pay' atau tidak bekerja tidak dibayar. Diketahui usulan tersebut datang dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) pada 2022 lalu.

"Negara ini tidak mengenal istilah (pengupahan) no work, no pay," kata Indah dalam konferensi pers, di Jakarta, Jumat (6/1/2022).

Dia meminta agar perusahaan mengalami kesulitan finansial dapat menyelesaikan dialog bipartit bersama pegawainya. Nantinya, kesepakatan tersebut harus bersifat tertulis dan tercatat di Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) setempat.

"Jadi, Kalau ada kebijakan fleksibilitas jam kerja dan upah itu harus berdasarkan kesepakatan bipartit antara pengusaha dan pekerja," jelasnya.

Sebelumnya, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mendesak Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menerbitkan aturan berisi fleksibilitas jam kerja dengan prinsip no work no pay (tidak bekerja, tidak dibayar).

"Kalau bisa dipertimbangkan, menambah satu lagi yaitu harapan kami ada satu Permenaker (Peraturan Menteri Ketenagakerjaan) yang mengatur fleksibilitas jam kerja dengan prinsip no work no pay," ujar Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo Anton J Supit dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Komisi IX DPR RI dan Menaker.

Dia menuturkan hal ini dilakukan demi mengurangi jumlah orang yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Dengan begitu, ketika industri sedang lesu pekerja tidak harus terkena PHK.

"Sebab, kalau tidak ada (aturan) itu, memang kami dengan order menurun 50 persen atau katakanlah 30 persen, kami tidak bisa menahan. Satu dua bulan masih OK, tapi kalau sudah beberapa bulan atau setahun, pilihannya ya memang harus PHK massal," imbuh Anton.

Baca juga artikel terkait NO WORK NO PAY atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Intan Umbari Prihatin