tirto.id - Forest Watch Indonesia (FWI) dan Greenpeace Indonesia mengadakan aksi di depan kantor Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Jakarta Selatan (28/5/2018). Mereka menuntut Kementerian ATR/BPN membuka informasi Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit.
"Aksi ini adalah bentuk ketidakpuasan publik yang geram dengan ketertutupan Kementerian ATR/BPN. Ke depan, kami akan mengajak lebih banyak lagi publik untuk menuntut transparansi pengelolaan hutan dan lahan," tegas koordinator aksi Anggi Putra Prayoga dalam orasinya, Senin (28/5/2018).
Sebagai informasi, hak guna usaha sendiri adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara, dalam jangka waktu tertentu untuk perusahaan yang bergerak di bidang perikanan, peternakan, atau pertanian, salah satunya kelapa sawit.
Menurut Staf Kampanye dan Advokasi Kebijakan FWI Agung Ady Setiyawan, transparansi soal HGU ini penting karena seringkali tanah yang diberikan ke perusahaan beririsan dengan tanah warga yang sudah tinggal lama di wilayah tersebut, padahal warga juga memiliki sertifikat atas tanah mereka. Akibatnya seringkali terjadi sengketa lahan antara warga dan perusahaan.
"Bagaimana ada dualisme kepemilikan sertifikat? Seharusnya kalau memang di situ sudah ada sertifikat milik masyarakat sebenarnya tidak ada lagi HGU terbit di situ kecuali ada pembebasan lahan dan ganti rugi," kata Agung.
Namun, Agung menambahkan, yang biasanya terjadi di Indonesia ialah warga terdampak tidak pernah diberitahu soal pendirian perusahaan di wilayah mereka. Tiba-tiba perusahaan sudah datang dengan alat berat mereka.
Hal tersebut salah satunya menimpa warga di 3 kecamatan di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Tanah yang sudah dimanfaatkan warga untuk pertanian dan berkebun sehari-hari tiba-tiba saja dicaplok oleh PT Perkebunan Kaltim Utama dengan bermodalkan surat HGU yang diterbitkan Kementerian ATR/BPN.
"Dan kalau mereka masuk ke kebun mereka sendiri, mereka dianggap memasuki properti perusahaan dan mereka dikriminalisasi," terang Agung.
Selain mengancam lahan warga, HGU yang diterbitkan Kementerian ATR/BPN juga kerap kali bersinggungan dengan kawasan hutan. Padahal untuk bisa beroperasi di wilayah hutan, perusahaan harus lebih dulu mengurus Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, setelah itu baru perusahaan mengurus HGU.
"Ternyata tidak ada sinkronisasi di antara dua kementerian ini. Di sana belum clear tidak ada Izin Pinjam Pakai tapi kemudian izin keluar dan sebagian berada di wilayah hutan," jelas Agung.
Sebelum mengadakan aksi ini, pada tahun 2017 Mahkamah Agung lewat putusan No.121 K/TUN/2017 memenangkan gugatan IFW atas Kementerian ATR/BPN. Kementerian di bawah kendali Sofyan Djalil itu diharuskan membuka Hak Guna Usaha perkebunan kelapa sawit.
Pada 2016, Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta memberikan putusan senada. Lalu pada 2015 Komisi Informasi Pusat pun memenangkan gugatan IFW. Namun, setahun setelah putusan MA tersebut Kemen ATR/BPN tak kunjung membuka HGU ke publik.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Maya Saputri