tirto.id - Kementerian Kesehatan mengakui telah memberikan penyuluhan kepada tenaga medis tingkat Puskesmas untuk melakukan identifikasi kepada pasien-pasien yang terduga mengalami kekerasan seksual, terutama perempuan dan anak.
Hal tersebut disampaikan Sekretaris Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat Kemenkes, Eni Gustina, dalam diskusi 'Merespon Dinamika Masyarakat Terhadap RUU PKS' di kantor Kementerian PPPA, Jakarta Pusat, Jumat (22/2/2019).
"Teman-teman kesehatan sudah kami libatkan dalam hal ini. Kami punya 4 ribu Puskemas terlatih untuk penanganan. Penanganan tentunya mengidentifikasi," ujar dia.
Kebijakan yang termaktub dalam Permenkes 68/2013 tentang Kewajiban Pelayan Kesehatan Untuk Memberikan Informasi Atas Adanya Dugaan Kekerasan Terhadap Anak.
Peraturan ini berdasar kecendrungan para korban yang sulit menceritakan kekerasan seksual yang dialaminya.
"Teman-teman di puskemas kami melatih untuk mengidentifkasi karena seringkali korban itu datangnya diantar pelaku, sehingga tidak leluasa dan tidak berani berbicara atau mungkin sudah diintimidasi," tutur dia.
Secara singkat ia menjelaskan pemeriksaan korban kekerasan seksual. Berawal dari korban datang untuk memeriksakan kondisi kesehatannya, tenaga medis wajib menganalisis lebih lanjut apabila ditemukan tanda-tanda kekerasan seksual pada yang bersangkutan.
Para tenaga medis tersebut, kata dia, juga diwajibkan untuk mencatat secara detail tanda-tanda kekerasan seksual yang ia temukan pada terduga korban dan diharuskan melaporkan kepada pihak aparat penegak hukum.
"Tenaga kesehatan ketika menemukan kemungkinan adanya korban kekerasan, dia [tenaga medis] mempunyai kewajiban menginformasikan kepada petugas hukum, dalam hal ini kepolisian," ujar dia.
Upaya seperti ini, ia katakan sebagai kontribusi untuk menguak korban-korban kekerasan seksual yang selama ini memilih untuk berdiam diri, entah karena takut ataupun kesulitan akses pengaduan.
"Kalau dikatakan jumlahnya [kasus kekerasan seksual] sebanyak 7 ribuan, itu fenomena gunung es, banyak yang tidak dilaporkan karena perempuan tidak mampu berbicara dan tidak berani. Untuk mengatakan sebagai korban," tandas dia.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Zakki Amali