tirto.id - Kementerian Perhubungan (Kemenhub) terus menyelesaikan polemik keberadaan ojek online. Mereka berencana untuk berbicara dengan Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) guna membahas keberadaan ojek online.
"Nanti kita akan bicarakan dengan Kementerian Ketenagakerjaan karena undang-undangnya tidak mungkin kita mengatur," kata Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi saat ditemui di acara Hakordia 2017, Pancoran, Jakarta, Senin (11/12/2017).
Budi mengatakan hubungan industrial aplikator dan pengendara ojek perlu diatur. Ia ingin ada harmonisasi antara kedua belah pihak dalam pelaksanaan transportasi ojek online. Sampai saat ini, pemerintah terus merancang untuk mengatur kehadiran ojek online. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan akan membuat undang-undang secara nasional untuk ojek online.
"Saya akan mengupayakan hubungan industrial mereka terjamin dengan baik. Yang penting, orang itu ada landasan hukumnya untuk bekerja dan jangan dia diuber-uber terus dikasih tarif bawah, tarif bawah. Kasihan," kata Budi.
Seperti diketahui, pemerintah masih belum mengatur keberadaan ojek online. Ribuan sopir ojek online melakukan aksi unjuk rasa dengan berjalan kaki dari parkir IRTI Monas menuju Istana Merdeka. Mereka menuntut pemerintah mengeluarkan payung hukum mengenai ojek online, terutama soal aturan tarif karena hal itu menyangkut hajat hidup mereka.
"Kami ini mitra! Kami bukan jongos!" teriak orator dari mobil bak terbuka di depan Istana Negara pada Kamis (23/11/2017) yang disambut tepuk tangan dan sorak sorai massa aksi.
Kementerian Perhubungan beberapa waktu lalu mengeluarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 26 tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek yang hanya mengatur tentang taksi online.
Akibat absennya payung hukum mengenai ojek online, massa yang datang dari berbagai daerah di Jabodetabek itu mengeluhkan perang tarif antar-aplikasi yang dilakukan perusahaan dan penentuan tarif yang dilakukan tanpa melakukan negosiasi dengan mitra pengemudi.
Mereka menuntut, tarif ojek online meningkat dari Rp1.000-Rp1.600 per kilometer menjadi Rp4.000 per kilometer dan berlaku merata di seluruh angkutan ojek online agar tidak ada lagi perang tarif yang merugikan mereka.
"Peraturan di kantor Gojek, Grab, Uber itu sama, enggak ada ketetapan komunikasi antara mitra dengan perusahaan. Itu yang kami sayangkan," ungkap Amoy, salah satu peserta aksi.
"Dari Istana [Merdeka] ini Bang, sampai ke Depok, itu 20 kilo [meter] cuma dihargai Rp32 ribu! Layak apa enggak? Belum lagi risiko yang kami dapat entah itu kecelakaan atau pecah ban," lanjutnya.
Pengemudi ojek online merasa selama ini dirugikan dengan praktik promo yang dilakukan perusahaan. Namun, di satu sisi mereka sendiri tidak melarang perusahaan memberikan promo.
"Kami sih masalah promo itu urusan aplikasi sama customer. Itu terserah dia, tapi sama kami jangan seperti itu. Kami yang punya motor, punya bensin, punya kuota. Jangan asal-asal nurun-in [harga]" ungkap Iqbal, salah satu demonstran.
Untuk itu pemerintah dituntut untuk membuat peraturan yang mengatur dan melindungi ojek online dari aksi perang tarif yang dilakukan perusahaan angkutan online.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Maya Saputri