Menuju konten utama

Kemendikbud Belum Sukses Urus SD-SMA, Kenapa Ditambah Tugas Dikti?

Presiden Jokowi mengembalikan urusan pendidikan tinggi ke Kemendikbud yang masih kesulitan urusi siswa SD hingga SMA.

Kemendikbud Belum Sukses Urus SD-SMA, Kenapa Ditambah Tugas Dikti?
Presiden Joko Widodo bersiap mengikuti upacara pelantikan presiden dan Wakil Presiden di Gedung Nusantara, kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Minggu (20/10/2019). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/hp.

tirto.id - Presiden Joko Widodo (Jokowi) membubarkan Kementerian Riset, teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) dan mengembalikan tiga urusan tersebut seperti era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Bedanya, jika riset dan teknologi era SBY berada di bawah lingkup Kementerian—dulu bernama Kemenristek—, kini urusan tersebut dilebur ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional yang dipimpin oleh Bambang Brodjonegoro.

Sementara urusan pendidikan tinggi, kata Jokowi di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Rabu pekan lalu (23/10/2019), "ada di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan."

Pemerhati pendidikan Ubaid Matraji mengatakan, utak-atik nomenklatur kementerian dan lembaga sebenarnya absah dan wajar dalam konteks hak prerogratif Presiden.

Namun, menurutnya, kembalinya urusan Dikti ke Kemendikbud bakal membuat beban Menteri Nadiem Makarim makin berat.

Sebab, dalam lima tahun terakhir, target pembangunan sumber daya manusia dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tak mampu dicapai oleh kementerian tersebut.

Misalnya, target angka partisipasi murni (APM) Indonesia di tingkat SD paket A dan B yang yang ditarget mencapai 94,8 persen dan paket 114,1 persen; serta APM Indonesia tingkat SMP dan SMA yang masing ditarget di angka 67,5 persen dan 67,5 persen.

Mengacu pada data Kemendikbud, APM SD paket A dan B hanya mencapai 93 persen; sementara SMP berada di angka 77 persen danSMA sederajat di angka 63,7 persen.

Adapun APK SD paket A yang ditarget sebesar 114,1 persen hanya mampu terpenuhi 105,9 persen; sementara APK SMP dan SMA yang ditarget di angka 106,9 persen dan 91,6 persen hanya mampu terpenuhi masing-masing 102,1 persen dan 86,9 persen.

Jurnal Penelitian Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat, skor kompetensi guru Indonesia juga tidak mencapai angka 70.

Ubaid menduga Jokowi sadar kalau permasalahan pendidikan berada di hulu, yakni pencetakan guru-guru yang berkualitas di pendidikan tinggi. Salah satu contohnya, kata dia, adalah minimnya kemampuan pedagogik (kemampuan mengajar) guru.

Di sisi lain, pemerintah juga dinilai gagal menerapkan kurikulum 2013 yang menerapkan penilaian berbasiskan perilaku. Menurutnya, yang terjadi di lapangan justru masih berkutat pada penerapan kurikulum 2006 yang berbasis angka.

Hal ini ditengarai oleh kurangnya pelatihan guru, minimnya widyaiswara yang dinamis untuk mengajarkan para guru, hingga minimnya pemahaman guru dalam kurikulum 2013. Belum lagi, gap atau disparitas fasilitas pendidikan di Indonesia yang masih cukup tinggi.

Lantaran itu lah, Ubaid mendorong agar menteri baru tidak sembarangan dalam menentukan kebijakan, apalagi Nadiem tidak punya latar belakang pengelolaan pendidikan. Dia menyarankan transisi nomenklatur dilakukan bertahap agar tak berdampak buruk pada pendidikan.

Apalagi, Nadiem perlu memetakan masalah sebelum mengambil kebijakan. "Harus ada pemetaan dulu nih kira-kira 100 hari pertama penting untuk pemetaan masalahnya apa perlu dievaluasi lalu kebijakannya apa. Jadi masalah terjadi apa, kebijakannya apa, jangan mengutamakan inovasi-inovasi tapi tidak berbasis pada masalah," kata Ubaid.

Klaim Pemerintah

Menteri Koordinator bidang Pengembangan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy mengatakan bahwa dikembalikannya urusan pendidikan tinggi ke Kemendikbud dalam rangka menjalankan amanah undang-undang.

"Itu kalau tidak salah rekomendasi dari undang-undang tentang harus dipisahkan (yaitu) Undang Undang tentang riset Nasional sehingga harus ada badan tersendiri," kata Muhadjir saat ditemui di Kemendikbud, Jakarta, Jumat pekan lalu (25/10/2019).

Mulanya, kata dia, urusan Dikti digabung dengan Ristek agar pengembangan riset di kampus bisa dimanfaatkan langsung dampaknya oleh masyarakat luas. Namun, pemerintah akhirnya memutuskan untuk mengembalikan dikti setelah memindahkan urusan riset dan teknologi ke Badan Riset dan Inovasi Nasional.

"Karena itu badan tersendiri kalau diktinya sendirian kan tidak bagus. Kemudian kembalikan saja ke induknya," kata Muhadjir.

Muhadjir tidak memungkiri capaian kemendikbud yang belum dapat memenuhi target dalam luma tahun terakhir. Salah satunya, sulitnya menerapkan kurikulum 2013 di berbagai sekolah di Indonesia.

Namun, ia optimistis perubahan nomenklatur tidak akan menambah beban Kemmendikbud. Sebaliknya, kata dia, sinkronisasi pendidikan dasar, menengah hingga tinggi akan semakin mudah dan target partisipasi sekolah hingga perguruan tinggi dapat digenjot.

"Kemendikbud kelihatannya tidak terlalu lama karena baru periode ini dipisah. Kemudian gedungnya masih satu tempat masih atas nama Kemendikbud belum ristekdikti. Jadi sangat simpel menurut saya. Apalagi Mendikbud sekarang saya kira bisa membuat langkah-langkah yang cepat untuk segera sinkronisasi," kata Muhadjir.

Sementara Mendikbud Nadiem Makarim mengatakan, bergabungnya dikti ke Kemendikbud diperlukan demi perbaikan pendidikan di masa depan.

"Itu harus dilakukan agar strateginya terpadu di antara seluruh intitusi pendidikan," kata Nadiem saat ditemui di Kemendikbud, pekan lalu.

Baca juga artikel terkait KEMENDIKBUD atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Hendra Friana