tirto.id - Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) merespons desakan warga penghayat aliran Selam Sunda Wiwitan yang mendesak pemerintah agar mencantumkan kepercayaan mereka pada kolom agama di Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP). Sayangnya, keinginan tersebut masih terganjal UU No 23 tahun 2006 tentang Administrasi Penduduk (Adminduk).
Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri, Zudan Arief mengatakan, keinginan untuk memasukkan aliran kepercayaan dalam kolom agama di KTP tidak hanya dilontarkan oleh penghayat Selam Sunda Wiwitan. Pihaknya juga mendapat permohonan dari penganut kepercayaan lain agar dimasukkan dalam KTP.
“Ada. Seperti Farmalin itu pernah menanyakan, 'Boleh enggak kami [Farmalin] dimasukkan?' Prinsipnya sama. Yang 6 itu yang kita tulis,” kata Zudan saat dihubungi Tirto, pada Jumat (25/8/2017).
Zudan mengaku pihaknya sudah mendengar permintaan penghayat kepercayaan Selam Sunda Wiwitan sejak lama. Ia bahkan mengklaim sudah beberapa kali melakukan melakukan pertemuan untuk membahas hal tersebut. Akan tetapi, Kemendagri tidak bisa memenuhi permintaan itu, karena terbentur UU Adminduk. Kata dia, regulasi tersebut muncul tidak lepas dari proses politik di masa lalu.
Meski demikian, ia mengklaim pemerintah tidak memperlakukan aliran kepercayaan tersebut secara diskriminatif. Misalnya, pemerintah tetap memberikan pelayanan penuh kepada semua warga penghayat aliran kepercayaan, termasuk warga yang menganut aliran Selam Sunda Wiwitan.
“Akta lahir, akta mati, KTP semua kita penuhi. Jadi tidak ada perlakuan diskriminatif,” ujarnya.
Hal senada juga diungkapkan Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tjahjo Kumolo. Ia mengatakan pemerintah mendukung keinginan warga untuk memasukkan aliran kepercayaan pada kolom agama di KTP. “Keinginan saya kan bagaimana setiap warga negara sama kedudukannya, apalagi soal KTP yang wajib dipunyai setiap WNI," ujar Tjahjo saat dihubungi Tirto, Jumat (25/8/2017).
Akan tetapi, sampai saat ini, Kemendagri belum bisa mengakomodir keinginan tersebut. Ia beralasan, UU Adminduk hanya memperbolehkan KTP mencatat agama yang diakui pemerintah saja. Sementara, Selam Sunda Wiwitan tidak termasuk dari salah satu 6 agama resmi yang diakui negara.
“Kalau saya melanggar undang-undang kan tidak bisa, maka ada warga masyarakat yang mengajukan gugatan ke MK dan belum ada keputusan di MK,” kata Tjahjo.
Dalam hal ini, mantan Sekjen PDIP ini mengatakan, pemerintah masih menunggu keputusan MK. Apabila keputusan tersebut dimenangkan oleh pelapor, ia mempersilakan penganut kepercayaan lain untuk menggugat.
Sementara itu, peneliti Wahid Foundation, Alamsyah M. Djafar mengatakan, selama ini penghayat aliran kepercayaan kerap mendapatkan perlakuan diskriminatif akibat kolom agama di KTP mereka dikosongkan. Hal tersebut tidak lepas dari UU Adminduk yang tidak membolehkan aliran kepercayaan dicantumkan dalam KTP.
“Diksi 'tidak diisi' itu sering dimaknai dengan tanda strip. Bukan dikosongkan. Itulah yang akhirnya menjadi beragam masalah diskriminasi,” kata Alamsyah kepada Tirto, Jumat (25/8/2017).
Akibat kolom agama yang kosong itu, kata Alamsyah, penganut aliran kepercayaan sering mendapatkan perlakuan diskriminatif, seperti sulit mendapatkan pekerjaan. “Misalkan ada anggota komunitas aliran kepercayaan gagal menjadi tentara karena kosong di kolom agamanya. Sedangkan atasannya menyatakan harus diisi,” Alamsyah mencontohkan.
Karena itu, untuk menyudahi diskriminasi terhadap penghayat aliran kepercayaan tersebut, maka merevisi UU Adminduk adalah salah satu solusi yang bisa dilakukan.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Maulida Sri Handayani