tirto.id - Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI) mengecam wacana penyederhanaan kurikulum 2021 yang sedang dibahas oleh Kemendikbud. Poinnya, menolak mata pelajaran sejarah yang dibatasi untuk tingkat SMA dan SMK.
Presiden AGSI Sumardiansyah Perdana Kusuma tidak sepakat sejarah yang mulanya pelajaran wajib dijadikan pilihan dalam struktur kurikulum yang digagas Kemendikbud. Sehingga memungkinkan siswa untuk memilih atau tidak memilih belajar sejarah.
"Sejarah memang tidak dihapuskan di jenjang ini, melainkan direduksi keberadaannya. Ini kebijakan yang keliru, sebab bagi kami belajar sejarah adalah sebuah keharusan, bukan pilihan," ujarnya kepada Tirto, Jumat (18/9/2020) malam.
Sumardiansyah berpendapat pelajaran sejarah merupakan upaya merawat ingatan generasi muda terhadap identitas dan jati diri bangsanya sendiri.
"Dengan mempelajari sejarah saja, bangsa ini mengalami krisis. Apalagi tidak mempelajarinya. Jangan sampai sejarah hanya menjadi alat legitimasi penguasa dan elite," ujarnya.
Melalui draft "Sosialisasi Penyederhanaan Kurikulum dan Asesmen Nasional" tertanggal 25 Agustus 2020 milik Kemendikbud yang diperoleh dari sumber Tirto, disebutkan pelajaran sejarah Indonesia hanya dipelajari siswa SMA/sederajat kelas 10. Bagi siswa kelas 11 dan 12 SMA/sederajat, pelajaran sejarah tidak wajib dipelajari; tidak berdiri tunggal dan digabung dalam pelajaran IPS.
Sementara untuk siswa SMK, pelajaran sejarah justru ditiadakan dalam rencana kurikulum 2021—setelah dalam revisi kurikulum 2018 terjadi pengurangan jam belajar dari 2 jam (untuk kelas X, XI, XII) menjadi 3 jam (untuk kelas X).
"Bayangkan anak-anak SMK tidak belajar sejarah dan lulus, tidak tahu siapa dia, tidak punya ideologi kebangsaan. Hanya menjadi robot kapitalis dan industri. Kita tidak mau itu," ujarnya.
Meskipun kurikulum 2021 masih berupa draft, AGSI mendesak agar Kemendikbud mengembalikan sejarah sebagai "pelajaran wajib yang diajarkan di semua kelas dan di semua jenjang."
Sebagai aksi protes, AGSI juga menggalang petisi dalam jaringan sejak 15 September 2020, kini sudah ditandatangani oleh 12.922 responden per 19 September 2020.
"Kami pun melakukan respons secara preventif, memberikan pandangan-pandangan kritis-konstruktif agar keberadaan dokumen tersebut bisa ditinjau kembali, dan jangan sampai menjadi sebuah kebijakan final," imbuhnya.
Melalui keterangan tertulis yang diterima Tirto pada Jumat malam, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kemendikbud Totok Suprayitno mengatakan penyederhanaan kurikulum 2021 "masih berada dalam tahap kajian akademis."
Ia mengklaim tidak ada rencana penghapusan pelajaran sejarah di tingkat SMA/MA/SMK. Ia beranggapan sejarah sebagai "salah satu kunci pengembangan karakter bangsa."
"Tentunya Kemendikbud sangat mengharapkan dan mengapresiasi masukan dari seluruh pemangku kepentingan pendidikan, termasuk organisasi, pakar, dan pengamat pendidikan, yang merupakan bagian penting dalam pengambilan kebijakan pendidikan," ujarnya.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Maya Saputri