tirto.id - Udin bergegas pulang malam itu menggunakan Honda Tiger 2000 berwarna merah hati selepas merampungkan pekerjaan. Jam menunjukkan pukul 21.30, kalender mencatat tanggal 13 Agustus 1996. Raut wajahnya nampak tegang dan gelisah.
Tidak nyana nasib buruk memang menimpanya malam itu. Ia diserang pria tak dikenal tak lama setelah menginjakkan kaki di rumah. Ia dipukul, kepala dihantam, dan perut disodok besi. Udin terluka parah tak sadarkan diri.
Ia dibawa ke RSU Jebugan Bantul sebelum akhirnya dipindahkan ke RS Bethesda Yogyakarta untuk menjalani perawatan intensif.
Tiga hari kemudian, Jumat 16 Agustus 1996, tepat hari ini 25 tahun yang lalu, pihak RS Bethesda memberi kabar: Operasi tak mampu menghentikan pendarahan hebat di kepala. Nyawa Udin tak tertolong. Ia meninggal dunia pukul 16.50.
Meninggalnya Udin adalah bukti betapa brutalnya rezim Orde Baru yang tak menghargai nyawa manusia. Udin tewas tanpa tahu siapa yang membunuhnya dan apa motif di belakangnya.
Melawan Tiran
“Mas Udin selalu bilang, kalau memang ada kesalahan, ya, harus diberitakan sesuai fakta. Memang begitu kerjanya wartawan,” kata Marsiyem, istri Udin, kepada Rappler Indonesia pada 2015 silam.
Udin, yang punya nama lengkap Fuad Muhammad Syafruddin, adalah wartawan surat kabar harian asal Yogyakarta, Bernas. Semasa bekerja sebagai wartawan, Udin sudah banyak menulis laporan yang membikin telinga penguasa panas.
Sebelum meninggal, Udin disibukkan dengan peliputan pemilihan Bupati Bantul untuk masa jabatan 1996-2001. Ia mengikuti tiap perkembangan peristiwa dengan saksama. Pemilihan saat itu dianggap alot dan rumit. Pasalnya, terdapat tiga calon yang maju dan semuanya berlatar belakang militer.
Satu calon yang mencolok ialah sang petahana, Sri Roso Sudarmo. Keikutsertaan Sri Roso sebetulnya cukup mengejutkan. Pasalnya, menurut Danrem 072/Pamungkas Kolonel (Inf.) Abdul Rahman Gaffar, Sri Roso bakal dipindahtugaskan ke daerah lain. Entah mengapa yang terjadi justru sebaliknya.
Masuknya kembali Sri Roso ke gelanggang memicu Udin membongkar borok pemerintahan. Selama memegang kendali kekuasaan, Sri Roso dianggap tidak kompeten dan penuh praktik KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme).
Maka, jadilan laporan-laporan yang sarat kritik macam “Tiga Kolonel Ramaikan Bursa Calon Bupati Bantul,” “Soal Pencalonan Bupati Bantul: Banyak ‘Invisible Hand’ Pengaruhi Pencalonan,” “Di Desa Karangtengah Imogiri, Dana IDT Hanya Diberikan Separo,” hingga “Isak Tangis Warnai Pengosongan Parangtritis.”
Tak cuma menyerang Suroso, laporan Udin juga menampar Orde Baru yang kala itu telah berada di senja kala kekuasaan.
Laporan paling bikin gempar adalah soal surat kaleng yang menuturkan ada calon bupati yang diduga kuat bakal memberikan dana sebesar satu miliar rupiah kepada Yayasan Dharmais milik Soeharto. Walaupun tidak dijelaskan siapa calon yang dimaksud, belakangan jelas bahwa sosok tersebut adalah Sri Roso. Hal ini dibuktikan dengan penemuan “surat pernyataan” bersegel yang ditulis dan ditandatangani oleh Sri Roso. Surat tersebut menjelaskan bahwa Sri Roso setuju “membantu” pendanaan Yayasan Dharmais apabila terpilih sebagai Bupati Bantul periode 1996-2001.
Udin bukannya tak khawatir dengan semua laporan yang ditulisnya. Ia sadar sedang melawan tiran. Berkali-kali ia sadar tengah diikuti orang tak dikenal yang mengawasi gerak-geriknya. Namun rasa takut tak menghentikan niatnya untuk menulis dan menyebarkan kebenaran kepada publik.
Keberanian itu pula yang menuntunnya pada laporan terakhir tentang dugaan kasus korupsi pembangunan jalan. Tulisan yang kelak diberi judul “Proyek Jalan 2 Km, Hanya Digarap 1,2 Km” tersebut terbit sehari sebelum Udin meninggal. Isi laporannya: memblejeti kejanggalan proyek peningkatan jalan di ruas Tamantirto-Pengkolan, Kasihan, Bantul.
Yang Ditangkap adalah Tumbal
Kasus Udin menemui jalan buntu. Polisi tak bekerja maksimal dalam mengusut tuntas pembunuhan tersebut.
Beberapa rekan Udin akhirnya membuat tim investigasi pencari fakta. Berdasarkan penyelidikan, tim menyimpulkan bahwa tewasnya Udin tak bisa dilepaskan dari berita-berita yang ia tulis. Laporan Udin dipandang memancing kemarahan penguasa.
Dalang di balik pembunuhan Udin mengerucut pada satu nama: Sri Roso.
Tentu Sri Roso menolak hasil penyelidikan itu. Sepekan setelah kematian Udin, Sri Roso menggelar konferensi pers dan menyatakan sama sekali tak terlibat dalam pembunuhan.
Pernyataan Sri Roso juga dipertegas kepolisian. Diwakili Kapolres Bantul, Letkol Pol Ade Subardan, polisi mengatakan kasus Udin tak punya dalang dan pembunuhnya akan ditangkap dalam kurun waktu tiga hari.
Polisi memang menangkap “pelaku” pembunuhan Udin. Ia bernama Dwi Sumaji alias Iwik yang bekerja sebagai sopir di perusahaan iklan. Masalahnya, Iwik bukanlah pelaku sebenarnya. Ia hanya tumbal. Dalam persidangan tertanggal 5 Agustus 1997, Iwik dipaksa mengaku bahwa ia membunuh Udin.
Iwik terpaksa mengaku di bawah ancaman dan pengaruh alkohol yang disuplai Serma Pol Edy Wuryanto alias Franki, Kanitserse Polres Bantul. Iwik dijadikan tumbal untuk melindungi kepentingan bisnis, politik, serta nama baik Sri Roso.
Pada November 1997, pengadilan akhirnya memvonis bebas Iwik. Majelis hakim berpendapat tidak ada bukti yang menguatkan Iwik adalah pelaku pembunuhan.
Penangkapan Iwik adalah satu dari sekian keganjilan pengusutan kasus Udin. Sebelumnya, muncul pengakuan Tri Sumaryani yang menyatakan diiming-imingi sejumlah uang oleh “oknum tertentu” jika bersedia berkata pada publik dan persidangan bahwa ia berselingkuh dengan Udin. Perselingkuhan tersebut, menurut Tri Sumaryani, membikin suaminya murka dan akhirnya membunuh Udin.
Belum lagi masalah barang bukti yang dihilangkan. Lagi-lagi yang bertanggung jawab ialah Edy Wuryanto. Edy melarung sampel darah serta mengambil buku catatan milik Udin. Alasannya, kata Edy, demi “kepentingan penyelidikan dan penyidikan.”
Tindakan Edy digugat oleh istri Udin. Pada April 1997, Majelis hakim menyatakan Edy bersalah dan dianggap melakukan tindakan melanggar hukum. Namun ketika itu Edy hanya dimutasi ke Mabes Polri, alih-alih dijerat hukuman. Pada 2003, aa dihukum 10 bulan atas kasus menggelapkan barang bukti.
Belum ada tanda-tanda kasus Udin bakal diselesaikan secara tuntas kendati telah berlalu dua dekade. Aparat masih belum bisa mengungkap siapa dalang yang membunuh Udin dan apa motif yang melatarinya. Sri Roso memang dicokok polisi, namun bukan karena terlibat dalam pembunuhan melainkan gara-gara kasus suap kepada Yayasan Dharmais.
Orde Baru sudah tumbang dan tergantikan oleh reformasi. Sayang, kebebasan pers masih punya pekerjaan rumah besar yang belum terselesaikan. Dan kasus Udin mengingatkan kita akan hal itu.
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 24 November 2018 dengan judul Pembunuhan Wartawan Udin adalah Bukti Keberingasan Orde Baru. Redaksi melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Windu Jusuf & Rio Apinino