tirto.id - Beberapa hal yang saya pelajari saat menonton film adaptasi anime Jepang yang dibuat oleh studio film Amerika adalah tidak berharap banyak. Ini bisa jadi saran yang konyol, nyaris mustahil tentu untuk tidak membandingkan film yang telah Anda baca buku atau tonton seri animenya. Dalam konteks ini banyak kritikus Amerika menganggap berbagai film adaptasi anime Jepang sebagai laku whitewashing, meski penonton asli di Jepang sendiri tidak keberatan akan adaptasi versi Hollywood dan menganggapnya sebagai tontonan yang asik.
Whitewashing adalah praktik casting dalam industri film Amerika Serikat yang memberikan peran-peran utama atau pendukung dalam sebuah film terhadap orang kulit putih. Menjadi masalah karena peran tersebut pada mulanya merupakan peran dari aktor non-kulit putih, seperti orang Jepang, Korea, Afrika, dan Asia Tenggara. Para aktor kulit putih ini memerankan sosok karakter tersebut untuk membuat film tersebut bisa diterima oleh khalayak kulit putih dan menganggap bahwa peran tersebut tak bisa dimainkan oleh aktor dari negara asalnya.
Beberapa kritikus film yang mengkritik whitewashing film adaptasi fokus pada masalah politik ras yang diduga hadir di dalamnya ketimbang memeriksa secara serius apakah tayangan itu bermutu? Sasaran terbaru kritik terhadap praktik whitewashing adalah Death Note, yang diadaptasi dari manga Jepang karangan Tsugumi Ohba dan Takeshi Obata. Tiffany Kelly di Esquire dan Allegra Frank di Polygon tidak menahan diri untuk menyebut film ini buruk. Mereka mendeskripsikan betapa jeleknya Death Note versi Netflix sejak dua paragraf pembuka resensi.
Baca juga: Pertarungan Nilai dalam Film-Film Putri Disney
Benarkah film ini buruk? Tentu soal menghakimi tontonan menjadi selera dari masing-masing penonton. Sejak dikabarkan pertama kali oleh koran Malaysia The Star, bahwa setidaknya ada 10 perusahaan Amerika Serikat tertarik membuat film adaptasi Death Note, gosip seputar film ini menyebar ke mana-mana. Pada mulanya dikabarkan Vertigo Entertainment akan membuat remake film ini, tetapi Warner Bros selaku distributor film live action Jepang memegang lisensi untuk seluruh remake yang akan dibuat di Amerika.
Sutradara film ini Adam Wingard pertama kali dikabarkan terpilih pada April 2015. Setahun kemudian Netflix terkonfirmasi membeli lisensi film ini dari Warner Bros, dengan 40-50 juta dolar naskah yang ada dikembangkan oleh Charley Parlapanides, Vlas Parlapanides, dan Jeremy Slater. Kritik utama terhadap Adam sebagai sutradara dan tim penulis naskah tertuju pada pemilihan aktor. Mereka dianggap melakukan perusakan terhadap sesuatu yang sakral karena mengubah identitas ras karakter tanpa mempertimbangkan kesesuaian cerita.
Baca juga: Mengkritik McD Lewat Film
Dalam pembelaannya Adam menyebut bahwa akan sangat sulit untuk tetap setia 100 persen terhadap sumber materi manga. Ia mempertimbangkan elemen logika cerita seperti latar yang tak lagi di Jepang tapi di Amerika, juga bagaimana menyusun seluruh cerita hanya dalam dua jam. “Bagiku, ini tentang bagaimana tema ini masuk dalam kehidupan modern Amerika, dan bagaimana ia mempengaruhi cara kita bercerita. Pada akhirnya, perseteruan kucing dan tikus antara Light dan L, adalah tema kebaikan, kejahatan, dan apa yang ada di antaranya. Ini adalah inti cerita Death Note, dan itu yang hendak kami tuju,” katanya.
Death Note merupakan cerita tentang seorang remaja sekolah menengah atas yang tiba-tiba menemukan sebuah buku catatan. Buku ini memiliki kemampuan untuk membunuh siapapun yang namanya ditulis di sana, caranya, si penulis harus tahu nama lengkap dan wajah si korban. Tidak hanya itu, mereka yang memiliki buku ini akan selalu bisa melihat sosok malaikat kematian. Dalam manga, pemilik buku ini adalah Light Yagami, sementara di versi Netflix ia bernama Light Turner. Ada beberapa kesamaan antara manga, live action Jepang dan Amerika, namun jika Anda belum membaca manga yang terbit 14 tahun lalu ini sebaiknya Anda segera melakukannya.
Membaca manga, menonton versi live action Jepang, lantas kemudian meliat versi Netflix akan membuat perspektif Anda tentang Death Note yang sempurna menjadi kabur. Masing-masing medium baik manga, anime, dan live action memiliki potensi dan keunikan tersendiri. Misalnya detil manga, Anda akan melihat kemampuan menggambar dari Takeshi Obata yang sangat memukau, Ia punya sejarah panjang membuat manga yang identik dan berkarakter seperti Bakuman dan Hikaru no Go. Sementara Tsugumi Ohba dikenal sebagai salah satu gensakusha, atau penulis manga terbaik di Jepang, dengan cara penulisan narasi yang mengejutkan dan tak tertebak.
Baca juga: Satu Abad Si Yahudi, Sang Raja Komik: Jack Kirby
Beban Netflix untuk membuat Death Note Jepang yang muram, rumit, dan penuh teka-teki untuk bisa dinikmati penonton Amerika mungkin memang berat. Simbolisasi agama, cara pandang terhadap tugas publik, dan ide tentang kebaikan yang digambarkan oleh Light Yagami dalam Death Note Jepang, nyaris hilang sama sekali dalam versi Netflix. Allegra Frank di Polygon bahkan secara terbuka menilai bahwa karakter Light versi Netflix merupakan penghinaan terhadap Light versi Jepang yang punya nilai keadilan tinggi, cerdas, dan tidak egois.
Nyaris kebanyakan resensi Death Note yang ada di internet menghadirkan spoiler, baik manga, anime, live action Jepang, dan versi Netflix itu sendiri. Ini jadi menyusahkan karena penonton yang belum pernah membaca atau menonton Death Note sebelumnya telah dibebani cerita bahwa versi anime dan live action Jepang lebih baik. Untungnya Peter Debruge menulis resensi yang adil di Variety. Ia nyaris sama sekali tidak menyertakan embel-embel versi Jepangnya, kecuali identitas penulis manga Death Note. Peter Deburge secara khusus membandingkan Death Note versi Adam Wingard dengan film klasik Donnie Darko (2003).
Perbandingan karakter dari dua film ini menarik untuk dicermati jika Anda ingin tahu mengapa Death Note versi Adam Wingard sama sekali berbeda dengan versi Jepangnya. Willem Dafoe yang berperan sebagai Ryuk, malaikat pencabut nyawa dalam serial Netflix, sangat mirip dengan sosok Frank dalam film Donnie Darko. Mereka yang membaca manga Death Note tentu akan merasakan perbedaan karakter dari sosok Ryuk Jepang yang apatis dan nyaris tak peduli, dengan sosok Frank dalam Donnie Darko yang mirip Ryuk versi Netflix.
Lantas apakah film ini layak tonton? Bagi saya Death Note versi Netflix jelas segar. Terlepas kritik yang menganggap film ini sangat buruk dan jauh dari anime. Beberapa adegan dalam film ini jelas layak ditonton. Misalnya jika Anda menggemari film gore dengan nuansa sadisme, beberapa adegan kematian di film ini akan memuaskan Anda. Jika Anda merasa bahwa film dengan plot twist adalah hal yang penting, film ini akan memberikan itu. Jika Anda ingin menonton film remaja tanggung yang cemas akan jati diri, film ini juga bisa memberikan itu.
Penulis: Arman Dhani
Editor: Windu Jusuf