Menuju konten utama

Kemarahan Buwas Beralasan, tapi Bulog Sebaiknya Tak Fokus ke Bansos

Bulog dinilai bisa memanfaatkan instrumen lain untuk menyalurkan cadangan beras miliknya. Sebab, tak semua daerah punya infrastruktur yang memadai seperti ATM untuk menerima program BPNT.

Kemarahan Buwas Beralasan, tapi Bulog Sebaiknya Tak Fokus ke Bansos
Direktur Utama Bulog Budi Waseso mengikuti rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi IV DPR di gedung parlemen, Senayan Jakarta, Kamis (20/6/2019). ANTARA FOTO/Nova Wahyudi.

tirto.id - Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso (Buwas) kembali bikin geger. Ia bahkan mengancam akan mundur dari jabatannya sebagai orang nomor satu di Bulog bila Kementerian Sosial (Kemensos) mengambil alih 100% penyaluran beras bantuan sosial dalam bentuk program Bantuan Langsung Non-tunai (BPNT).

“Kalau bisa ambil seratus persen kegiatan BPNT, termasuk rastra (beras sejahtera) oleh Mensos, saya hands up dari Bulog, berarti saya tidak perlu lagi di Bulog, udah ringan kerjaan saya. Ngapain kita ribut soal ini, toh dananya dari Mensos, malah senang saya,” kata Buwas dalam kegiatan halalbihalal di Bulog Corporate University Jakarta, Selasa (2/7/2019) seperti dikutip Antara.

Saat ini saja, lanjut Buwas, porsi alokasi penyaluran beras BPNT oleh Bulog sudah sangat minim, yakni hanya 30% dari total kuota BPNT secara nasional di 2019. Sementara sisanya sebesar 70% diserahkan ke swasta.

Buwas menuding, rendahnya peran Bulog dalam penyaluran BPNT tersebut sebagai biang keladi tersendatnya penyaluran beras yang ada di gudang Bulog.

Saat ini stok cadangan beras pemerintah (CBP) yang tersimpan di gudang-gudang Bulog mencapai 2,2 juta ton dan perusahaan masih akan melakukan penyerapan beras saat panen raya hingga akhir tahun 2019.

“Ancamannya beras Bulog akan busuk, karena 70 persen itu sudah diambil Mensos ke pasar bebas,” kata Buwas.

Sebaliknya, Direktur Jenderal Penanganan Fakir Miskin Kemensos, Andi ZA Dulung menolak tudingan Buwas. “Kemensos tidak pernah menyalurkan beras, yang menyalurkan beras, kan, Bulog atau swasta,” kata Andi saat dikonfirmasi reporter Tirto, Rabu (3/7/2019).

Andi menambahkan, meski porsi keterlibatan Bulog dalam penyaluran BPNT hanya 30 persen, namun Bulog sebenarnya punya porsi yang lebih besar dalam hal penyaluran program bansos lainnya, yakni beras prasejahtera alias rastra.

“Rastra disupply oleh Bulog, BPNT disupply oleh umum termasuk Bulog di dalamnya,” kata Andi.

Andi menambahkan, pelibatan swasta dalam penyaluran BPNT bukanlah untuk kepentingan bisnis seperti yang dituduhkan Buwas.

Sebab, beras yang disalurkan lewat skema BPNT tetap ditujukan kepada keluarga tidak mampu sebagai bantuan sosial. Sementara swasta hanya dilibatkan dalam proses penyalurannya dan hal tersebut sudah sesuai dengan amanat aturan yang berlaku.

“Dalam Perpres 63/2017 tentang Bansos Non-Tunai, penyaluran dibuka ke umum, Kemensos bekerja berdasarkan peraturan perundangan berlaku. Umum artinya semua boleh ikut tidak ada lagi monopoli,” kata dia.

Bulog Penstabil Harga Pangan

Pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia Khudori mengajak publik untuk terlebih dahulu mengulas lagi peran Bulog dan instrumen yang digunakannya untuk menjalankan peran sebagai penstabil harga pangan.

Di masa lalu, kata Khudori, penyaluran beras untuk rakyat miskin (raskin) oleh Bulog adalah instrumen yang jitu untuk menstabilkan harga pangan.

“Itu volumenya cukup besar, ini terbukti betul bisa menjadi instrumen standardisasi secara langsung,” kata dia saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (3/7/2019).

Lalu saat menteri sosial dijabat oleh Khofifah Indar Parawansa, kata Khudori, nama raskin berganti jadi rastra atau beras prasejahtera. Dari sini, sebenarnya program penyaluran beras bansos itu hanya berganti nama, sementara mekanisme penyalurannya tetap sama.

Namun sejak 2017, kata Khudori, pemerintah mulai mengganti penerapan pola penyaluran beras bansos dari rastra ke BPNT. Artinya, dari yang semula bansos diserahkan bulat-bulat dalam bentuk beras, kini berubah jadi bantuan sejumlah dana yang disalurkan lewat rekening tabungan untuk membeli bahan kebutuhan pokok.

Sayangnya, kata dia, peran Bulog sangat minim lantaran hanya mendapat porsi penyaluran sebesar 30 persen. Sehingga, ia bisa memahami kekesalan Buwas yang tak bisa menyalurkan cadangan beras milik Bulog lewat BPNT, sementara cadangan beras itu menumpuk karena di saat bersamaan Bulog itu diwajibkan menyerap beras impor dan beras dari petani.

“Kenapa ini [beras Bulog] menumpuk? Karena tadi, kan, pada saat yang sama itu ketika outlet-nya (instrumen penyaluran berasnya) enggak ada, instrumen stabilisasi yang saya sebutkan tadi itu enggak ada juga,” kata dia.

Namun, kata Khudori, sebenarnya Bulog bisa memanfaatkan instrumen lain untuk menyalurkan cadangan beras miliknya. Sebab, kata Khudori, tak semua daerah di Indonesia punya infrastruktur yang memadai seperti anjungan tunai mandiri (ATM) untuk menerima BPNT.

Menurut Khodori, daerah-daerah itulah yang dapat disasar Bulog untuk menyalurkan berasnya dan menjalankan fungsinya menstabilkan harga menggunakan skema lawas bansos rastra.

“Beberapa daerah yang disebut 3T (terluar, terdepan, tertinggal) itu yang memang secara infrastruktur masih agak sulit untuk diberikan transfer tunai itu karena memang infrastruktur tunai belum ada. Ini masih dibagi beras dengan namanya rastra bansos,” kata dia.

Sehingga, menurut Khudori, Bulog bisa berfokus pada penyaluran rastra ketimbang berpolemik soal penyaluran BPNT.

Meski demikian, Khudori menambahkan, beban penyaluran rastra di daerah 3T jangan hanya dibebankan pada Bulog saja. Pemerintah sebagai pembuat kebijakan bisa terlibat lewat regulasi yang dapat mempermudah Bulog dalam menyalurkan beras miliknya.

Pasalnya, kata dia, penyaluran beras ke tempat-tempat terpencil tentu butuh usaha yang lebih keras. Medan yang berat dan seringkali sulit dijangkau membuat proses pengangkutan logistik beras jadi membutuhkan biaya mahal.

Sehingga, kata dia, perlu stimulus dari pemerintah agar proses pengangkutan logistik beras ke tempat-tempat terpencil, lebih mudah dan lebih hemat secara biaya.

Sebab, kata Khudori, bila hal ini tak dilakukan pemerintah, maka Bulog akan terus dibebani biaya mahal untuk pengiriman beras ke wilayah 3T tadi.

Konsekuensinya, kata dia, bila Bulog tak memiliki anggaran yang memadai untuk pengiriman beras, maka beras-beras tersebut tak bisa disalurkan dan hanya akan menumpuk di gudang saja seperti yang terjadi saat ini.

Hal senada diungkapkan peneliti cum dosen Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santosa. Ia mengatakan dalam menjalankan perannya sebagai penstabil harga pangan, Bulog tak bisa dilepas sendirian.

Agar Bulog bisa menjalankan fungsinya dengan mulus, kata dia, dibutuhkan kesediaan pemerintah untuk menanggung biaya operasional Bulog seperti penyimpanan, penyerapan, kerugian, hingga menanggung risiko kerusakan cadangan beras.

“Sebagai stabilisator otomatis, kan, pemerintah mendukung sepenuhnya dari sisi fiskal bukan dilepas seperti sekarang ini. Kalau dia perusahaan, kan, dia jadi harus profit juga mengembalikan bunga bank,” kata Dwi.

Baca juga artikel terkait BERAS BULOG atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Abdul Aziz