Menuju konten utama

Kekhawatiran Tentang Status Dwi Kewarganegaraan

Status dwi kewarganegaraan masih dikhawatirkan oleh banyak pihak. Misalnya menjadi sarana penyebaran paham radikal, separatisme dan terorisme. Sementara di sisi lain, banyak pula persoalan yang harus dipertimbangkan terkait hak para diaspora yang memilih pulang ke tanah air.

Kekhawatiran Tentang Status Dwi Kewarganegaraan
para tenaga kerja indonesia (tki) dari berbagai daerah berkumpul pada acara pertemuan 1000 tki dan diaspora indonesia di jakarta, selasa (11/8). pertemuan antara 1000 tki dan diaspora ini bertujuan untuk memberikan motivasi kepada tki agar dapat sukses di dalam negeri. antara foto/fanny kusumawardhani/15

tirto.id - Arcandra Tahar, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pernah merasakan menjadi Menteri ESDM tersingkat di negeri ini gara-gara persoalan dwi kewarganegaraan. Bukan hal yang mudah bagi negeri ini untuk bisa menerima kewarganegaraan ganda.

Nasir Djamil, anggota Komisi III DPR yang membidangi hukum dan HAM, meminta pemerintah tidak gegabah memperbolehkan warga negaranya berkewarganegaraan ganda. Sebab menurutnya, status Indonesia masih negara berkembang yang lemah dalam berbagai hal.

“Indonesia ini negara yang masih belum merdeka dalam menentukan politik luar negerinya. Apalagi jika warga negara Indonesia itu bertempat tinggal dan bekerja di negara-negara yang selama ini sering mendikte kebijakan dalam dan luar negeri kita,” kata Nasir kepada tirto.id, Senin (24/10/2016).

Kekhawatiran seperti inilah yang agaknya membuat peraturan perundangan tentang dwi kewarganegaraan seolah jalan di tempat. Persoalan dwi kewarganegaraan hanya akan disisipkan dalam RUU tentang revisi atas UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI. Itupun, berada di urutan ke-59 dari 170 RUU yang mengantre dibahas oleh anggota DPR dalam daftar Prolegnas 2015-2019.

Menurut Nasir, banyak hal yang harus dirundingkan sehingga memungkinkan terbitnya aturan mengenai dwi kewarganegaraan. Misalnya terkait masalah keamanan. Status kewarganegaraan ganda dikhawatirkan menjadi sarana penyebaran paham radikal, separatisme dan terorisme.

“Mungkin memang perlu dipikirkan dwi kewarganegaraan yang selektif, sehingga tidak merusak sistem bernegara dan mampu mencegah pembusukan dalam sistem ipoleksosbud,” katanya.

Masih menurut Nasir, kekhawatiran seperti itu memang bisa diantisipasi dengan memperketat saat pengurusan visa atau Kartu Diaspora Indonesia. Misalnya dilakukan pelacakan data tentang keterlibatan seorang WNA dalam tindak separatisme, tindak pidana, mempekerjakan tenaga kerja asing tanpa izin kerja, dan sebagainya. Meskipun tetap berpotensi memunculkan persoalan, yakni saat proses pengawasan ketika seorang WNA justru sudah menjadi warga negara ganda.

Kekhawatiran Ekonomi

Selain kekhawatiran terkait persoalan keamanan negara, juga muncul kekhawatiran di bidang ekonomi. Seseorang yang berkewarganegaraan ganda bisa berbuat curang, misalnya memilih negara yang pajaknya lebih rendah untuk berinvestasi atau menabung. Muncul juga kekhawatiran terjadinya tindak pidana pencucian uang.

Untuk saat ini, para diaspora memang tidak bisa banyak berbuat untuk masalah investasi. Ebed Litaay, Presiden Indonesian Diaspora Network [IDN] Global, mengeluh karena diaspora Indonesia yang berstatus WNA tak bisa melakukan investasi properti di Indonesia. Sejauh ini, WNA hanya punya hak guna atau hak sewa investasi properti di Indonesia.

Padahal menurut Ebed, jika berkaca pada India, WNA mereka yang berwarganegara ganda bisa menyuntik modalnya ke negara asalnya. “Yang saya tahu, di India ada kebijakan khusus terkait dengan orang diaspora India. Di negara itu, orang-orang diaspora India mendapat KTP khusus yang berlaku di India untuk membeli properti, investasi dan lain-lain. Negara India maju karena orang-orang diaspora India,” kata Ebed kepada tirto.id.

Ebed menampik berbagai kekhawatiran karena para diaspora Indonesia justru beritikad baik untuk negeri ini. “Pendapat itu bisa dimengerti. Tapi kalau bisa pendapat itu diubah, karena diaspora Indonesia mau membangun negara kita [Indonesia], membangun lapangan-lapangan kerja yang belum ada kahlian di orang kita [Indonesia],” katanya.

Sebenarnya aspirasi para diaspora WNA sudah coba difasilitasi oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal [BKPM] yang berjanji akan memberi kemudahan investasi bagi diaspora WNA. BKPM bahkan telah berkoordinasi dengan Dirjen Imigrasi Kemenkumham dan Kementerian Koordinator Perekonomian. Hal tersebut direncanakan akan segera terealisasi.

“Aturan kemudahan investasi bagi diaspora Indonesia diharapkan selesai dalam waktu empat bulan,” kata Franky Sibarani, Kepala BKPM seperti dikutip dari laman resmi BKPM, Selasa (21/6/2016).

Kemudahan investasi bagi diapsora agaknya bagian dari upaya pemerintah merealisasi target investasi 2016 sebesar Rp594,8 triliun. Diharapkan kontribusi dari Penanaman Modal Asing [PMA] sebesar Rp386,4 triliun atau naik 12,6 persen dari target PMA 2015, serta dari Penanaman Modal Dalam Negeri [PMDN] sebesar Rp208,4 triliun atau naik 18,4 persen dari tahun lalu.

Adapun dari sisi penyerapan tenaga kerja di tahun 2016, BKPM mendukung upaya pemerintah mendorong penyerapan 2 juta tenaga kerja. “Di era persaingan seperti saat ini, perlu sinergi dari berbagai pihak. Termasuk dengan diaspora yang potensinya besar sekali,” kata Franky.

Infografik Dwikewarganegaraan Peluang dan Ancaman Dwikewarganega

Hak Para Diaspora

Terkait hak investasi properti seperti diikeluhkan Ebed tadi, sebenarnya memang masih menjadi kendala. Peraturan di Indonesia misalnya, menegaskan bahwa seorang istri WNA bagi suami yang WNI, tak bisa mendapatkan hak milik tanah atau rumah. Jika suami meninggal, maka tanah atau rumah warisan tersebut harus segera dijual dalam kurun waktu 1 tahun. Jika tidak, maka akan menjadi hak milik negara.

Persoalan bertambah rumit, jika pasangan itu mempunyai anak di bawah umur. Meski sang anak berstatus WNI, serta mendapat warisan dari ayahnya yang WNI pula, tetap saja dia tidak bisa mewarisi harta ayahnya.

Masih ada beberapa hak para diaspora Indonesia yang dinilai tak terpenuhi. Istri yang berstatus WNA dan bersuamikan WNI tadi, dia tidak bisa bekerja di Indonesia. Mereka hanya bisa menjadi ibu rumah tangga. Dampak buruk akan muncul jika suami yang masih WNI tersebut meninggal dunia. Istrinya yang berstatus WNA bisa kesulitan jika harus menjadi tulang punggung keluarga.

Tim advokasi IDN Global juga mencacat berbagai hak para diaspora Indonesia yang semestinya dipenuhi. Renny Damayanti Mallon, Ketua Tim Advokasi IDN Global mengatakan bahwa dalam proposal pengajuan status dwi kewarganegaraan ke DPR RI, telah dicatumkan berbagai persoalan.

Misalnya, para diaspora Indonesia berharap mendapatkan kebebasan bea masuk dan biaya impor untuk barang-barang rumah tangga jika mereka berniat tinggal di Indonesia. Atau tentang pengurangan pajak spesial bagi diaspora yang berniat kembali ke Indonesia setelah bekerja di luar negeri dalam kurun waktu tertentu.

Serentetan tuntutan lainnya untuk dijadikan pertimbangan, di antaranya pemberian pengecualian untuk investasi yang dilakukan oleh diaspora Indonesia. Misalnya memberikan tarif yang lebih rendah untuk impor bahan baku dan peralatan. Atau tentang fasilitas yang diterima dari negara lain bisa dipindahkan ke Indonesia, seperti pensiun, asuransi kesehatan dan asuransi jiwa.

Ebed memahami bahwa keinginan diaspora Indonesia begitu banyak. Oleh sebab itu, dia memahami jika harus ada pembahasan detail dan serius terkait hak dan kewajiban pemilik dwi kewarganegaraan. Tampaknya memang tak mudah mewadahi berbagai aspirasi tadi.

Baca juga artikel terkait DIASPORA atau tulisan lainnya dari Dieqy Hasbi Widhana

tirto.id - Hukum
Reporter: Dieqy Hasbi Widhana
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti