Menuju konten utama

Kekerasan di Rohingya Tak Selaras dengan Ajaran Budha

Kepala Vihara Tanah Putih Semarang Bikkhu Cattamano Thera menilai kekerasan yang dialami warga Rohingnya di Myanmar tersebut tidak selaras dengan ajaran agama Buddha.

Kekerasan di Rohingya Tak Selaras dengan Ajaran Budha
Gambar satelit pasca kehancuran Desa Kyet Yoe Pyin, Distrik Maungdaw, Myanmar, direkam pada 10 November 2016. ANTARA FOTO/Human Rights Watch/Handout via REUTERS.

tirto.id - Myanmar yang mayoritas penduduknya beragama Budha tengah dilanda konflik antara militer dan etnis muslim Rohingya. Akibat konflik ini etnis Rohingnya mengalami kekerasan fisik dan prikologis.

Kepala Vihara Tanah Putih Semarang Bikkhu Cattamano Thera menilai kekerasan yang dialami warga Rohingnya di Myanmar tersebut tidak selaras dengan ajaran agama Buddha.

"Agama beda dengan politik. Bicara agama, bicara baik dan buruk," kata Cattamano sebagaima dikutip Antara, Senin (28/11/2016).

Menurut Bikkhu Cattamano, agama mengembangkan hal-hal yang baik, menjauhkan diri dari kekerasan dan sifat memusnahkan. Ia juga menyayangkan tragedi kemanusiaan yang terjadi terhadap warga muslim Rohingnya tersebut.

"Ada mahkluk yang menderita, kita harus turut meringankan beban, jangan sampai kehidupan mereka tertindas," kata Bikkhu anggota Sangha Theravada Indonesia tersebut.

Ia menegaskan agama Buddha mengembangkan cinta kasih dimulai dengan menahan diri untuk tidak melakukan hal buruk atau tidak baik.

Mengembangkan sikap luhur, kata dia, selaras dengan ajaran sang Buddha. Ia menambahkan menebar cinta kasih dapat dimulai dari diri sendiri dengan menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal buruk.

Menyusul terjadinya konflik, dua bom mengguncang kantor pemerintahan regional Yangon di Myanmar pada Sabtu sekitar puku 19.00 waktu setempat. Tidak ada korban akibat insiden bom ini.

Ledakan tersebut merupakan ledakan ketiga terjadi di Yangon dalam lima hari menyusul dua bom serupa di pasar Thakayta dan kantor imigrasi di Dagon selatan.

Polisi bersenjata kini secara ketat berjaga-jaga di depan gerbang kantor Pemerintah Regional Yangon setelah dua ledakan di Yangon, Myanmar pada 25 November 2016 malam itu.

Hasil penggeledahan polisi di gedung itu menunjukkan polisi telah menemukan dua bom kimia M-150 rakitan sendiri yang diyakini polisi penyebab ledakan dekat departemen imigrasi itu.

Sementara itu, para pengamat terus mengritik penerima Hadiah Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi atas kegagalannya mengakhiri kejahatan militer di bagian barat laut negeri itu.

1,1 juta penduduk negara bagian Rakhine yang menyebut diri mereka muslim Rohingya adalah etnis minoritas yang lama tertindas di negara bermayoritas Budha itu. Menurut Council of Foreign Policy, Rohingya sudah tinggal di Myanmar sejak abad ke-15. Ironisnya sampai kini mereka tak diakui sebagai warga negara dan tidak memiliki hak pilih.

Para pengamat internasional telah mendokumentasikan pencabutan hak pilih dan diskriminasi yang dialami etnis Rohingya, termasuk dalam hal pembatasan pernikahan, perencanaan keluarga, lapangan kerja, pendidikan dan kebebasan bergerak.

Sumber: diolah dari Antara

Baca juga artikel terkait DISKRIMINASI MUSLIM ROHINGYA atau tulisan lainnya dari Agung DH

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Agung DH
Penulis: Agung DH
Editor: Agung DH