Menuju konten utama

Kejar Mengejar Unicorn Bisnis Transportasi di Asia

Sebanyak 18 startup Asia yang bergerak di bidang transportasi berkejaran sebagai perusahaan teknologi dengan valuasi lebih dari 1 miliar dolar alias Unicorn.

Kejar Mengejar Unicorn Bisnis Transportasi di Asia
Aplikasi transportasi berbasis aplikasi online, Grab. Tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Pada Jumat (1/9/2017) lalu, GoGoVan, sebuah perusahaan rintisan alias startup asal Hong Kong yang didirikan Juli 2013 di bidang transportasi logistik online, memutuskan merger dengan startup 58 Suyun. Setelah aksi korporasi ini, GoGoVan punya nilai valuasi sebesar $1 miliar. Secara otomatis GoGoVan masuk daftar “unicorn" sebuah istilah untuk memberikan julukan kepada startup yang memiliki nilai valuasi lebih dari $1 miliar.

Selain GoGoVan, startup yang bergerak di bidang transportasi telah cukup banyak masuk ke jajaran perusahaan unicorn, terutama di Asia. Data yang dipacak dari The CrunchBase Unicorn Leaderboard mencatat setidaknya ada 18 startup di bidang transportasi di Asia yang sukses menjadi unicorn.

Didi Chuxing asal Cina merupakan startup dengan nilai valuasi terbesar senilai $50 miliar. Dua startup transportasi online paling dikenal di Indonesia seperti Go-Jek dan Grab, memiliki nilai valuasi jauh di bawah Didi Chuxing. Go-Jek, memiliki nilai valuasi sebesar $3 miliar, sedangkan Grab memiliki nilai valuasi yang lebih tinggi yakni $6 miliar. Startup lainnya, bervariasi dari mulai $1 miliar sebagai batas bawah hingga $7 miliar.

Baca juga: Go-Jek, Unicorn Pertama Indonesia yang Siap Mendunia

Bila dihitung secara keseluruhan, nilai valuasi startup unicorn di bidang transportasi dari Asia, mencapai nilai $100,88 miliar. Per 22 Agustus 2017, total nilai valuasi seluruh startup yang masuk kategori unicorn mencapai angka $920,8 dari 267 startup di seluruh dunia. Ini artinya, startup di bidang transportasi yang masuk jajaran unicorn dari Asia menyumbang 10,95 persen dari total nilai valuasi seluruh unicorn di seluruh dunia.

Selain Asia, startup di bidang transportasi terbilang minim. Dalam daftar unicorn, tercatat hanya empat perusahaan di bidang transportasi yang didirikan di luar Asia, sedangkan startup transportasi dari Asia mencapai 18 perusahaan--belum termasuk GoGoVan. Unicorn itu antara lain Uber dari AS dengan nilai valuasinya $62,5 miliar, Lyft dari AS dengan nilai valuasi $2,61 miliar, JetSmarter dari AS dengan nilai valuasi $1,6 miliar, serta BlaBlaCar dari Perancis dengan nilai valuasi $1,6 miliar. Bila keempat startup di bidang transportasi di luar Asia dijumlahkan makanya valuasinya sebesar $68,31 miliar, atau hanya 7,41 persen total valuasi unicorn di seluruh dunia.

Kenyataan bahwa startup transportasi sangat berkembang di Asia dibandingkan wilayah lain jelas menjadi pertanyaan yang cukup menarik. Namun, Jon Russel, mantan wartawan The Next Web dan kini menjadi jurnalis di Techcrunch mengungkapkan bahwa Asia, terutama Asia Tenggara, memiliki empat masalah utama dalam startup mereka dan nampaknya mampu menjelaskan mengapa begitu banyak startup transportasi muncul di wilayah ini.

Di Asia Tenggara terdapat Grab dan Go-Jek yang menjadi motor penggerak startup transportasi di kawasan. Keempat masalah tersebut ialah keengganan menghadapi risiko, takut pada kegagalan, kurangnya kehadiran perusahaan besar, serta ekosistem yang belum matang.

Infografik Unicorn Transportasi dari asia

Dalam keengganan risiko dan takut pada kegagalan, pendiri startup cenderung ingin memulai sebuah usaha yang benar-benar dibutuhkan. Grab maupun Go-Jek hadir manakala mereka “melihat” bagaimana Uber sukses memberikan alternatif transportasi di tengah masyarakat. Suatu hal yang didambakan masyarakat Asia terutama Asia Tenggara. Grab dan Go-Jek kali pertama hadir, startup raksasa Uber, belum menancapkan taringnya di wilayah Asia terutama Asia Tenggara.

Soal keengganan risiko dan takut pada kegagalan ini, startup asal AS dan Eropa bisa dikatakan merupakan startup yang menentang hal demikian. Dari daftar startup unicorn, perusahaan rintisan asal AS atau negara Eropa lainnya memiliki ragam startup yang model bisnis paling berisiko. SpaceX dengan nilai valuasi sebesar $21 miliar, merupakan salah satu startup paling berisiko.

Baca juga: Si Jenius di Balik SpaceX

SpaceX dikenal sebagai startup yang mencoba menghadirkan roket yang bisa digunakan ulang. Bisnis SpaceX, sangat tergantung pada sukses atau tidaknya roket mereka meluncur. Belum lagi, sangat sedikit pihak yang potensial menggunakan jasa mereka. Praktis, hanya NASA yang terlihat berpotensi menjadi konsumen bisnis SpaceX. Bandingkan dengan potensi pengguna di bidang transportasi yang jumlahnya besar dan pasti.

Selain SpaceX, bisnis yang menghadirkan teknologi baru dengan risiko tinggi juga dialami Palantir yang memiliki nilai valuasi sebesar $20,33 miliar. Palantir, merupakan startup di bidang analisis data. Selain itu, ada pula startup bernama MagicLeap. MagicLeap, memiliki valuasi senilai $4,5 miliar. Perusahaan rintisan itu bergerak di bidang 3D.

Selain nama-nama tersebut, ada pula nama Tanium, Intercia, Unity, Quatrics, OneWeb, Github, Uptake, BenevolentAI, Quora, Sprinklr, Curevac, dan MongoDB.

Startup-Startup dari AS dan Eropa itu jelas sangat berani mengambil risiko. Mereka mengembangkan teknologi yang belum jelas akan digunakan oleh siapa. Namun, seiring dengan apa yang mereka lakukan, konsumen teknologi yang mereka kembangkan para konsumen berdatangan.

MongoDB misalnya, sebuah starup di bidang manajemen data. Sebelum mereka hadir, dalam manejemen data umumnya orang atau perusahaan menggunakan sistem SQL atau Structured Query Language. Namun, MongoDB justru mengembangkan teknologi manajemen data sebaliknya. Ia merupakan startup yang mengembangkan manajemen data tanpa SQL (nonSQL).

Bila melihat perbedaan startup Asia dan AS, ada perbedaan mencolok tentang apa yang startup di masing-masing wilayah tawarkan. Transportasi lebih berkembang di Asia, diduga karena hal ini terkait dengan kondisi jalanan dan transportasi termasuk soal kemacetan. Data yang dirilis oleh Waze menyebutkan, Negara-negara Eropa dan AS, masuk ke dalam negara paling baik untuk mengemudi.

Di Belanda, Perancis, dan AS, berada di posisi tiga besar sebagai negara terbaik untuk mengemudi. Sementara negara Asia, yakni Malaysia dan Indonesia, berturut-turut ada di posisi ke-23 dan ke-34. Negara Asia lainnya, ada di posisi-posisi yang kalah dibandingkan negara-negara Eropa.

Sebelumya ada kecenderungan bahwa di negara-negara Asia, transportasi ialah kunci dalam mengantarkan mereka ke tujuan tertentu. Hal ini diakibatkan karena mengemudi sendiri, ialah pilihan yang buruk karena harus berhadapan dengan kemacetan setiap hari. Startup transportasi berkembang pesat di Asia karena mereka berhasil menjawab apa yang dibutuhkan masyarakat.

Baca juga artikel terkait STARTUP atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Reporter: Ahmad Zaenudin
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Suhendra